Bagian 22. Mengikhlaskan

9 3 0
                                    

Selamat membaca. 🙂🙏

-- Untuk urusan hati ada kalanya perlu diperjuangkan. Tetapi, ada kalanya pula cukup untuk diikhlaskan. --

    Sore itu Nata mengajak Arka makan siang di warung mie ayam di depan kampus mereka. Nata sengaja menunggu Arka selesai mengajar.

      "Jadi kapan lo mau ngelamar Zahira, Ar?"

      Arka yang sedang meneguk teh manis hampir saja tersedak. Sepertinya ia cukup terkejut dengan pertanyaan Nata.

      "Kami cuma berteman, Ta," jawab Arka setelahnya.

        Nata mengernyitkan dahi. Tidak percaya dengan jawaban Arka.

       "Yakin kalian berdua cuma temenan?"

      Arka mengangguk.

       Nata memperhatikan gerak-gerik Arka. Tiba-tiba, pemuda itu tersenyum.

      "Kenapa? Lo takut ditolak? Belum juga maju. Udah mau mundur aja."

       Arka masih diam. Meskipun, sepertinya ia ingin mengatakan sesuatu.

       "Gue tahu, Ar. Lo punya perasaan kan sama Rara. Lamar aja. Dari segi finansial lo kan udah siap. Pendapatan dari asisten dosen sama usaha percetakan udah cukup kali buat biayain keluarga kecil kalian berdua nanti."

       Pandangan Arka beralih ke arah jalan. Lalu, kembali menatap Nata.

       "Bukan itu masalahnya, Ta."

       "Terus apa?"

        Arka menghela napas sejenak.

        "Masalahnya gue merasa belum siap, Ta. Ilmu gue masih minim. Khawatirnya nanti kalau terjadi masalah di kehidupan rumah tangga, gue nggak bisa nyelesaikannya. Mungkin masih butuh beberapa tahun lagi buat gue belajar."

       Arka kembali menghela nafas. Kali ini terdengar lebih panjang dari sebelumnya.

        "Kalau gue lamar dia sekarang. Terus nanti gue harus bilang apa? Minta dia nunggu? Nunggu gue yang entah kapan akan benar-benar siap."

        "Gue takut kalau nanti dalam proses menunggu itu kami malah terjebak dalam pacaran. Bahkan, tidak menutup kemungkinan jika akan ada yang tersakiti nantinya."

       "Lo tahu kan hubungan keluarga kami seperti apa? Kalau sampai terjadi hal buruk di antara kami, maka hubungan dua keluarga menjadi taruhannya. Gue nggak mau hal itu sampai terjadi."

      Nata paham dengan apa yang diucapkan Arka. Tangannya menepuk bahu Arka pelan.

       "Semoga kelak takdir baik akan datang ke lo ya, Ar."

      Arka mengangguk. Sembari berdoa dalam hati.

*****

        Dug.... Dug.... Dug....

        Dengan asal-asalan Alva memainkan bola basket di tangannya. Sejak tadi tidak satu pun tembakannya berhasil masuk ke dalam ring. Sekedar menyentuh ring pun tidak.

         Alva memang sedang tidak baik-baik saja. Meskipun, sudah seminggu berlalu. Ingatan tentang percakapan dengan Zahira masih saja mengganggu pikirannya.

        "Ra, Kakak mau jujur. Kakak masih sayang sama Rara. Kakak menyesal dulu udah bikin hubungan kita berantakan. Kakak pengen kita bisa balik kayak dulu lagi. Tolong kasih kesempatan lagi buat Kakak. Kita mulai semuanya dari awal lagi, Ra."

Kelopak Lantana (Selesai)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang