Bagian 15. Siapa Dia?

14 9 1
                                    

Selamat membaca. 🙂

-- Terlalu ingin tahu masalah orang lain itu bukan pilihan baik. Sebab, tanpa sadar akan berakhir dengan munculnya prasangka buruk. --


Malam ini mamanya Zahira mengundang keluarga Arka untuk makan malam di rumah mereka. Sebagai ucapan terima kasih karena selama ini mereka selalu membantu.

Mama Zahira sempat tak enak hati pada tante Ratna. Pasalnya selama dua tahun pergi, mereka tidak sekali pun memberi kabar. Saat kembali ke sini, ternyata tante Ratna masih tetap baik pada keluarga mereka.

Sebenarnya mereka bukan sengaja tidak memberi kabar. Tetapi, saat itu mamanya Zahira juga kehilangan telepon genggamnya. Persis seperti yang dialami oleh tante Ratna. Sehingga, terputus lah kontak di antara mereka.

"Kak, nanti tolong beliin mangga sama bahan puding coklat ya. Kalau ada buah naga juga boleh."

"Iya, Ma. Nanti pulang kuliah Rara mampir ke minimarket dekat kampus."

"Makasih ya, Nak. Kemarin Mama lupa beli. Padahal tante Ratna suka banget sama puding coklat."

Zahira tersenyum. Seraya menganggukkan kepalanya pelan.

*****

Selesai mengikuti kuliah, Zahira dan Laras berjalan agak cepat menuju kantin. Keduanya sudah tidak sabar ingin segera mengisi perut mereka yang sedari tadi sudah mulai keroncongan.

"La, nanti temenin ke minimarket depan belokan itu yok," ajak Zahira di sela-sela menunggu pesanan makanan datang.

"Mau cari apa, Ra?"

"Beli keperluan buat nanti malam. Mama ngundang keluarga Kak Arka makan malam di rumah."

"Ooo gitu."

"Eh, tunggu. Loe bilang keluarga Kak Arka datang ke rumah?"

Laras bertanya sambil menyipitkan matanya. Seperti sedang penasaran pada sesuatu.

"Iya. Kak Arka sama keluarganya. Mama yang ngundang mereka."

"Hanya makan malam biasa?"

Laras bertanya lagi. Cewek itu mirip detektif yang sedang menyelidiki sebuah kasus.

Zahira mengangguk. Semula ia belum sadar. Hanya sedikit heran dengan pertanyaan-pertanyaan Laras.
Hingga, akhirnya Zahira pun mulai sadar. Ia pun cepat-cepat protes. Zahira tentu tidak ingin ada kesalah pahaman nantinya.

"Mama tuh ngundang mereka buat makan malam di rumah sebagai tanda ucapan terima kasih. Karena selama ini mereka selalu bantuin keluarga kami."

"Loe tahu sendiri kan mama sama tante Ratna itu hubungannya kayak gimana dekatnya? Jadi, loe jangan mikir yang macem-macem, La."

Laras terkekeh. Ia tidak perlu meneruskan pertanyaannya lagi. Sahabatnya itu sudah lebih dulu tahu maksud tersiratnya tadi.

Srek.... Srek....

Baru saja mereka membicarakan nama Arka. Tiba-tiba cowok itu mucul di sana. Bersama sahabatnya, Nata.

"Kakak sama Nata boleh gabung? Soalnya nggak ada meja kosong lagi," tanya Arka.

"Boleh, Kak."

Zahira mengangguk. Diikuti pula oleh Laras di sebelahnya.

Setelahnya, mereka berempat terlibat obrolan panjang. Mulai dari masalah kuliah. Sampai membahas isu-isu hangat yang tengah ramai diperbincangkan.

Di sudut berbeda. Alva dan dua sahabatnya juga terlihat sedang mencari tempat untuk duduk.

"Al, itu tuh cewek yang gue ceritain tempo hari," tunjuk Gadhing ke arah meja di mana Arka berada.

Alva menoleh ke arah yang dimaksud Gadhing. Bian yang berdiri disebelahnya pun ikut melihat ke arah yang sama.

"Gue hapal betul warna tasnya. Jadi gue nggak mungkin salah orang."

Gadhing berusaha menyakinkan Alva dan Bian. Sebab, dua cewek berjilbab di meja Arka itu duduk membelakangi mereka.

"Lihat aja mereka. Ngobrolnya asyik banget gitu. Kayaknya tebakan gue bener deh. Mereka berdua ada apa-apa. Gimana menurut loe Al?"

"Biarin aja lah. Bukan urusan gue juga."

Alva tidak terlalu tertarik. Ia hanya sebentar memperhatikan Arka. Lalu, memilih meneruskan langkah menuju meja yang baru saja kosong di sudut kanan. Agak jauh masuk ke dalam bangunan kantin.

"Loe nggak iri sama Arka?"

Gadhing yang terus mengikuti langkah Alva terlihat sangat penasaran.

"Ngapain juga gue harus iri? Itu urusan dia."

"Loe nggak penasaran siapa cewek itu?"

Alva menggeleng.

"Kalau mereka beneran jadi, kita juga bakalan tahu kan siapa dia? Jadi ngapain repot-repot cari tahu."
Gadhing mengangguk-angguk.

"Dasar loe, Ding. Kerjaannya mau tahu aja urusan orang lain," tepuk Bian.

Gadhing meringis. Menahan sakit pada bahunya yang barusan ditepuk Bian.

"Udah lah, Ding. Nggak usah bahas Arka terus. Menurut gue, cewek itu teman kelasnya."

Gadhing menggeleng.

"Ini beda, Bian."

Bian menghela nafas.

"Emang loe kenal semua teman kelasnya Arka? Enggak kan, Ding?"

"Arka kan paling jaga jarak sama cewek. Lah itu kelihatan akrab banget kan?"

Lagi-lagi Bian menghela nafas.

"Gue juga tahu kalau Arka selalu menjaga jarak sama cewek. Tapi, dia ramah kok sama semua orang. Gue pernah lihat dia ngobrol sama teman organisasinya yang cewek di kampus," lanjut Bian lagi.

Gadhing menggeleng.

"Nggak. Gue nggak sependapat sama kalian. Ini beda. Gue yakin kalau mereka berdua punya kedekatan khusus."

"Terserah loe, Gadhing. Terserah," nada bicara Alva mulai terdengar kesal.

Kalau sudah begini, Gadhing tidak punya pilihan lain. Dia harus segera diam. Bahaya kalau dia nekat terus-menerus membahas Arka.

Dalam kekesalannya, Alva mengarahkan pandangan ke meja Arka. Keempat orang itu tampak sedang asyik menikmati makanan sambil mengobrol. Memang terlihat sangat akrab. Seperti yang dikatakan Gadhing.

Huh. Alva menghela nafas diam-diam.

"Siapa sih dia?" gumam Alva pada dirinya sendiri.

*****

Minggu, 26 September 2021
Pukul 16.50 WIB

Alhamdulillah, sudah publish sampai bab 15. 🙂

Terima kasih ya buat Kakak, Adik, Teman-teman yang sudah bersedia meluangkan waktunya membaca tulisan saya. 🙏 Berkenan memberi bintang dan komentar. Terima kasih. 🙏🙂

Maaf jika masih ada kata-kata yang salah. Atau jalan cerita yang kurang menarik. 🙂🙏

Sampai ketemu hari Jum'at depan. 🙂

Kelopak Lantana (Selesai)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang