Bagian 11. Kenyataan Pahit

18 8 11
                                    

Selamat membaca. 🙂

-- Perihal meninggalkan dan ditinggalkan. Itu hanya lah masalah waktu. Tidak ada seorang pun bisa menghindar dari yang namanya takdir kematian. --

         Raga yang baru saja bangkit. Kini harus dipaksa jatuh lagi. Luka yang baru sembuh. Kini harus tersayat dan berdarah lagi. Bahkan, lebih parah dari sebelumnya.

        Istirahat. Menjadi kata-kata yang begitu menakutkan bagi Zahira saat ini. Sebab, itu menjadi kata terakhir dari papanya. Tiga hari yang lalu.

         Zahira, Bagas, dan mamanya harus merelakan kepergian papa untuk selama-lamanya. Padahal, mereka berempat baru berkumpul sebentar.

        Ah. Entah lah. Zahira sama sekali tidak bisa berpikir jenih saat ini. Pikirannya kacau. Ia bahkan tidak bisa berhenti menangis.

       Tok…. Tok…. Tok….

       “Ra, ini Kak Arka. Bisa buka pintunya sebentar?”

        Hening. Sama-sekali tidak ada jawaban dari dalam kamar.

       Arka dan mamanya datang untuk menghibur keluarga Zahira. Mereka tahu jika keluarga ini benar-benar sedang butuh semangat dan dorongan.

       “Ra, makan dulu. Nanti loe bisa sakit kalau terus-terusan mogok makan gini. Kasian Mama, Ra.”

        Arka mengulangi ketukannya di pintu kamar Zahira. Berharap gadis itu mau keluar.

        Kriet……

        Benar saja. Pintu kamar itu terbuka lebar.

       Arka terkejut melihat penampilan Zahira. Gadis itu terlihat sangat kacau. Matanya merah dan sembab.

        Cowok itu menghela nafas. Tak tega melihat kondisi Zahira.

        “Ra, ayo makan dulu. Kita duduk di ruang tamu yok. Biar Kakak bisa temenin loe makan sambil cerita-cerita.”

        Zahira menatap nanar ke arah ruang tamu. Sedangkan, mulutnya masih terkunci rapat.

        “Kakak tahu loe lagi sedih, Ra. Tapi, bukan berarti loe harus nyakitin diri sendiri kan? Loe nggak sendiri kok. Masih ada mama dan adik loe.”

         Arka menjeda perkataannya sejenak. 

        “Dan ada Kakak juga. Keluarga Kakak akan selalu ada buat kalian.”

        Satu per satu air mata Zahira kembali meluncur deras di pipinya. Tangisnya kembali pecah.

       Melihat hal itu, Arka hanya bisa terdiam. Bingung harus bagaimana. Untuk memeluk Zahira, Arka tidak berani. Mereka bukan mahram.

        “Ayo Ra kita duduk di ruang tamu.”

        Berlahan Zahira menganggukkan kepalanya. Mengikuti langkah Arka.

*****

        Mama Zahira dan tante Ratna saat ini sedang berada di dapur. Keduanya duduk di kursi meja makan.

        Penampilan Mira juga hampir sama dengan Zahira. Matanya sembab.

       “Ratna.”

       “Iya, Mbak. Ada apa?”

       “Kenapa hidup Mbak seperti ini? Kemalangan selalu saja datang di keluarga, Mbak.”

       “Mbak, jangan bicara seperti itu. Semua sudah digariskan. Mas Baskara pergi karena sudah tiba waktunya.”

       “Tapi, kenapa harus secepat ini? Padahal, kami baru saja kembali bersama.”

        “Kehilangan seseorang yang kita cintai memang menyakitkan, Mbak. Tetapi, kembali lagi bahwa semua kejadian ini sudah menjadi takdir terbaik dari Allah untuk Mas Baskara, Mbak.”

         “Mbak jangan tersinggung ya, dengan ucapan Ratna ini. Ratna memang tidak tahu betul rasa sakit yang Mbak alami. Hanya sekedar melihat, dengan yang benar-benar mengalaminya tentu saja berbeda.”

          “Ratna tahu jika semua ini tidak mudah bagi Mbak dan anak-anak. Tetapi, Ratna mohon Mbak jangan seperti ini. Jangan menangis terus. Kasihan Zahira dan Bagas. Mereka sangat membutuhkan Mbak.”

         Mama Zahira menatap tante Ratna dalam-dalam. Mencerna setiap kalimat yang tadi diucapkan kepadanya.

    Berlahan sebuah senyuman, terbit di wajah pucat itu. Sangat tipis.

      “Kamu bisa nginep di sini nggak? Temani Mbak.”

        Tante Ratna balas tersenyum. Wanita itu pun mengangguk.

*****

        Hidup memang penuh misteri. Tak seorang pun tahu apa yang akan terjadi di masa depan. Bahkan, sedetik dari sekarang.

         “Pa, kami pulang dulu ya. Papa yang tenang di sana. Papa jangan sedih ya. Kami bakal sering-sering ke sini buat jenguk Papa.”

       Zahira menabur helaian bunga mawar merah ke atas makam papanya. Bergantian dengan mama dan Bagas.

       Meskipun, Zahira sudah mencoba menahan sekuat mungkin. Tetap saja bulir-bulir bening, lolos begitu saja di pipinya.

       Mama mengusap punggung Zahira lembut. Menguatkan hati putri sulungnya itu. Walaupun, sebenarnya ia juga sama. Hatinya hancur.

     Selesai ziarah, mereka bertiga segera menuju mobil Arka yang sudah menunggu di gerbang. Melanjutkan perjalanan menuju bandara.

       “Ayo berangkat, Nak Arka.”

       “Iya, Tante.”

       Mobil hitam itu bergerak berlahan menyusuri jalan yang tak terlalu lebar di sana. Sebelum akhirnya sedikit kencang ketika sudah masuk ke jalan utama.

       Zahira menatap ke arah jendela di samping kursinya. Berusaha mengusir kesedihan yang sedari tadi ia rasakan.

      Tiba-tiba saja, bayangan papa muncul dalam pikirannya. Membawa Zahira kembali pada sebuah sore. Hari di mana ia tiba di kota ini lagi.

        Saat itu Zahira dan papanya berbincang di teras rumah. Ditemani senja.

       “Kakak, terima kasih ya sudah mau bertahan sejauh ini. Maafkan Papa. Gara-gara Papa, kalian harus merasakan kepahitan dan kesusahan hidup. Menanggung cemoohan dari orang-orang.”
   
        “Tapi, Kakak sadar tidak kenapa Allah memberi cobaan seperti ini?”

       Zahira menggeleng.

        “Allah mau menjadikan diri Kakak kuat. Membuat Kakak menjadi pribadi yang lebih baik dari sebelumnya.”

         “Yang perlu Kakak ingat bahwa, semua yang terjadi ini merupakan kehendak dari Allah. Dia Maha Mengetahui yang terbaik untuk kita, hamba-Nya.”

         “Jadi, Kakak harus janji ya sama Papa. Kalau terjadi sesuatu lagi nanti. Kakak harus kuat.”

         "Bantu Papa jagain Mama sama adekmu."

         Tanpa sadar Zahira kembali menangis. Ingatan itu sungguh menyakitkan. Ucapan papanya seolah memberi tanda jika ia sudah tahu akan segera pergi dari dunia ini.

        Sekilas ia melirik ke arah kursi depan. Di mana Bagas duduk berdampingan dengan Arka di balik kemudi. Lalu, ke arah mama di sisi kirinya. Ia berjanji akan selalu kuat. Demi dua orang terkasihnya itu.

*****

Minggu, 19 September 2021
Pukul 13.35 WIB

Alhamdulillah, publish lagi. 🙂
Sengaja agak berjarak lama. 🙂

Soalnya di bagian ini Zahira kembali sedih. 😢

Terima kasih ya buat yang sudah mau mampir. 🙂🙏
Sampe ketemu Jumat depan. 🙂🙏




 

Kelopak Lantana (Selesai)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang