Bagian 3. Kerikil-Kerikil Tajam

30 19 7
                                    

Selamat membaca....🙂

-- Terkadang kita perlu menulikan telinga dari komentar-komentar negatif. Bukan karena tidak peduli. Tetapi, demi kebaikan jiwa kita. --

          Sebelum berangkat ke sekolah, Zahira mampir ke warung makan di dekat rumahnya. Ia berniat membeli beberapa kue dan lauk. Untuk sarapan dan bekalnya ke sekolah.

           Mamanya belum juga punya mau mengerjakan pekerjaan rumah. Jadi, Zahira lah mengambil alih tugas itu.

          Tadi pagi-pagi sekali ia sudah memasak nasi, menyapu rumah, halaman, menyiram bunga, dan menjemur pakaian yang ia cuci semalam. Ia tak ingin melihat rumah mamanya kembali berantakan seperti dua hari yang lalu. 

          Zahira mengedarkan pandangan ke sekeliling. Mencari kue dan lauk yang mungkin menarik perhatiannya.

         Warung makan ini setiap pagi selalu ramai. Pembeli tinggal mengambil sendiri makanan di atas beberapa meja panjang. Jika sudah selesai, tinggal di bawa ke meja kasir yang terletak di sisi sebelahnya.

         Ketika hendak memilih kue, telinga Zahira mendadak terasa panas. Sedangkan, matanya tiba-tiba saja berkabut.

         “Aduh Mbak Ning aku tuh bersyukur banget loh, Bayu udah nggak satu kelas lagi sama temennya yang satu itu,” celetuk seorang ibu-ibu berbaju merah di arah sudut kiri, pada teman di sampingnya.

        Temannya yang berbaju biru itu mengangguk.

       “Takut ketularan jadi maling ya, Mbak,” jawabnya kemudian, sembari tertawa kecil.

      “Iya, Mbak. Ih amit-amit deh. Kalau kebanyakan makan uang hasil maling pasti ngaruh kan,” lanjut ibu-ibu baju merah lagi dengan nada ketus.

       Deg….

       Zahira bukan anak kecil lagi. Ia tahu betul jika dua wanita itu sedang membicarakan adiknya.

        Gadis itu menghela nafas panjang. Lalu, dengan asal-asalan Zahira mengambil beberapa kue dan lauk. Ia sama sekali tak jadi memilih. Terserah mama dan adiknya suka atau tidak. Yang penting ia ingin segera pergi dari sana.

*****

       Dengan mata yang masih berkabut, Zahira menyusun kue dan lauk di atas meja makan. Tak lupa ia juga membuat tiga gelas teh hangat. Untuk mama, Bagas, dan dirinya sendiri.

       Selesai mempersiapkan semuanya, gadis itu pergi menuju kamar Bagas. Membujuk anak lelaki kelas lima sekolah dasar itu untuk ikut sarapan. Namun, usahanya gagal. Adiknya lebih memilih melanjutkan tidurnya.

        Zahira tak mau memaksa Bagas. Ia khawatir adiknya akan semakin terluka. Adiknya itu hanya perlu waktu untuk menerima semua yang terjadi di keluarga mereka.

       Tok…. Tok…. Tok….

       “Ma, Mama udah bangun kan? Ma, sarapan yuk. Tadi Rara udah beli kue sama lauk.”

       Zahira berusaha bicara selembut mungkin. Namun, panggilannya sama sekali tidak mendapat jawaban.

       “Ma, sarapan yuk. Rara udah bikin teh hangat buat Mama.”

       Sekali lagi usaha Zahira berbuah sia-sia. Mamanya tidak juga mau keluar dari kamar. 

       “Ma, sampai kapan Mama kayak gini? Mama nggak kasihan sama Rara? Sama Bagas juga. Kami butuh Mama.”

       “Ma, jangan diem aja. Mama boleh kok nangis di depan Rara. Mama boleh teriak di depan Rara. Boleh, Ma. Boleh.”

       “Ma, Rara nggak tahu sampai kapan Rara kuat ngadepin ini semua sendirian. Rara capek, Ma.”

       Zahira melangkah kembali ke dapur. Ia tak mungkin berlama-lama berdiri di sana. Sebentar lagi ia harus segera berangkat ke sekolah.

        Di meja makan Zahira mengunyah bolu kukus yang dibelinya tadi dengan tidak bersemangat. Ia belum terbiasa sarapan seorang diri. Ia merindukan acara sarapan bersama seperti pagi-pagi sebelumnya. Merindukan canda tawa mereka sekeluarga.

        Selesai sarapan, Zahira kembali menuju kamar mamanya

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.


        Selesai sarapan, Zahira kembali menuju kamar mamanya.

       “Ma, Rara berangkat dulu. Rara titip Bagas, Ma. Dia belum sarapan.” 

       Dengan langkah gontai Zahira berlalu meninggalkan kamar mamanya yang masih tertutup rapat.

      Kriet….

       Beberapa saat setelah Zahira pergi, pintu kamar pun terbuka.  Mamanya muncul dengan mata sembab.

        Wanita bernama Mira itu hanya bisa termangu menatap kepergian Zahira dari balik kaca jendela rumah. Dan tanpa sadar membuat air matanya kembali lolos.

       Mira mendengar dengan jelas semua keluh kesah putri sulungnya barusan. Namun, ia sama sekali tidak berani untuk keluar. Ia sendiri masih bingung dan belum bisa menerima semua yang menimpa keluarganya.

         “Maafin Mama,Nak.”

        Dengan langkah yang sedikit goyah, wanita itu pergi menuju kamar Bagas.

*****

         Zahira duduk di halte dengan perasaan gelisah.  Ia sama sekali tidak suka berlama-lama di sana. Malas rasanya harus terus mendengarkan gunjingan dari orang-orang.

        “Eh, dia itu anak pelaku penggelapan dana yang barusan ketangkep kan?”

         “Denger-denger sih iya. Tapi, kok dia selalu berangkat sekolahnya naik bus ya? Nggak malu gitu?”

         “Pencitraan kali. Biar nggak terlalu keliatan.”

        Lagi dan lagi. Zahira hanya bisa menghela nafas dengan kasar.

         Entah siapa lagi yang akan menghina keluarganya. Entah di mana lagi ia bisa hidup tenang tanpa perlu mendengar hinaan dan sindiran yang tentu saja membuatnya terluka.

         Ingin rasanya ia bisa menghilang dari sana. Atau mengubah dirinya menjadi sangat kecil. Sehingga, tidak seorang pun bisa melihatnya.

*****

Minggu, 05 September 2021
Pukul 11.45 WIB

Alhamdulillah, bisa lanjut ke bab tiga. 🙂
Semoga suka ya. 🙂
Jangan lupa follow, bintang, dan komentarnya. 🙂
Terima kasih. 🙏🙂

Sampai ketemu lagi di hari Jum'at. 🙂🙏

Sumber foto : Pinterest

Kelopak Lantana (Selesai)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang