TST || 33. PUNYA DEWA.

202 36 0
                                    

Hari ini adalah hari Senin. Dimana semua murid-murid kelas XI IPS 2 tengah mengerjakan soal ulangan yang kemarin Bu Jurina kabarkan. Topan dan Gempa saling menatap satu sama lain, menanyakan jawaban apa yang tepat untuk mengisi soal-soal pelajarannya.

Sedangkan Dewa  terlihat santai mengisi soal-soal pelajarannya dengan telaten, tanpa memperdulikan orang-orang yang berbisik kesana-kemari meminta bantuannya, untuk mengerjakan soal-soal yang telah Ibu Guru berikan. Cia yang berada di sebelahnya menyenggol lengan lelaki itu pelan, berharap Dewa akan membantunya mengerjakan tugasnya.

“Dewa ... Cia nyontek dong. Cia lupa kalau hari ini ada ulangan, Cia semalem nggak belajar. Jadi nggak tau jawabannya apa,” bisik Cia mendekatkan kepalanya ke arah buku yang Dewa sembunyikan menggunakan buku lain.

Laki-laki itu mendelik tajam. “Makanya kalau ada pesan di grup itu dibuka. Jangan cuma nyimak doang.”

Cia mendengkus sebal seraya menyibakkan rambutnya ke belakang. “Ya 'kan Cia nggak tau. Lagian handphone Cia 'kan suka panas, jadi nggak sempet buat baca-baca pesan di grup.”

Mendengar celotehan dari Cia membuat Dewa menghentikan aktivitasnya yang sedang menjawab soal-soalnya. Ditatapnya wajah malas Cia dari dekat. “Gue bantuin, mana bukunya.”

“Hah? Gimana?” Cia mengerjap-ngerjapkan matanya tidak mengerti.

“Dasar lemot,” cibir Dewa mengambil buku kosong yang berada di genggaman tangan Cia.

“Liatin nih!” perintah Dewa dengan nada tegasnya.

Dewa menuliskan beberapa cara untuk mengisi soal-soalnya dengan teliti. “Nih.”

Kertas satu lembar yang berisi rumus-rumus jawaban pada soal pun diberikan oleh Dewa kepada Cia. Gadis itu mengerjap-ngerjapkan matanya polos, seraya menggaruk-garuk kepalanya yang tidak gatal.

“Itu apa, Dewa?” tanya Cia mengambil kertas kecil tersebut.

“Baca. Dan amati rumusnya, kalau nggak ada yang ngerti. Lo bisa nanyain ke gue lagi,” ucap Dewa melanjutkan aktivitasnya tanpa memperdulikan tatapan kebingungan dari Cia saat ini.

****

Jadwal kedua adalah olahraga. Seluruh kelas XI IPS 2 berhamburan keluar kelas menuju lapangan. Terik matahari menembus tubuh mereka yang sedang berdiri tegap di tengah lapangan. Dengan semilir angin lewat, mereka tersenyum sumringah.

“Baik. Hari ini kita akan berolahraga permainan bola basket. Setiap team dibagi empat. Dua team untuk perempuan. Dan dua team untuk laki-laki,” ucap Pak Hasyim selaku guru pelajaran olahraga.

Semua murid-murid berlarian mencari teman team pemainnya. Sedangkan Dewa hanya menatap lapangan ramai itu dengan tatapan bosan. Ia melangkahkan kakinya menuju kantin, berniat bolos dari mata pelajaran olahraga.

Cia yang melihat gerak-gerik Dewa dari awal hingga akhir pun mengernyitkan dahinya heran. “Dewa mau kemana!”

Mendengar teriakan Cia, Dewa segera berlari menuju kantin, tanpa memperdulikan Cia yang mengejarnya meminta jawaban. Hingga pada akhirnya Dewa pun sampai di kantin dekat taman belakang sekolahan.

Kantin yang sangat jarang dikunjungi oleh siswa-siswi kelas XI IPS 2 karena jaraknya yang terlalu jauh. Halaman kantin terlihat sepi karena semua murid-murid sedang belajar di kelasnya masing-masing.

