Bagian 19. Benang Kusut

21 7 5
                                    

Selamat membaca.🙂

-- Masalah hati sering kali membuat seseorang kehilangan logika berpikirnya. --

         Berselang beberapa hari.

        Bukan Alvarendra namanya jika menyerah begitu saja. Meskipun, belum juga berhasil mendapatkan nomor kontak Zahira. Tetapi, sekarang ia sudah tahu cewek itu mengambil kuliah jurusan apa.

          Hampir setiap hari Alva memeriksa sosial media Laras. Memeriksa satu per satu postingan Laras. Hingga pada akhirnya Alva menemukan satu foto yang di dalamnya ada Zahira.

         Ternyata, Zahira kuliah di Fakultas keguruan dan ilmu pendidikan program studi bahasa indonesia. Ia tercatat sebagai mahasiswa kelas B.

         Informasi ini membuat semangat Alva kembali menyala. Sebab, cukup menjadi bekalnya untuk kembali memperjuangkan maaf dari Zahira.

        Eits tunggu dulu. Hanya maaf saja?

        Bukan kah beberapa hari lalu sudah ia dapatkan?

       Hmmm.... Siapa pun pasti sudah bisa menebak jika ada hal lain yang sebenarnya ingin Alva perjuangkan. Apalagi kalau bukan urusan hati. Meskipun, harapannya sangat kecil. Setidaknya ia ingin berusaha.

       Sore itu Alva kembali ikut bermain futsal bersama Bian, Gadhing, dan teman kuliah mereka yang lain. Kegiatanini bukan untuk persiapan lomba, ajang taruhan, atau lainnya. Melainkan, sekedar untuk berolahraga saja.

      "Rencana loe selanjutnya apa, Al?" tanya Bian di sela-sela waktu istirahat mereka dari bermain futsal.

       "Belum tahu, Bi. Gue masih bingung harus gimana."

      Bian menepuk bahu Alva pelan untuk menyemangati sahabatnya itu.

      "Temui Rara. Bicarakan semuanya baik-baik sama dia."

       "Gue sih maunya kayak gitu, Bian. Tapi, gue takut dia nolak buat diajak bicara. Setiap gue titip pesan ke Laras aja dia selalu nolak."

        "Apa salahnya dicoba lagi, Al."

        "Gue masih ragu, Bi. Gue masih ingat pas pertama kali kita ketemu lagi. Dia liat gue kayak orang asing. Ngomongnya juga pake istilah saya. Bukan loe gue kayak dulu."

      Bian tersenyum.

      "Mungkin dia kaget lihat loe. Pokoknya jangan nyerah dulu, Al."

       Alva menunduk. Galau memikirkan cara berbaikan dengan Zahira.

     "Akan gue coba besok."

     "Nah gitu dong. Tapi, jangan sampe nggak bimbingan ya. Skripsi loe jangan sampe terbengkalai."

       Alva mendongakkan kepala. Lalu, terkekeh.

       "Iya. Iya."

*****

          Musuh terbesar dari kita adalah diri sendiri. Beberapa lebih banyak mengedepan kan emosi ketimbang pemikiran jernih.

        "Dasar pengecut loe. Pembohong."

       Bug...

       Sebuah pukulan keras mendarat di wajah Arka. Membuat sudut kanan bibirnya berdarah.

       "Loe sengaja bohongin gue kan? Loe bilang nggak tahu kabar tentang Rara. Tapi, nyatanya. Dasar pembohong!"

       Alva bersiap kembali memukul Arka. Namun, tubuhnya terlebih dulu didorong Bian ke arah belakang.

Kelopak Lantana (Selesai)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang