Bagian 17. Serpihan Kenangan

14 9 1
                                    

Selamat membaca. 🙂


-- Entah itu tentang suka maupun duka. Jadikan lah kisah di masa lalu sebagai pelajaran. Bukan untuk sekedar menjadi penyesalan. --

        "Ra, apa kabar?"

       Meskipun, masih diliputi rasa gugup. Alva kembali bersuara. Tidak peduli jika suaranya terdengar agak sedikit bergetar.

       "Alhamdulillah kabar baik, Kak," jawab Zahira pelan seraya agak sedikit menunduk.

       Zahira bukan bermaksud mengabaikan keberadaan Alva. Namun, ia mencoba untuk membatasi kontak mata di antara mereka berdua.

      Melihat reaksi yang ditunjukkan Zahira, Alva hanya bisa tersenyum tipis. Di tengah perasaannya yang campur aduk. Ada sedikit rasa lega. Setidaknya Zahira masih mau menjawab.

       "Ra..."

       Belum juga Alva menyelesaikan kalimatnya. Zahira kembali mendongakkan kepala dan menyela.

        "Maaf Kak, saya permisi dulu. Sekarang saya ada jam kuliah."

       Zahira menatap Alva sekilas sambil menangkupkan kedua telapak tangannya. Kemudian, tanpa menunggu jawaban ia pun segera berlalu. Menyusul Laras yang masih menunggu di dekat tangga masuk ke gedung fakultas mereka.

      Deg.

     Alva seolah terhipnotis. Lidahnya mendadak kelu. Ia hanya bisa menganggukkan kepala. Membiarkan Zahira berlalu begitu saja.

*****

      Deru suara pendingin ruangan menjadi satu-satunya pertanda bahwa ada kehidupan di dalam kamar Alva. Sedari tadi ia hanya duduk melamun di dekat jendela kamarnya. Otaknya sibuk memikirkan kejadian tadi siang.

      Pertemuan yang tiba-tiba dengan Zahira ternyata membuat Alva kehilangan kendali atas dirinya sendiri. Bukannya cepat-cepat mengucap maaf seperti yang ia rencanakan selama ini. Ia justru membiarkan Zahira pergi tanpa kata.

       "Kenapa nggak loe kejar, Al? Kenapa loe nggak ngomong langsung sama Rara? Bukannya selama ini loe udah nunggu buat minta maaf? Ke mana keberanian seorang Alva yang gue kenal?"

       Ocehan dan pertanyaan Bian yang bertubi-tubi hanya dijawab gelengan oleh Alva. Ia sama sekali tidak punya pembelaan atas semua itu.

       Jika saja punya keberanian lebih. Pasti Zahira sudah dikejarnya tadi. Namun, rasa bersalah membuat ia takut untuk melakukannya. Sekedar memanggil nama Zahira saja ia gugup.

        Belum lagi saat melihat respon yang ditunjukkan oleh Zahira. Hatinya semakin menciut.

        Alva tidak bisa menyalahkan Zahira. Dia memang pantas diabaikan. Sebab, dia sendiri lah yang dulu meminta hal itu pada Zahira.

      Jika saja waktu bisa diputar ulang. Alva tentu tidak ingin melakukan hal yang kini sangat disesalinya.

       Kalau saja ia tahu tindakannya menjauhi Zahira itu salah. Tentu dulu ia akan memilih tetap berada di sisi Zahira. Mempercayai semua ucapan cewek itu. Membantunya menyembuhkan luka. Bukan malah sebaliknya.

       Namun, nyatanya itu semua hanya sekedar mimpi belaka. Waktu tidak akan pernah bisa diulang kembali. Kisahnya dan Zahira terlanjur dirusak oleh dirinya sendiri.

      Alva beranjak dari kursi. Lalu, menarik laci meja belajar paling bawah. Meraih sebuah foto berbingkai kayu. Bertuliskan "Bintang ku".

      Benda ini menjadi satu-satunya barang kenangannya bersama Zahira. Tak ada lagi yang lain. Bahkan, sebenarnya foto itu sudah robek dan bingkainya patah. Namun, ia perbaiki lagi.

      Alva memaksa tersenyum. Meniru gaya berfoto dua anak manusia yang ada di dalamnya.

      Ketika itu ia dan Zahira sedang berjalan-jalan ke pantai. Sebelum pulang mereka berdua berfoto bersama. Berdiri bersebelahan sembari memasang senyum manis ke arah kamera.

      "Maafin gue, Ra."

     "Ternyata, gue nggak seberani itu untuk bilang maaf ke elo. Gue memang pengecut."

     "Loe berhak marah sama gue. Berhak benci sama gue. Tapi, asal loe tahu Ra. Gue benar-benar menyesal."

     "Apa gue masih punya kesempatan untuk memperbaiki semuanya, Ra?"

     Alva mengusap wajahnya dengan kasar. Merutuki sikap pengecutnya sendiri.

     Percuma saja ia bicara panjang lebar seperti itu. Untuk apa? Zahira tidak bisa mendengarnya bukan?

*****

      Di tempat lain. Tepatnya kamar Zahira. Cewek itu terlihat sedang duduk di kursi meja belajarnya. Di atas meja laptopnya tampak terbuka dan menyala. Buku-buku bahan kuliah diletakkan berjajar seperti siap untuk di baca. Tetapi, tidak ada aktifitas apa pun yang dilakukan terhadap benda-benda tersebut.

      Rentetan kejadian tadi siang silih berganti masuk ke dalam pikiran Zahira. Seberapa pun kerasnya Zahira mengusir bayangan Alva. Tetap saja sosok itu muncul tanpa permisi. Membuatnya tenggelam dalam diam.

     Terdengar begitu memalukan. Kenapa pula ia harus mengingat-ingat Alva lagi. Seharusnya ia bersikap biasa saja. Toh, kisah mereka sudah lama berakhir.

     Dulu ia memang sempat patah hati. Saat ia terjatuh dan butuh dukungan. Alva sebagai orang terdekat justru mendorongnya lebih jauh. Membuat ia merasakan luka yang teramat parah.

     Susah payah Zahira bangkit dan berusaha sembuh dari luka. Hari, minggu, bulan pernah dilewati Zahira dengan kesedihan. Hingga, sedikit demi sedikit ia belajar berhasil mengusir nama Alva dari dalam hati dan pikirannnya.

     Namun, siapa sangka jika siang tadi mereka berdua harus kembali bertemu. Memaksa Zahira untuk teringat lagi dengan kisah di masa lalunya.

     Zahira tidak bisa menyalahkan siapa-siapa. Sejak awal ia memang sudah tahu jika kampus pilihannya juga menjadi tempat Alva kuliah. Tetapi, tidak sedikit pun terpikir olehnya jika mereka akan bertemu secepat ini.

     Brak....

     Zahira tergagap. Terkejut dengan suara benda terjatuh.

     "Astaghfirullahallazim," gumamnya.

     Zahira melihat ke arah lantai. Rupanya, ia baru saja menjatuhkan sebuah buku tebal.

    Setelah mengambil buku tadi. Zahira melirik ke arah jam dinding. Ternyata, sudah masuk waktu salat isya. Zahira pun segera melangkah keluar kamar untuk mengambil air wudhu.

*****

Sabtu, 02 Oktober 2021

Pukul 06.54 WIB

Alhamdulillah sinyalnya bersahabat, jadi bisa publish agak cepat.🙂

Semoga tidak mengecewakan pembaca setia cerita ini.🙏🙂

Sampai ketemu lagi besok.🙏🙂

Kelopak Lantana (Selesai)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang