Selamat membaca 🙂
-- Membalas amarah dengan hal yang serupa bukan tindakan yang tepat untuk menyelesaikan sebuah masalah. --
"Kenapa nggak lo bales aja, Ar. Sekali-kali sepupu lo itu perlu dikasih pelajaran," oceh Nata sembari menahan kesal.
Menanggapi Nata, Arka hanya menggeleng. Tangannya meraih obat luka yang baru saja dibawakan sahabatnya itu. Lalu, mengoleskan ke bagian wajahnya yang terluka.
"Bisa-bisanya lo nggak marah sedikit pun sama Alva. Padahal lo tuh banyak dirugiin, Ar. Udah muka dibikin lebam, sama orang tua terpaksa bohong, terus mesti izin dari kerjaan lagi. Bikin repot aja."
Nata jelas tidak terima dengan perlakuan Alva. Selain dituduh yang bukan-bukan. Arka juga dipukul sampai wajahnya lebam dan luka.
Demi menutupi perkelahiannya dengan Alva. Arka memilih tidak pulang. Menginap di rumah Nata dengan mengarang alasan pada orang tuanya jika Nata butuh bantuan untuk mengerjakan skripsi. Begitu pun dengan tugasnya di kampus. Ia terpaksa mengajukan izin tidak mengajar dengan alasan sakit.
"Kalau gue jadi lo. Udah gue tonjok tuh si Alva sampe lebam juga. Biar impas. Lo luka, dia juga harus luka. Lo lebam, dia juga."
Arka menggeleng lagi. Kali ini dibarengi dengan sebuah senyuman.
"Jujur aja, Ta. Tadi gue juga sempat emosi. Tapi, itu bukannya nyelesaiin masalah. Justru bakal nambah masalah kan?"
"Mungkin nanti muka dan luka ini bakalan lebih parah. Atau bisa jadi dia yang luka parah gara-gara gue. Terus nanti apa untungnya?"
Suara Arka terdengar tenang. Sama sekali tidak ada nada amarah di dalam setiap kalimat yang meluncur dari mulut cowok itu."Masalah orang tua gue dan kampus, biar lah menjadi hak Allah untuk menilainya. Entah sebagai kebohongan atau tidak. Biar lah."
Arka menutup ucapannya dengan kembali tersenyum. Dan disambut dengan anggukan kepala Nata. Tak lama Nata terlihat menghela nafas. Mulut cowok berkulit sawo matang itu melafazkan kalimat istighfar.
"Gue salut sama loe, Ar. Masih bisa tenang dan berpikir jernih di situasi seperti itu."
Arka terkekeh. Kepalanya menggeleng beberapa kali.
"Jangan memuji berlebihan, Ta."
Selesai bicara, Arka kembali melanjutkan mengobati lukanya. Selain ujung bibir kanannya robek. Terdapat lebam di bagian pipi. Membuat wajah Arka sedikit bengkak.
Sebagai manusia biasa Arka juga bisa merasakan marah. Tetapi, sejak kecil ia diajarkan untuk tidak melampiaskan amarah dengan ucapan kasar atau pun memukul secara fisik.
*****
Setelah menemukan buku yang mereka cari, Zahira dan Laras bergegas berjalan keluar dari areal pertokoan yang memang khusus menjual buku itu. Keduanya menuju halte bus untuk pulang ke rumah masing-masing.
Lalu lintas kendaraan cukup padat, ternyata menarik perhatian Zahira. Ia menyempatkan diri mengambil beberapa foto dengan telepon genggamnya. Mengabadikan hal-hal unik di sekitar. Salah satunya serumpun bunga lantana yang tumbuh subur di dalam pot pinggir jalan.
"Ra, lo masih tetap belum mau nemuin Kak Alva?" tanya Laras hati-hati.
Laras khawatir jika ucapannya barusan menyinggung Zahira. Terlebih sejak tadi mereka tidak sedikit pun membahas hal itu.
Zahira menoleh. Ia segera memasukkan telepon genggamnya ke dalam tas. Kepalanya menggeleng.
"Apa nggak sebaiknya lo temuin aja, Ra. Mungkin Kak Alva mau jelasin sesuatu ke lo. Dari nada bicaranya Kak Alva keliatan merasa bersalah banget, Ra."
Zahira mengalihkan pandangan lurus ke depan. Sementara, jemarinya memegang tali tas cangklongnya erat-erat.
"Apa lagi coba yang mau dibahas? Gue kan udah maafin dia."
"Setidaknya beri dia kesempatan untuk minta maaf secara langsung ke loe, Ra."
Zahira membisu. Manik matanya kini beralih menatap ke arah lalu lalang kendaraan di jalanan."Ra, sebenarnya...."
Laras seperti hendak mengatakan sesuatu. Namun, buru-buru ia urungkan.
"Kenapa,La?" tanya Zahira sembari menatap heran pada Laras itu tidak jadi meneruskan ucapannya.
Menanggapi reaksi Zahira, Laras menggelengkan kepalanya cepat.
"Eh, nggak. Bukan apa-apa, Ra. Kita lanjut jalan aja yok."
Meskipun, agak heran dengan sikap Laras. Zahira tidak bertanya apa-apa lagi.
*****
"Gue pamit dulu ya, Ra. Maaf kalau kedatangan gue udah bikin loe kaget."
Zahira mengangguk pelan. Ia pun ikut bangkit dari kursi. Mengantar tamunya hingga ke ujung teras rumah.
Sepeninggal tamunya, baru lah Zahira kembali duduk. Membiarkan lembaran buku yang ada di tangannya meliuk-liuk di tiup oleh angin sore.
Sebelum tamu tak diundang tadi datang. Ia memang sedang membaca buku. Obrolan singkat dengan si tamu membuat pikiran Zahira melayang-layang. Kembali ke beberapa waktu lalu.
Zahira sebenarnya tidak sedikit pun mengira akan kembali ke kota ini. Kota yang sempat menyimpan begitu banyak cerita luka. Untuk dia dan keluarganya. Namun, nyatanya jalan takdir membawa mereka kembali pulang.
Dua tahun lalu, menjelang ia lulus dari SMA. Mamanya tiba-tiba saja dipindah tugaskan oleh perusahaanya ke kantor cabang yang ada di kota ini.
Setibanya kembali di sini. Zahira, mama, dan adiknya tidak lagi menghuni rumah lama mereka. Selama ditinggalkan, rumah itu rusak. Atapnya bocor di sana-sini. Beberapa bagian dindingnya juga retak.Karena belum punya uang untuk memperbaikinya. Untuk sementara, mereka mengontrak rumah tidak jauh dari tempat mama bekerja.
Mulanya Zahira mengira jika mamanya akan merahasiakan kepulangan mereka dari siapa pun. Toh, selama ini tidak ada yang peduli. Saudara mama dan papa juga tidak serta merta berubah menjadi baik setelah tahu papanya tidak bersalah.
Bayangan dan ingatan tentang cemoohan orang-orang masih diingat betul oleh Zahira. Bagaimana tatapan sinis selalu ia dapatkan kala itu.
Hingga mama menyadarkannya dengan sebuah cerita. Dengan tanaman lantana sebagai perumpamaanya."Kak, dulunya tidak ada seorang pun yang mau menjadikan tanaman ini sebagai hiasan di pekarangan rumah mereka. Tanaman ini dianggap buruk dan tidak berguna karena baunya yang busuk."
"Tetapi, hujatan-hujatan itu tidak sedikit pun mematahkan keindahan bunga ini. Ia tetap bisa tumbuh dengan subur meskipun tanpa perawatan khusus. Berbunga sepanjang tahun dengan kelopak yang berwarna-warni dan tidak mudah gugur atau pun layu."
"Kak, harusnya kita juga bisa seperti lantana. Meskipun, orang-orang mencemooh. Tetap lah jadi diri sendiri. Jangan berubah hanya karena ucapan buruk dari orang lain."
Tanpa sadar Zahira beberapa kali menghela nafas. Kalimat-kalimat itu kembali terngiang di pikirannya.
Benarkah ia sudah memaafkan semua orang yang pernah mencemoohnya dulu?
Teman, kakak kelasnya, saudara, tetangga, dan juga orang-orang yang pernah menggunjingnya di halte. Serta, Alva. Seseorang yang dulu pernah mengisi hatinya.
Apa kah tindakannya selama ini sudah benar?
*****
Minggu, 21 November 2021
Pukul 21.18 WIBMasyaallah, setelah lama nggak upload. Rasanya lega bisa menyelesaikan tulisan ini. 🙏🙂

KAMU SEDANG MEMBACA
Kelopak Lantana (Selesai)
General FictionTentang Zahira yang harus merasakan luka berkali-kali di dalam hidupnya. Dibenci, dijauhi, dan dicemooh oleh banyak orang disekitarnya. Bahkan, oleh orang yang mengisi hatinya. Mampukah Zahira kembali tersenyum bahagia? Karena ketika luka itu belum...