Bagian 21. Luka dan Maaf

9 4 0
                                    

Selamat membaca. 🙂🙏

-- Memaafkan adalah cara untuk kita sembuh dari luka. –

      Rintik hujan mengiringi perjalanan Zahira dan Laras siang itu. Sepeda motor matik yang dikendarai Laras masuk ke halaman sebuah kafe. Setelah mendapatkan tempat parkir, keduanya pun segera melangkah masuk ke dalam kafe.

        "La," panggil Zahira lirih.

       Laras paham dengan apa yang kini dirasakan oleh Zahira. Ia pun segera merangkul sahabatnya itu.

        "Lo harus yakin, Ra. Mereka pasti bakal mengerti."

         Zahira menghela nafas. Ia sedang berusaha mengusir kekhawatiran yang sejak tadi dirasakannya.

       "Kita duduk di sana aja ya," tunjuk Laras ke arah meja kosong yang menghadap langsung ke arah taman.

      Zahira mengangguk.

        Suasana kafe saat itu memang tidak terlalu ramai. Mungkin karena masih hari kerja. Sebab, biasanya di akhir pekan pengunjung kafe ini cukup lumayan banyak. Selain letaknya yang strategis. Konsep bangunan dan makanan di sana juga cukup menarik.

        "Empat lemon tea hangat dan dua porsi kentang goreng. Apa ada tambahan lain Kak?" tanya pelayan kafe pada Zahira dan Laras.

        "Itu saja, Kak," jawab Laras sembari tersenyum.

        "Baik lah. Kalau begitu kami siapkan dulu pesanannya ya, Kak."

        Zahira dan Laras menjawab dengan mengangguk secara bersamaan.

        Sepeninggal pelayan tadi, Laras kembali fokus pada Zahira. Ia tidak ingin Zahira terus-menerus diselimuti keraguan.

        Hingga tak berapa lama, terdengar sapaan dari seseorang.

       "Assalamuallaikum."

        "Wa'allaikumsallam."

       Zahira dan Laras kompak menjawab salam dan menoleh ke arah sumber suara. Senyuman sempat terkembang di wajah Zahira. Namun, setelah menyadari bahwa ada sosok lain yang datang. Ia pun buru-buru berdiri dari kursinya. Dan senyumannya tak lagi selepas beberapa detik yang lalu.

*****

      "Kak Arka, Kak Alva, terima kasih sudah mau datang. Maaf kalau Rara membuat kalian terkejut. Tapi, ada yang ingin Rara sampaikan secara langsung pada kakak berdua."

       Meskipun, terkejut dan tidak nyaman. Arka dan Alva tetap berjalan maju. Dan mengambil kursi bersebelahan.

        "Silahkan minum dulu, Kak Arka, Kak Alva," ujar Zahira dengan sopan.

      "Iya, Kak. Mumpung minumannya masih hangat," tambah Laras.

       Kedua pemuda itu mengangguk. Namun, tak satu pun di antara mereka yang bergerak untuk minum.

       Melihat situasi yang semakin canggung. Zahira berinisiatif untuk segera membuka pembicaraan. Menyelesaikan semua kesalah pahaman yang terjadi di antara mereka.

    "Sebelumnya Rara minta maaf jika Kak Arka dan Kak Alva merasa tidak nyaman. Rara pikir dengan bertemu secara langsung seperti ini, semua kesalah pahaman yang terjadi bisa terselesaikan dengan baik."

       Zahira menatap Arka dan Alva sekilas secara bergantian. Memastikan jika keduanya paham dengan maksudnya meminta dua saudara sepupu itu datang ke sana.

         "Kak Alva, Rara minta maaf. Sikap Rara selama ini memang kekanak-kanakan. Rara sadar itu. Ternyata sikap Rara yang selalu menghidar dari Kak Alva itu salah. Bukan seperti itu seharusnya kan Kak?"

      Zahira kembali menatap Alva. Namun, sebelum kedua manik mata mereka bertemu. Zahira sudah terlebih dulu mengalihkan pandangannya ke arah meja.

       "Kejadian di masa lalu sudah Rara maafkan. Lagi pula semua yang terjadi bukan sepenuhnya kesalahan Kak Alva. Rara juga salah. Ketika itu Rara masih terlalu dini untuk paham tentang masalah hati. Tetapi, dari sana Rara belajar banyak hal."

       "Jadi, Kak Alva tidak perlu lagi risau. Rara sudah benar-benar memaafkan Kakak."

       Zahira mendongakkan kepalanya. Menunggu reaksi atau jawaban apa yang akan diucapkan oleh Alva.

      Setelah beberapa saat hening. Akhirnya, Alva mulai buka suara.

"Makasih ya, Ra. Maaf kalau dulu Kakak sudah buat kamu sakit hati. Kamu benar, dulu kita masih terlalu muda untuk paham tentang urusan perasaan."

      "Kakak juga mau minta maaf atas nama Papa. Maaf karena Papanya Kakak tidak punya keberanian untuk mengungkapkan kebenaran sejak awal. Mungkin ..."

      "Nggak apa-apa, Kak. Jangan dibahas lagi. Rara paham. Papanya Kak Alva nggak bersalah kok. Titip salam ya Kak untuk beliau."

      Belum selesai Alva bicara. Zahira sudah terlebih dahulu menyela. Alva hanya bisa mengangguk.

       "Satu hal lagi. Rara tidak ingin Kak Alva salah paham dengan Kak Arka. Rara tidak mau hubungan persaudaraan Kakak rusak."

       "Dulu setelah kepergian Papa, kami sempat putus kontak. Mama dan mamanya Kak Arka sama-sama kehilangan ponsel. Sejak saat itu kami sama sekali tidak tahu kabar keluarga satu sama lain."

      "Kami baru kembali bertemu saat Rara pindah lagi kemari. Dan mengenai alasan Kak Arka tidak memberi tahu Kakak mengenai kepindahan Rara. Itu memang karena Rara sempat bilang kalau Rara tidak terlalu ingin kepindahan kami diketahui banyak orang."

       "Sekali lagi Rara minta maaf. Karena sikap Rara sudah menyebabkan kesalah pahaman. Rara mohon Kak Arka dan Kak Alva bisa kembali akur."

       Tidak perlu penjelasan lagi. Tetapi, Alva dan Arka sama-sama bisa menebak jika Zahira mengetahui perkelahian mereka berdua.

      Untuk beberapa saat, hening sempat tercipta di meja itu. Mereka tenggelam dalam pikiran masing-masing. Meski, pada akhirnya dipecahkan oleh suara Alva.

     "Ra, kita masih bisa berteman kan?"

      Zahira mengangguk.

"Iya, Kak. Kita bisa berteman."

    BbKali ini Zahira tak ragu lagi untuk tersenyum. Rasa canggung atau khawatirnya sirna.

        Ternyata dengan benar-benar memaafkan kesalahan orang lain. Luka yang semula terasa perih itu berlahan-lahan sembuh, hilang, dan terlupakan.

*****

Minggu, 21 November 2021
Pukul 21.25 WIB

Alhamdulillah, upload lagi. 🙂🙏

Kelopak Lantana (Selesai)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang