Bagian 1. Korban Kebencian

61 27 12
                                    

Selamat membaca....🙂

-- Setiap kisah punya awal dan akhir yang berbeda-beda. --

"Mulai detik ini kita udah nggak punya hubungan apa-apa lagi. Kita putus, Ra."

"Besok kalau ketemu di sekolah, loe nggak usah sapa gue. Gue nggak mau kenal lagi sama loe."

Klik....

Tuttt.... Tutt.... Tutt....

Panggilan telepon itu berakhir tanpa menunggu jawaban apa pun dari pihak penerima. Tak peduli jika ada sebuah penolakan. Atau sekedar kata penerimaan yang mungkin dilontarkan.

Drrtt.... Drrtt.... Drrtt....

Layar telepon genggam yang semula telah padam, kini kembali menyala. Sebuah pesan baru masuk ke sana. Pengirimnya masih orang yang sama dengan penelpon tadi.

Kak Alva

"Loe inget baik-baik ya perkataan gue di telepon tadi. Kita udah putus. Jadi loe nggak usah hubungin gue lagi. Apa pun alasannya. Loe nggak perlu balas pesan gue ini. Nomor loe mau gue hapus."

Sesak. Begitu lah yang dirasakan Zahira saat ini. Lagi-lagi ia sama sekali tidak diberi kesempatan untuk mengungkapan isi hatinya.

Berlahan pundak cewek itu bergetar hebat. Di susul dengan suara isak tangis yang lambat laun semakin menguat.

Kamar tidur bernuansa merah muda itu kembali sunyi ketika Zahira tanpa sadar terlelap di kasurnya. Masih dengan sisa-sisa air mata yang mulai mengering di pipi.

*****

"Buset, masih punya nyali juga tuh anak. Berani banget nampakin mukanya di sekolah."

"Dasar nggak tahu malu. Masih aja dia datang ke sekolah."

"Eh coba liat gayanya. Bisa-bisanya dia berlagak tenang kayak gitu."

"Dasar cewek muka tembok."

"Pinter ya dia selama ini nutupin semuanya dari kita."

"Pencitraan. Pura-pura sederhana."

"Aduh. Apes banget sih gue bisa satu kelas sama tuh orang."

"Gue bisa minta pindah kelas nggak ya? Males banget gue sekelas sama manusia satu itu."

Berbagai gunjingan terus mengiringi langkah Zahira sejak masuk gerbang sekolah hingga tiba di dalam kelasnya. Sebagian memang hanya bicara berbisik-bisik. Namun, sebagian lagi mencemooh dengan suara lantang.

Sebenarnya Zahira ingin sekali menyahut gunjingan-gunjingan dari teman dan kakak kelasnya itu. Namun, ia lebih memilih diam. Sebab, ia yakin jika tidak ada seorang pun yang akan mempercayai perkataannya.

Zahira terus melangkah masuk ke dalam kelas. Setiba di bangkunya, gadis itu pun langsung duduk. Lalu, memilih menenggelamkan diri ke dalam buku catatan matematikanya.

Tak berapa lama bu Poppy, guru matematika mereka masuk. Kedatangan bu Poppy segerti angin segar bagi Zahira. Setidaknya untuk beberapa saat, teman-temannya berhenti membicarakan tentang dirinya.

*****

Halaman rumah yang biasanya bersih, kini terlihat kotor. Banyak daun kering bertebaran di setiap sudut. Sampah plastik bekas makanan dan sobekan kertas berserakan di mana-mana.

Jejeran tanaman bunga dalam pot di dekat teras terlihat menunduk layu. Bahkan, beberapa sudah hampir mati. Tanahnya mengeras, kering kerontang.

Keadaan di dalam rumah juga hampir tidak terurus. Susunan sofa di ruang tamu terlihat berantakan. Meja bulat di sana tak lagi tertutup dengan taplak meja. Kain itu malah berada di lantai sudut ruangan. Beberapa lembar sobekan kertas juga tampak di sana-sini.

Dapur dan meja makan tak kalah memprihatinkan. Tumpukan piring dan gelas kotor dibiarkan begitu saja di tempat pencucian. Bekas-bekas makanan tercecer di meja makan. Mengundang beberapa lalat berpesta di sana.

Zahira bergidik melihat penampakan rumah orang tuanya siang ini. Seperti tidak terurus dan seolah tidak berpenghuni. Padahal di sana ada Zahira, mama, dan adiknya.

Sejak kejadian dua hari yang lalu, mamanya lebih banyak mengurung diri di dalam kamar. Wanita itu enggan melakukan pekerjaan rumah. Sepanjang hari mamanya hanya menghabiskan waktu dengan menangis dan melamun.

Adik lelakinya juga begitu. Bocah kelas lima sekolah dasar itu juga sering berdiam diri di dalam kamar. Ia sama sekali tidak berani berangkat ke sekolah.

Zahira ingin sekali bersikap masa bodoh dengan keadaan rumah mereka. Ia juga merasa sama-sama terluka seperti mama dan adiknya. Tetapi, di satu sisi hatinya menolak untuk itu.

Masih dengan seragam sekolahnya, Zahira bergegas merapikan ruang tamu. Lalu, berlanjut membersihkan dapur dan meja makan. Terakhir, ia menyeret kakinya untuk keluar menyapu halaman dan menyiram tanaman bunga.

Perutnya yang terasa perih ia abaikan begitu saja. Dipikirannya saat ini hanya ingin segera bisa melihat keadaan rumahnya kembali seperti semula.

"Tersangka pengelapan dana di sebuah perusahaan manufaktur berinisial B dinyatakan bersalah dan dijatuhi hukuman 4 tahun penjara."

Zahira termenung membaca judul berita bercetak tebal di laman depan surat kabar yang tanpa sengaja ia temukan di sudut teras. Ini bukan kali pertama ia membacanya. Tetapi, tetap saja ia masih terluka.

Untuk beberapa saat cewek bermata jernih itu masih belum bergerak dari posisinya. Tenggelam dalam pikirannya sendiri.

*****

Minggu, 05 September 2021
Pukul 11.15 WIB

Alhamdulillah, akhirnya jadi juga cerita ini.
Setelah sering kehabisan ide dan ketik hapus ketik hapus. 🙂
Semoga bisa lanjut sampai selesai. Aamiin.

Semoga kalian suka dengan karya sederhana ini. 🙂

Tolong bantu dukung ya. Follow, kasih bintang, dan komentarnya.
Supaya aku bisa berkarya dengan lebih baik lagi ke depannya.
Terima kasih. 🙏🙂

O iya di bawah ini aku sertakan visualisasi tokoh ceritanya. Bukan bermaksud apa-apa. Hanya supaya ceritanya sedikit lebih hidup.

Zahira

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Zahira

Alvarendra

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Alvarendra


Sumber foto : Pinterest



Kelopak Lantana (Selesai)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang