Bagian 8. Kabar Mengejutkan

19 11 0
                                    

Selamat membaca. 🙂

-- Setiap perbuatan pasti ada mendapatkan balasan yang sepadan. Baik akan berbalas dengan kebaikan. Buruk akan dibalas dengan keburukan pula. --

1 tahun kemudian.

Di sebuah ruang kerja pribadi. Tiga laki-laki dewasa sedang terlibat pembicaraan serius. Dua diantaranya memakai kemeja biru dan merah. Sedangkan, yang satu lagi mengenakan jas hitam dengan dasi warna senada.

"Pak, saya sarankan mulai saat ini Bapak harus berhati-hati. Sepertinya pimpinan mulai mencurigai kita," suara laki-laki berkemeja biru terdengar cemas.

"Betul, Pak. Beberapa hari yang lalu pimpinan meminta dokumen keuangan tahun lalu dicek ulang," tambah laki-laki berkemeja merah.

"Kenapa baru sekarang kalian lapor ke saya?" bentak laki-laki berjas hitam.

"Kalian pikir ini masalah sepele hah? Kalian mau mati?"

"Aaampun, Pak."

"Ka...kami tidak tahu harus melakukan apa, Pak."

Dua laki-laki berkemeja tertunduk. Takut dengan kemarahan laki-laki berjas hitam.

"Akh... Dasar bodoh kalian. Begitu saja harus tanya saya dulu. Rugi saya memperkerjakan kalian berdua selama ini."

"Bagaimana kalau mereka sudah menemukan bukti itu hah? Bagaimana? Jawab saya!"

Tundukkan kepala dua laki-laki itu semakin dalam. Ketakutan, itu lah yang mereka rasakan saat ini.

"Pokoknya saya tidak mau tahu. Kalian harus lebih dulu mengambil bukti-bukti itu. Bagaimana pun caranya."

"Saya tidak mau jatuh hanya gara-gara kebodohan kalian berdua. Paham!"

"Ka...kami akan coba, Pak."
Mendengar jawaban seperti itu, laki-laki berjas hitam bertambah marah.

"Coba? Bisa kamu ulangi sekali lagi hah?"

Kerah baju laki-laki berkemeja biru ditarik kasar. Seolah ingin ditelan hidup-hidup.

"Sudah saya bilang, ini bukan masalah sepele. Ini menyangkut hidup mati saya dan kalian berdua. Paham tidak?"

"Pa... Paham, Pak."

Tubuh ketakutan itu terdorong ke belakang. Bersamaan dengan cengkraman di kerah baju yang terlepas.

"Ya sudah, kalian cepat keluar sana. Segera lakukan apa yang saya perintahkan tadi!"

"Lakukan dengan rapi! Jangan pernah meninggalkan jejak sedikit pun!"

"Baik, Pak."

Secepat kilat, dua laki-laki berkemeja itu keluar ruangan. Meninggalkan laki-laki berjas hitam yang masih diselimuti amarah.

*****

Drrttt.... Drrttt....

Telepon genggam milik Mira, mamanya Zahira berkedip-kedip. Sebuah panggilan dari nomor tidak dikenal.

Wanita itu tidak langsung menjawab. Setelah panggilan ke dua, barulah ia menekan gambar telepon berwarna hijau di layar.

"Selamat siang. Ini betul dengan Ibu Mira?" tanya seorang wanita di sebarang sana.

"Iya betul. Dengan saya sendiri. Ini dengan siapa ya?"

"Kami tim penyidik kasus atas nama Bapak Baskara. Betul itu nama suami Ibu?"

"Iya, betul. Ada apa ya?"

"Kami baru saja melakukan pengkajian ulang kasus Bapak Baskara. Dan kami menemukan bukti-bukti keterlibatan pihak lain di kasus ini. Bukti yang mungkin bisa membebaskan Bapak Baskara dari segala tuduhan selama ini."

Brak....

Lutut mama Zahira terasa lemas. Tubuhnya hampir saja ambruk ke lantai. Beruntung lengannya cepat ditangkap oleh Bagas, putra bungsunya. Namun, karena tidak terlalu siap, remaja itu sedikit oleng dan tanpa sengaja sikunya menghantam lemari di dekat sana.

"Mama kenapa?" tanya Bagas, cemas.

Mamanya menggeleng. Lalu, memberi kode agar tidak berbicara dulu. Bagas pun menurut. Ia segera melepaskan pegangannya.

"Bu? Ibu baik-baik saja?"

Suara wanita penelpon terdengar khawatir. Sepertinya ia mendengar suara keras tadi.

"Eh, saya tidak apa-apa."

"Syukurlah kalau begitu. Melanjutkan masalah tadi, Bu. Kami sangat mengharapkan kedatangan Ibu ke kantor. Apa Ibu bersedia?"

"Kapan, Bu?"

"Besok, pukul sembilan pagi."

Mama Zahira terlihat diam sejenak. Seperti memikirkan sesuatu. Sebelum akhirnya kembali mengeluarkan suara.

"Saya bersedia, Bu. Besok saya akan datang ke kantor."

"Baik lah kalau begitu, Bu Mira. Terima kasih atas kerja samanya. Kami tunggu kedatangan Ibu besok."

"Terima kasih kembali, Bu."

Tuttt.... Tuttt.... Tuttt....

Sambungan telepon berakhir. Dengan berlinang air mata, mamanya Zahira berjalan menuju sofa. Mendudukkan tubuhnya yang kembali lemas.

"Mama kenapa? Cerita sama Bagas. Siapa yang tadi telepon Mama?" Bagas berjalan mendekati mamanya.

"Ada apa, Dek? Mama kenapa? Telepon apa?"

Zahira yang baru keluar dari kamarnya, langsung panik mendengar pembicaraan mama dan adiknya. Terlebih lagi melihat wajah mama yang pucat.

"Papa kalian, Nak."

"Papa kenapa, Ma?" tanya Zahira heran.

"Papa kalian kemungkinan bisa bebas."

Bola mata Zahira dan Bagas membulat seketika. Terkejut dengan kata-kata yang baru saja diucapkan mama.

"Maksud Mama? Gimana caranya Papa bisa bebas, Ma? " tanya Zahira memburu.

Mama tersenyum. Tangannya mengusap lembut bahu Zahira dan Bagas.

"Kalian berdua baik-baik ya di rumah. Besok Mama mau pulang ke rumah lama kita. Tadi yang telepon itu, tim penyidik kasus Papa. Mama diminta datang ke kantor mereka besok pagi."

"Besok, Ma?"

Mama mengangguk.

"Zahira sama Bagas ikut ya, Ma?"
Mama mengeleng. Tangan mama beralih menggenggam jemari Zahira.

"Kalian di sini saja. Biar Mama yang ke sana. Kalian kan harus sekolah."

"Tapi, Ma."

"Pokoknya kalian tetep di sini. Selalu doakan yang terbaik untuk Papa."

Zahira tak menyahut lagi. Gadis itu langsung memeluk mamanya.

*****

Jum'at, 17 September 2021
Pukul 12.10 WIB

Alhamdulillah bisa publish bab baru lagi.
Tadinya mau publish pagi-pagi. Tapi, ternyata pas dibaca-baca babnya perlu revisi. 🤭

Semoga masih ada yang setia ngikutin cerita ini. Aamiin.
Sampe ketemu besok. 🙂

Kelopak Lantana (Selesai)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang