Bagian 6. Pindah Rumah

20 16 0
                                    

Selamat membaca.🙂

-- Pergi tidak selamanya bernilai buruk. Sebab, ada kalanya kita harus mengambil keputusan itu demi kebaikan semua orang. --

       Zahira, Bagas, dan mamanya terlihat duduk serius di ruang tamu. Zahira dan Bagas di sofa panjang. Sedangkan, mama di sofa yang lebih pendek. Ketiganya sedang melanjutkan pembicaraan tentang rencana kepindahan mereka. Hal yang sempat dibahas bersama tante Ratna dan Arka tadi sore.

         “Kakak sama Adek nggak usah khawatir ya. Tante Ratna kan udah janji mau bantu ngurus surat pindah sekolah kalian.”

        Zahira mengangguk. Diikuti pula oleh Bagas. Namun, tak ada suara yang keluar dari mulut dua kakak beradik itu.

        “Kalian kenapa?” tanya mama dengan nada khawatir.

        Wanita tak enak hati melihat respon yang ditunjukkan oleh kedua anaknya. Meskipun, keduanya sudah mengangguk setuju. Tetap, saja naluri seorang ibu tidak bisa dibohongi.

        “Kalian nggak setuju dengan rencana Mama mengajak pindah?” tanya mama lagi.

         Pertanyaan mama mereka kembali dijawab kebisuan oleh Zahira dan Bagas. Bukan tak ingin menjawab. Tetapi, mereka ragu untuk mengatakannya.

          “Mama mengaku salah. Mama tahu kalau kalian terkejut dengan keputusan ini. Tapi, Mama ingin yang terbaik untuk kalian berdua. Mama nggak sanggup melihat kalian terus-menerus terluka.”

         “Kalian tidak usah takut dengan kondisi di sana. Orang-orang nggak akan kenal. Tidak akan ada yang tahu tentang masalah keluarga kita.”

        “Mama tidak bermaksud mengajari kalian untuk lari dari kenyataan. Tetapi, Mama rasa ini yang terbaik untuk kita saat ini.”

        Mama berhenti bicara. Menunggu respon dari Zahira dan Bagas.

       “Papa gimana, Ma? Kita bakal ninggalin Papa gitu aja?” Zahira menatap mamanya.

         Mama menggeleng.

         “Beberapa bulan sekali kita bisa pulang untuk mengunjungi Papa. Kita nggak bakal ninggalin Papa sendirian.”

        “Keluarga itu saling menguatkan. Bukan menyalahkan. Bukan pula tega meninggalkan orang yang sedang membutuhkan bantuan dan dukungan.”

         Mama berpindah tempat duduk. Wanita itu mengisi ruang kosong antara Zahira dan Bagas. Lalu, mengusap bahu Zahira dan Bagas dengan lembut.

         Dari sorot matanya terlihat jelas jika ia sedang menyimpan kesedihan. Namun, tetap berusaha tegar. Tak lain demi kedua buah hatinya itu.

          “Sekarang kalian berdua tidur. Besok pagi kita beres-beres.”

         Zahira mengangguk. Setelah mendengar jawaban dari mamanya tadi, gadis itu sudah lega.

          “Ma, kalau Papa beneran nggak ngelakuin itu, kenapa Papa tetap ditangkap?” tiba-tiba Bagas bersuara.

        Mama dan Zahira sempat saling pandang. Sebelum akhirnya mama tersenyum pada Bagas.

        “Bagas percaya sama Papa kan? Bagas doain aja yang terbaik buat Papa. Supaya Papa bisa melewati semua cobaan ini.”

        Meski masih diliputi oleh kegelisahan. Anak lelaki itu pun mengangguk.

        “Sana pada pergi tidur. Sudah malam.”

Kelopak Lantana (Selesai)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang