Tragedi

45 19 20
                                    

Angin berembus sangat sejuk, pepohonan hijau dan rimbun yang berada di sekitar mulut gua Sanghyang Tikoro benar-benar menjadi daya tarik tersendiri untuk Gia. Ia begitu antusias dan terlalu asyik berfoto di atas bebatuan hingga tak memperhatikan pijakannya. Lumut yang menempel di batu membuat Gia tergelincir, tubuhnya pun tercebur ke dalam aliran sungai yang deras. Beruntung dia masih sempat berpegangan pada batu. Gia menjulurkan tangan meminta bantuan Wike–sahabatnya yang saat itu sedang bersamanya, untuk menarik tubuh Gia kembali ke atas batu.

Sesaat Wike bergeming menatap Gia yang tengah kesusahan itu. Tak berselang lama ia mengulurkan tangan, dengan hati yang gembira Gia menerima uluran itu dan menggenggam erat dengan kedua tangan. Namun, ketika ia telah berdiri tiba-tiba Wike mencengkram kedua bahu Gia.

"Gia, aku benci kamu," ungkap Wike, lalu mendorong tubuh Gia  kembali ke dalam arus sungai.

Wike tersenyum licik, dan hatinya merasa sangat bahagia melihat Gia yang terbawa arus sungai masuk ke dalam mulut gua Sanghyang Tikoro.

Tubuh Gia timbul tenggelam dalam arus sungai yang kencang. Beberapa kali ia berusaha menggapai batu yang berada di sepanjang aliran sungai, tetapi kekuatan air bukan lagi tandingannya. Tubuh kecil gadis itu kembali terseret air lalu terantuk dinding gua. Ia pun semakin melemah Tenggorokannya terasa sangat perih ketika air merangsak masuk ke dalam kerongkongannya. Dadanya mulai terasa sesak, perlahan ia memejamkan kedua mata pasrah menerima takdir.

Tubuhnya yang lemah semakin dalam terbawa arus, masuk ke dalam mulut gua yang hingga detik ini menyimpan banyak sekali misteri. Gelap, sunyi dan juga menakutkan. Di dalam ketakutannya itu, Gia terbayang wajah sang ibu yang telah lama meninggal. Ibu tunggu aku, batin Gia.

Kesadaran Gia hanya tersisa sedikit ketika ia merasakan tanggannya di tarik seseorang dari dalam air. Setelah itu ia tak dapat mengingat apa pun lagi, hanya gelap dan hampa yang kini ia rasakan.

***
Wike berlari menghampiri temannya yang lain, dia menangis dan terus menyebut-nyebut nama Gia.

"Raka, Gia ... Gia," ungkap Wike sembari tersedu-sedu.

"Kenapa Gia?" tanya Raka–kekasih Gia.

"Dia jatuh ke sungai, di-dia kebawa arus masuk ke dalam gua itu."

Semua orang yang berada di sana terperanjat mendengar ucapan Wike, mereka berlarian menuju lokasi kejadian. Namun, sayang ketika mereka sampai tubuh Gia sudah menghilang.

Semua orang panik, terutama Raka. Dia pun segera mencari pertolongan, menghubungi tim SAR untuk segera datang dan membantu mencari Gia. Wike  histeris, ia terus menyalahkan dirinya sendiri karena gagal menyelamatkan Gia.

Acara yang semestinya bahagia kini berubah menjadi duka. Tim SAR yang datang tak dapat menemukan Gia, Aliran sungai yang semakin deras serta suasana yang telah petang menjadi alasan ditundanya pencarian.

"Jika kita memaksakan terus mencari ditakutkan akan menelan korban kembali, jadi kita lanjutkan pencarian besok," ungkap salah satu ketua tim SAR.

Semua orang terdiam, semua orang tertunduk penuh luka. Termasuk Jaka, ketika dia dihubungi oleh Raka, lelaki yang kini berusia lima puluh tahun itu segera datang ke lokasi kejadian. Raut sedih tak dapat lagi ia sembunyikan, Gia adalah harta berharga satu-satunya setelah kepergian Seruni–istrinya. Kini Gia terbawa arus hilanglah semua penyemangat di dalam diri lelaki itu.

"Om maafin aku ... aku udah berusaha buat nolong, Gia," ungkap Wike dengan kepala tertunduk.

Jaka menyentuh lembut pundak Wike, ia pun menatap luka di tangan gadis itu.

"Kamu terluka karena berusaha nolong, Gia?" tanya Jaka.

Wike menganggukan kepala, rupanya semua orang percaya jika luka goresan batu yang dibuatnya sendiri itu adalah luka yang dia dapat karena berusaha menolong Gia.

"Ya sudah kamu pulang aja yah, sepertinya akan turun hujan. Raka kamu anterin, Wike yah," titah Jaka, sebelum dia kembali mendekati arah sungai.

Jaka terisak, ia menatap arus sungai yang semakin deras itu. Hatinya pilu ketika ia menatap mulut gua yang telah menelan tubuh sang anak.

"Tolong kembalikan anakku," lirih Jaka.

"Pak, bahaya kemarilah!" teriak seseorang. Jaka menoleh ia pun menganggukan kepala.

"Gia, bertahanlah. Besok Ayah akan datang lagi," ucap Jaka lirih.

***

Tubuh Gia yang lemah di bopong menuju sebuah saung yang tak jauh dari mulut gua Sanghyang Tikoro.

"Rebahkan tubuh dia," titah seorang wanita tua.

Pemuda yang menolong Gia pun menuruti ucapan wanita itu, direbahkannya tubuh Gia di atas tikar yang terbuat dari anyaman rotan. Wajah sang gadis tampak sangat pucat, bibirnya pun membiru. Jika saja telat ditolong maka nyawanya tak akan terselamatkan.

Wanita tua itu memejamkan mata, merapalkan jampi-jampi lalu menekan perut dan dada Gia secara perlahan. Dalam sekejap Gia terbatuk mengeluarkan air yang masuk ke dalam tubuhnya.

Wanita tua itu menepuk-nepuk punggung Gia, seraya menyibak rambut panjangnya. Senyuman pun terbit di wajah tua itu. Lalu dia beralih menatap pemuda di sampingnya.

"Kita berhasil menemukan dia," ucapnya kepada pemuda itu menggunakan telepati.

Gia menyapukan pandangannya ke seluruh arah, beberapa kali ia mengerjap karena cahaya silau yang menerpa matanya.

"Apa aku sudah mati? Apa aku di surga? Di mana Ibuku?" tanya Gia seraya mengguncang tubuh pemuda yang berdiri tak jauh darinya.

"Kamu hampir saja mati, tapi kami berhasil menyelamatkan kamu," jawab Elang sembari tersenyum.

Gia bergeming, ia menatap kedua orang yang berada di hadapannya. Gadis itu memicingkan mata, melihat pakaian yang dikenakan mereka tampak asing baginya. Wanita tua itu menggunakan kebaya, kain kebat semata kaki, begitupun dengan pemuda di sampingnya. Dia menggunakan celana komprang berwarna gelap dan baju kain dengan warna senada.

"Lalu di mana aku sekarang?"

"Selamat datang di kerajaan Majaya," jawab Elang.

"Hah?"

"Iya sekarang kamu berada di kerajaan Majaya, kamu kini berada di masa lalu," jawab Elang kembali menerangkan.

Gia tampak sangat kebingungan, dia menggeleng-gelengkan kepala. Logikanya tak bisa menerima begitu saja, dengan langkah yang sempoyongan Gia  berjalan menghampiri tepian sungai.

Gia menganga tak percaya, ketika ia menatap sekeliling lokasi itu. Hutan yang masih perawan dan sama sekali belum terjamah.

"Bagaimana, percaya?" tanya Elang kepada Gia.

Gadis itu masih bergeming, ia mencubit-cubit wajahnya. Berharap jika itu hanyalah mimpi semata.

"Sudahlah, kamu sedang tidak bermimpi ini nyata," kata Elang, sembari menahan lengan Gia agar tidakp terus menyakiti diri sendiri.

Tubuh gia membeku, dalam sekejap ia pun limbung dan kembali kehilangan kesadarannya.

"Bawa dia, kita sembunyikan gadis itu. Jangan sampai kekuatan hitam mengetahui keberadaan dia," titah sang wanita tua kepada Elang.

Elang menganggukan kepala, menuruti perintah dan membawa Gia berlari menuju ke arah barat.

Hiji WanciTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang