Selamat membaca. 🙂
-- Rasa sesal merupakan konsekuensi atas sebuah ketidakpercayaan. --
“Maafkan Papa, Nak.”“Saat itu Papa tidak punya pilihan lain. Pak Hardi terkenal keji. Papa takut keluarga kita kenapa-kenapa. Maafkan Papa.”
“Percuma, Pa. Semuanya sudah terlambat.”
Alva melengos. Marah mendengar permintaan maaf papanya barusan.
Tadi pagi Alva baru kembali dari perjalanannya ke Bali. Selama satu minggu kemarin dia menghabiskan waktu libur kuliahnya di sana. Bersama Bian dan Gadhing.
Sibuk dengan acara liburannya, membuat Alva sama sekali tidak tahu kabar terbaru tentang keluarga Zahira. Alva terkejut ketika papanya menceritakan perihal papa Zahira yang sudah bebas. Dinyatakan sama sekali tidak bersalah. Dan kini telah meninggal dunia.
Rasa terkejut Alva berganti menjadi amarah saat papanya mengaku. Bahwa ternyata selama ini ia tahu jika papa Zahira sama sekali tidak bersalah.
Perusahaan tempat papa Zahira dan papanya saling bekerja sama. Oleh karena itu lah papanya tahu jika Pak Hardi melakukan kecurangan dan menjadikan papa Zahira sebagai kambing hitamnya.
“Alva kecewa sama Papa. Kenapa Papa menyembunyikan hal sepenting ini?”
“Papa tahu apa yang Alva lakuin ke Rara? Papa tahu apa yang dialami sama Rara di sekolah? Perlakuan yang di dapat Rara dan keluarganya dari orang-orang di luar sana? Papa tahu?”
“Alva malu, Pa. Selama ini Alva sudah menuduh Om Baskara bersalah. Musuhin Rara dan keluarganya.”
“Alva nggak nyangka Papa bisa setega ini. Alva benar-benar kecewa.”
Puas mengeluarkan uneg-uneg pada papanya. Alva bergegas menyambar kunci motor di atas nakas dekat meja makan. Dengan setengah berlari ia menuju garasi.
Tidak peduli lagi dengan suara panggilan dari papanya.“Ra, maafin gue,” gumam Alva di atas motornya.
Dengan kecepatan di atas rata-rata, Alva melajukan motor besarnya ke rumah Zahira. Ia ingin segera bertemu dan meminta maaf dengan Zahira. Juga dengan tante Mira dan Bagas.
Setibanya di depan rumah Zahira, cowok itu mengernyitkan dahi. Heran melihat pintu pagar rumah yang dipasangi kunci gembok. Tanda jika penghuni rumah sedang tidak ada.
Untuk beberapa saat Alva terdiam. Memikirkan apa yang harus ia lakukan sekarang.
Akhirnya, cowok itu terpikir pada satu nama. Arka. Ya, dia akan menanyakan keberadaan Zahira pada sepupunya itu.
Arka pasti tahu Rara dimana. Batinnya.
Alva meraih telepon genggam dari dalam saku celananya. Lalu, menekan nomor kontak Arka.
“Arka.”
“Iya, Al. Kenapa?”
“Arka, loe tau Rara di mana?”
“Rara? Rara udah balik ke rumahnya.”
“Ke rumahnya yang mana? Ini gue ada di depan rumahnya. Loe jangan becanda sama gue, Arka.”
“Siapa yang bercanda? Rara memang udah balik ke rumahnya. Rumah mereka yang di jawa.”
“Kapan?”
“Dua hari yang lalu.”
Deg.Tubuh Alva lemas. Ia kembali terlambat. Terlambat tahu semua hal tentang Zahira.
“Kalau gitu gue minta nomor kontak Rara.”
“Maaf, Al. Gue nggak punya nomor Rara.”
“Yang benar aja, Ar. Loe jangan bohong. Gue lagi serius nih. Gue mau minta maaf sama Rara.”
“Gue juga serius, Al. Gue benar-benar nggak punya nomor kontak Rara. Selama ini gue komunikasi sama Rara lewat mama. Itu pun ke nomor mamanya juga.”
“Dan tadi pagi mama gue kehilangan telepon genggamnya. Mama kena jambret di pasar. Banyak nomor kontak yang hilang. Salah satunya nomor mamanya Rara.”
Deg.
Alva merasa seperti ada sebuah batu besar menimpa tubuhnya. Kepalanya mendadak pusing.
“Gue sempat tanya ke Laras. Tapi, ternyata Rara ganti nomor kontak tanpa memberi tahu Laras. Rara juga sudah menghapus semua akun media sosialnya sejak setahun yang lalu.”
“Jadi, sorry banget, Al. Gue nggak bisa bantuin loe. Gue juga nggak tahu harus hubungi dia kemana.”
Alva menelan ludah dengan susah payah. Lidahnya kelu. Tak tahu lagi harus bicara apa. Telinganya ingin sekali menolak apa yang baru saja didengarnya.
Kenapa semuanya jadi begini?
Apakah ini hukuman untuk dirinya yang begitu jahat pada Rara?
Ia tidak mempercayai perkataan cewek itu. Bahkan, memusuhi dan meninggalkannya. Padahal, Rara sedang butuh pegangan dan perlindungan.
Alva mengacak rambutnya kasar. Lalu, mengakhiri sambungan teleponnya dengan Arka.
*****Hari-hari berjalan begitu lambat bagi Alva. Rasa bersalah yang begitu besar pada Rara membuat hidupnya tidak tenang.
Dia sangat berharap bisa segera mendengar kabar dari Zahira. Entah itu lewat mamanya Arka atau Laras. Namun, tak sekalipun pesan atau telepon dari mereka muncul.
Di suatu siang, Alva berziarah ke makam papanya Zahira. Cowok itu membawa satu buket bunga mawar putih.
“Om, maafin Alva ya. Alva sudah menuduh Om yang bukan-bukan. Alva juga bikin Rara nangis.”
“Maafin Papa Alva ya, Om. Seandainya Papa berani bicara waktu itu. Semua ini nggak akan terjadi kan Om?”
“Om bakalan tetep sehat. Rara tetap sekolah di sini. Tante Mira dan Bagas juga tetap ada di sini.”
“Om apa yang harus Alva lakukan untuk menebus kesalahan Alva dan Papa? Maaf saja pasti tidak cukup kan Om?”
Tanpa sadar Alva meneteskan air mata. Dan untuk beberapa saat ia tenggelam dalam kesedihannya.
*****
Jum'at, 24 September 2021
Pukul 19.15 WIBAlhamdulillah akhirnya publish lagi.
Maaf nggak bisa publish pagi. 🙏🙂
Semoga masih ada yang mau ngikutin cerita ini. Aamiin.
Sampe ketemu besok. 🙂
KAMU SEDANG MEMBACA
Kelopak Lantana (Selesai)
Fiksi UmumTentang Zahira yang harus merasakan luka berkali-kali di dalam hidupnya. Dibenci, dijauhi, dan dicemooh oleh banyak orang disekitarnya. Bahkan, oleh orang yang mengisi hatinya. Mampukah Zahira kembali tersenyum bahagia? Karena ketika luka itu belum...