Selamat membaca.....
-- Tak perlu takut terlihat lemah. Menangis lah jika memang harus. --
Di hari keempat gunjingan dan cemoohan dari teman dan kakak kelas Zahira semakin menjadi-jadi. Sekarang bukan hanya mengunjingkan perihal kasus yang menimpa papanya. Tetapi, juga mulai menuduh yang tidak-tidak atas kedekatannya dengan Arka.
"Dasar centil. Abis putus dari Alva. Sekarang jalan sama sepupunya."
"Alva beruntung udah lepas dari tuh cewek. Tapi, sekarang giliran Arka yang kena apesnya."
"Masih kelas X kelakukannya udah kayak gitu."
"Pake pelet kali ya tuh cewek. Bisa-bisanya Arka baik sama dia."
"Bisaan ya dia ngegaet kakak-kakak kelas XII."
Tak tahan lagi dengan semuanya, Zahira pun mempercepat langkah kakinya. Berharap suara-suara itu tak lagi terdengar.
Zahira bukan tak ingin membantah semua tuduhan itu. Tetapi, lagi-lagi ia sadar jika tidak akan ada yang mau mendengarkan perkataannya. Tidak seorang pun.
Hiks.... Hiks.... Hiks....
Untuk pertama kalinya Zahira menangis di sekolah. Sepertinya ia benar-benar sudah tidak tahan dengan keadaan yang menimpanya saat ini. Kehilangan yang bertubi-tubi cukup membuatnya tertekan.
Zahira tidak sedang berada di dalam kelasnya. Melainkan, duduk merosot di lantai belakang bangunan toilet siswa. Tempat yang tidak mungkin didatangi oleh orang lain.
Beberapa saat kemudian, suara isak tangis Zahira kian menguat. Pipinya tampak basah. Tubuhnya bergetar hebat. Ia menangis sambil mencengkram kuat tas sekolahnya.
Perlahan Zahira merasakan sebuah sentuhan tangan di puncak kepalanya. Masih dengan berlinang air mata, gadis itu mendongakkan kepalanya. Penasaran dengan siapa yang berhasil menemukannya di sini.
Setelah memastikan siapa orang yang datang, Zahira hanya tersenyum tipis. Lalu, kembali menunduk. Seolah tak peduli dengan orang di hadapannya.
"Maafin gue, Ra. Gue emang sahabat yang jahat. Gue pengecut. Gue nggak ada disaat loe butuh dukungan."
"Ra, gue bener-bener minta maaf."
Orang itu Laras. Sahabatnya sejak SMP. Mereka berdua satu kelas. Dan duduk berdekatan. Laras, satu orang yang membuat Zahira menangis karena merasa kehilangan.
Selama tiga hari kemarin Laras menjauh. Ia bahkan pindah tempat duduk. Seolah enggan melihat Zahira sedikit pun.
Laras merengkuh tubuh Zahira ke dalam pelukannya. Tak perduli dengan sikap acuh yang ditunjukkan Zahira padanya. Karena ia memang pantas mendapatkan hal itu.
Sementara, di sisi lain terlihat sesosok siswa laki-laki sedang berdiri mengamati dua sahabat itu. Dia tak lain adalah Arka.
*****
"Alva," seru Gadhing setengah memekik di mulut pintu ruang basket tempat mereka bertiga biasa berkumpul.
Alva yang sedang bermain game dengan telepon genggamnya pun menoleh. Namun, ia tak beranjak dari tempat duduknya.
"Ada apaan sih teriak-teriak. Berisik banget. Bikin malu aja."
"Al, loe sini bentar deh," kali ini Gadhing melambai-lambaikan tangannya, memaksa agar Alva mau bangun dari duduk.
"Males ah. Palingan juga nggak penting."
Alva melengos. Lalu, kembali fokus pada layar telepon genggamnya. Melanjutkan permainan gamenya lagi.
"Yaelah, Al. Maen game mulu loe. Sini bentar."
Gadhing mendengus kesal. Ingin sekali ia menarik Alva dari bangkunya. Namun, ia takut temannya itu akan marah. Bisa-bisa nanti ia malah kena bogem mentah.
"Apaan sih yang diributin. Sini gue yang liat," Bian yang duduk di sebelah Alva bangkit dari kursinya.
Bian berjalan mendekati Gadhing. Kedua matanya langsung patuh mengikuti arah pandangan sahabatnya.
"Al, loe emang harus ke sini deh," pekik Bian setelahnya.
Didorong rasa penasaran, Alva akhirnya menurut. Pemuda itu ikut mendekat ke arah Bian dan Gadhing.
Seketika mata pemuda itu menyipit. Pemadangan yang serupa dengan kemarin, kembali ia lihat.Di koridor sebelah kanan ia melihat Zahira dan Arka sedang berjalan berdampingan. Meskipun, ada Laras juga di sana. Namun, karena posisi Laras yang agak sedikit tertinggal di belakang membuat keduanya terlihat lebih dekat.
"Gila ya mantan loe, Al. Udah punya pawang baru aja dia," ujar Gadhing.
"Mana pinter lagi dia milih pawang barunya. Yang sabar ya, Al," lanjut pemuda itu.
Ucapan Gadhing barusan langsung disambut dengan tatapan tajam dari Alva. Ditambah dengan siku Bian yang menghantam perutnya secara tiba-tiba. Alhasil, pemuda itu meringis kesakitan.
"Becanda kali, Al," suara Gadhing kali ini berubah lirih.
"Nggak lucu," ketus Alva.
Bian dan Gadhing hanya bisa terdiam. Keduanya tak berani lagi mengeluarkan suara sedikit pun. Dengan langkah gontai mereka pun melangkah masuk mengekor di belakang Alva. Lalu, ikut duduk di kursi sebelah Alva.
*****
Zahira yang ditemani Laras dan Arka sudah tiba di depan kelasnya. Setelah menangis tadi, Zahira sudah sedikit merasa lega. Terlebih kini ia tak lagi sendiri. Ada Laras di sampingnya.
"Rara, masuk kelas dulu ya, Kak."
"Iya, Ra. Jangan sedih-sedih lagi. Harus semangat," ujar Arka sembari tersenyum.
Zahira balas tersenyum dan mengangguk. Kemudian, melangkah masuk ke dalam kelas. Meninggalkan Laras dan Arka.
"La, Kakak titip Rara ya. Kalau ada apa-apa langsung kasih tau Kakak."
"Iya, Kak. Maaf kalau selama tiga hari kemarin Laras cuek sama Rara. Laras bener-bener takut kena ejek temen-temen di kelas," ujar Laras sembari menundukkan kepalanya.
"Kalau Kakak nggak dateng, mungkin sampai kapan pun pikiran Laras nggak bakal terbuka. Dan hubungan persahabatan kami berdua pasti sudah hancur."
"Iya, Kakak paham kok. Yang penting sekarang kita harus selalu kasih semangat buat Rara."
"Iya, Kak. Laras akan selalu berusaha selalu ada buat Rara."
Mendengar jawaban Laras, Arka lega.
"Kalau gitu Kakak balik ke kelas dulu ya."
"Iya, Kak."
Dalam sekejap Arka sudah hilang dari pandangan. Dan Laras pun masuk ke dalam kelas menyusul Zahira.
*****
Jum'at 10 September 2021
Pukul 07.50 WIBAlhamdulillah bisa publish lagi.
Semoga masih ada yang setia ngikutin ceritanya Zahira. 🙂🙏Jangan lupa dukungannya ya teman-teman. Bintang dan komentar tentu menjadi penyemangat bagi para pemula seperti aku.
Terima kasih. 🙂🙏Kritik dan saran yang membangun juga sangat dibutuhkan. Supaya bisa berkarya dengan lebih baik lagi ke depannya. 🙂🙏
Sampai ketemu besok lagi. 🙂🙏

KAMU SEDANG MEMBACA
Kelopak Lantana (Selesai)
General FictionTentang Zahira yang harus merasakan luka berkali-kali di dalam hidupnya. Dibenci, dijauhi, dan dicemooh oleh banyak orang disekitarnya. Bahkan, oleh orang yang mengisi hatinya. Mampukah Zahira kembali tersenyum bahagia? Karena ketika luka itu belum...