“Dewa! Tunggu!” teriak Cia menaik turunkan napasnya.

“Berisik!” sentak Dewa menahan tangan Cia yang hendak menepuk pundaknya.

Mata keduanya tidak sengaja bertubrukan, memberikan sensasi aneh yang menjalar lewat naluri matanya. Sekian lama menatap, sekian lama pula detak jantung mereka berdetak tidak beraturan.

“WOY!” bentak seseorang dari arah kantin mengejutkan keduanya.

Dewa memasukkan tangannya ke dalam saku celananya, dengan tatapan datar yang dipancarkan oleh wajah tampannya. Sedangkan Cia, menggaruk-garuk tengkuk lehernya yang tidak gatal, diiringi tawanya yang renyah.

“Lagi ngapain kalian disini? Bukannya kelas kalian jadwalnya olahraga di lapangan ya?” tanya Andrea, seseorang yang membentaknya tadi.

“Ak-ku lag---.”

“Kita mau makan. Laper,” ketus Dewa menarik pinggang Cia agar lebih dekat dengannya.

Dewa tahu kalau Andrea pernah menyukai Cia dari awal masuk sekolah, hanya saja Andrea takut untuk mengungkapkannya karena Cia masih terlalu polos untuk mengenal yang namanya cinta.

Andrea yang melihat itupun membuang wajahnya ke arah lain. “Ohh, gue kira kalian lagi ngapain di kantin. Ya udah, gue duluan ya.”

“Hmm,” balas Dewa menarik tubuh Cia agar mengikuti langkahnya.

Keduanya duduk di kursi kantin tanpa mengeluarkan pembicaraan satu sama lain. Dewa yang dasarnya orang dingin pun hanya diam tanpa menanyakan atau mengajak Cia untuk makan bersamanya.

“Bu! Nasi goreng satu, sama teh manisnya satu!” Dewa memesan makanan serta minuman tanpa menawari Cia yang berada di sebelahnya terlebih dahulu.

“Oke siap!” balas Bu Rumelah selaku penjual makanan di kantin, dengan penuh semangat.

Tak lama kemudian pesanan Dewa pun datang. Langsung saja Dewa menyantap makanannya tanpa menengok ke arah kanan dan kiri. Cia yang melihat itupun mendengkus sebal, ia menggeser tempat duduknya mendekati Dewa.

“Dewa mau,” rengek Cia saat hendak mengambil teh manisnya, tetapi Dewa segera menjauhkannya.

Dewa meneguk teh manis tersebut dan menatap Cia tajam. “Semua yang ada di deket gue, itu punya gue. Ngerti!”

Mendengar ketegasan dari Dewa membuat Cia terdiam. “Tapi Cia mau minum ... haus.”

Dewa tidak menanggapi celotehan Cia, ia lebih memilih melanjutkan makannya daripada meladeni Cia yang banyak maunya.

Seakan kesal dengan Dewa. Cia pun menahan sendok plastik yang hendak memasuki mulut laki-laki itu. Cia memakan nasi goreng yang berada di sendok tersebut tanpa memperdulikan tatapan maut yang Dewa layangkan kepadanya.

“LO---.”

“Suttt .... Dewa. 'kan kata Dewa, semua yang di dekat Dewa itu punya Dewa. Buktinya Cia ada di dekat Dewa. Jadi, apapun yang Dewa punya. Itu juga punya Cia,” ucap Cia melanjutkan kunyahannya.

Dewa menganga lebar. Tidak habis pikir, dengan pemikiran Cia yang terlalu kekanak-kanakan, lebih tepatnya, gadis itu sangatlah polos. Sehingga apa yang dikatakan Dewa selalu di artikan tanpa menyetujui pihak lain.

“Cia, punya Dewa juga 'kan?” tanya Cia menghentikan kegiatan makannya.

Dewa terdiam, lalu menjawab. “Mungkin.”

----- Three Stupid Twins ---

08-09-21.

Three Stupid Twins [SELESAI]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang