Selamat membaca. 🙂
-- Jangan sia-sia kan hidupmu dengan larut dalam kesedihan. Karena kehidupan akan tetap berjalan. Meskipun, kita telah kehilangan peran di satu tempat. --
Kecuali, Arka dan Laras. Kepindahan Zahira sama sekali tidak diketahui oleh teman dan kakak kelas di sekolahnya. Mereka tidak tahu jika mulai pagi ini, gadis yang beberapa hari belakangan selalu berjalan menunduk itu tidak akan pernah terlihat lagi di sana.
Halaman sekolah dipenuhi oleh puluhan bahkan ratusan siswa yang baru tiba di sekolah. Jalur pejalan kaki, motor, dan sepeda masing-masing diisi oleh pemakainya.
Koridor sekolah juga tak kalah ramai. Puluhan siswa berlalu lalang ke sana kemari. Yang baru tiba hendak masuk ke kelas. Sedangkan, yang sudah tiba lebih dulu malah keluar kelas dengan beragam alasan.
Suasana bising memenuhi ruang kelas Zahira yang dulu. Sebagian besar siswa di sana sudah datang. Tiga orang sedang melaksanakan piket. Dua orang di meja sudut kanan, sibuk menyalin tugas dari buku temannya.
Di sisi kiri siswa perempuan duduk bergerombol sembari membicarakan banyak hal yang biasanya berujung dengan gosip. Seorang yang lainnya di meja belakang, asyik mengunyah roti lapis sembari menonton acara musik di telepon genggamnya. Sedangkan, siswa beberapa laki-laki sibuk tebar pesona di luar kelas.
*****
Satu minggu kemudian.
Jam istirahat baru saja dimulai. Arka bersama beberapa temannya segera berjalan menuju kantin. Perut mereka sudah meronta-ronta minta untuk segera diisi.
Drttt…. Drttt…. Drttt….
Di tengah perjalanan, telepon genggam milik Arka bergetar. Tanda ada sebuah pesan baru masuk ke sana.
Setelah melihat siapa pengirim pesan itu, Arka langsung menghentikan langkahnya sejenak. Dan meminta teman-temannya untuk pergi lebih dulu.
“Kalian duluan aja. Gue mau bales pesan dari Mama dulu.”
Ketiga temannya pun mengangguk. Kemudian, kembali melanjutkan langkah.
Mama 10.02
“Arka, Mama barusan dapet telepon dari Tante Mira. Katanya Rara sama Bagas sudah mulai sekolah lagi.”
Arka 10.05
“Alhamdulillah ya, Ma. Semoga Rara sama Bagas betah sekolah di sana.”
Mama 10.07
“Aamiin.”
Kedua sudut bibir Arka melengkung. Membentuk sebuah senyuman. Lalu, bergegas menyusul teman-temanya.
Di ruang kelas Zahira yang dulu. Beberapa siswa perempuan terlibat pembicaraan.
“Eh kalian nggak ada yang mau pindah di bangku punya Rara ya?”
“Nggak ah. Gue nggak mau. Gue takut kena apes juga kayak dia.”
“Ih lagak loe. Nggak perlu duduk di situ juga loe udah sering apes kali.”
“Jahat banget sih.”
“Udah-udah. Kalau nggak ada yang mau pindah di situ, mendingan meja sama bangkunya dipindahin ke belakang.”
“Iya nih. Gue setuju. Kan nggak keren kalau bangku barisan depan ada yang kosong. ”
“Kalau gitu cepetan minta tolong sama anak-anak cowok. Masa harus kita-kita juga yang ngerjainnya. Gue nggak mau.”
“Iya kita minta tolong sama anak cowok yang lagi duduk di teras depan aja."
"Dasar si Rara, udah pindah sekolah aja masih tetap ngerepotin orang-orang.”
Tak sampai lima menit. Meja dan bangku tempat Zahira duduk dulu sudah berpindah tempat.
Laras yang baru kembali dari kantin bersama beberapa teman lain sedikit terkejut melihat perubahan posisi tempat duduk di kelasnya sekarang. Namun, tak berapa lama ia pun tahu jika itu semua perbuatan teman-temannya yang selalu memusuhi Zahira.
Sementara itu, Alva bersama dua sahabatnya menghabiskan sisa waktu istirahat dengan bermain basket. Terlihat permainan dikuasai penuh oleh Alva. Bian dan Gadhing tak sedikit pun diberi kesempatan untuk memasukkan bola ke dalam ring.
Duk…. Duk…. Duk….
Alva memainkan bola basket di tangannya dengan lihai. Mata elangnya siap membidik ring.
“Udahan yuk. Capek nih,” seru Bian dengan nafas tersengal.
“Iya Al, gue juga nyerah deh. Gue ngaku kalah,” lanjut Gadhing yang juga terlihat kesulitan bernapas.
Alva melengos. Pemuda tak peduli dengan ucapan kedua temannya tadi. Ia tetap melanjutkan permainan. Dan dengan sekali tembakan ia berhasil memasukkan bola ke dalam ring.
Duk…. Duk…. Duk….
Alva kembali memantulkan bola ke lantai. Tetapi, akhirnya tak jadi ia lemparkan ke ring. Ia justru membawa bola itu sambil berjalan menuju bangku di pinggir lapangan.
“Ah payah loe berdua. Baru main bentar aja udah ngeluh capek.”
Bian dan Gadhing mengikuti Alva dengan langkah gontai.
“Maafin kita, Al. Kita berdua mana bisa nandingin permainan loe. Secara loe kan tim inti basket sekolah kita,” keluh Bian.
“Iya Al. Maafin kita,” sambung Gadhing dengan nada berhati-hati.
Melihat ekspresi kedua sahabatnya, Alva terkekeh.
“Santai aja. Gue nggak marah kok sama kalian berdua. Permainan tadi lumayan lah.”
Mendengar perkataan Alva, sontak Bian dan Gadhing tersenyum. Kedua pemuda itu langsung memasang wajah ceria lagi.
“Mending balik ke kelas yuk. Bentar lagi masuk.”
Alva bangkit dari duduknya. Diikuti pula oleh Bian dan Gadhing. Tiga sahabat itu pun segera berjalan beriringan kembali ke kelas mereka.
*****
Minggu, 12 September 2021
Pukul 13.35 WIB
Alhamdulillah bisa publish dua bab untuk hari ini.
Karena memang pas untuk memutus ceritanya di bab ini. Sebelum lanjut ke cerita setelah Zahira pindah sekolah. 🙂
Semoga isinya tidak mengecewakan ya. 🙂
Untuk bab berikutnya akan di publish Jum'at, Sabtu, Minggu depan.
Terima kasih atas dukungannya. 🙂🙏
Sampai ketemu lagi. 🙂🙏
KAMU SEDANG MEMBACA
Kelopak Lantana (Selesai)
General FictionTentang Zahira yang harus merasakan luka berkali-kali di dalam hidupnya. Dibenci, dijauhi, dan dicemooh oleh banyak orang disekitarnya. Bahkan, oleh orang yang mengisi hatinya. Mampukah Zahira kembali tersenyum bahagia? Karena ketika luka itu belum...
