Gia tertegun menatap keajaiban di depan matanya. kerajaan di tengah samudra yang mengalahkan semua ilmu dan logika manusia.
“Wahh, luar biasa.”
“Kemarilah Anakku,” ucap Nyi Roro Kidul seraya tersenyum.
Gia berjalan mendekati, mereka pun berjalan bersisian menuju sebuah ruangan. Gia terus mengikuti tanpa sedikit pun dia bertanya kemana, atau untuk apa kehadirannya di kerajaan itu.
Katika mereka sampai di sebuah ruangan Gia diminta untuk duduk di atas sebuah batu yang melayang.
“Naiklah anakku, dan pejamkan matamu,” titah sang Ratu Nyi Roro Kidul.
Gia menuruti titah itu, tanpa ragu dia duduk dan bersila kaki setelah itu memejamkan mata.
“Rasakan semua kekuatan yang berada di samudra ini. Kekuatan besar yang akan bersatu dengan jiwa dan ragamu.”
Gia mulai fokus, meresapi kekuatan yang berada di dalam samudra. Cahaya terangpun muncul dari tengkuk Gia, tato setangkai mawar yang di lilit ular itu pun perlahan keluar dari tengkuk Gia. Dengan kuasa yang dimiliki sang Ratu, perlahan tato itu berubah menjadi sebuah tongkat. Tongkat yang berbentuk tubuh ular dan tepat di bagian atasnya berbentuk bunga mawar yang merekah.
Tubuh Gia terkulai lemas, untuk sesaat dia hanya bisa tergolek lemas di atas batu. Ia merasa jika kekuatannya terkuras habis.
“Hei, apa kamu baik-baik saja?” tanya sang Ratu seraya mengelus lembut kepala Gia.
Secara ajaib tubuh Gia yang pada awalnya sangat lemas itu, berangsur-angsur kembali normal. Gia membuka mata perlahan, lalu dia pun tersenyum.
“Aku baik-baik saja terima kasih.”
“Baguslah, sekarang terima ini,” kata sang Ratu seraya menyerahkan tongkat.
Dahi Gia berkerut. “Tongkat siapa ini?”
“Ini perwujudan dari tato yang berada di tengkukmu, ambillah ini adalah milikmu.”
Meskipun ragu-ragu, Gia tetap mengambil tongkat itu. Tubuh Gia berguncang ketika dia menyentuh tongkat sakti itu, Gia merasa tubuhnya tersengat aliran listrik ribuan watt.
“A-apa yang terjadi!” pekik Gia, dia merasakan kesakitan yang luar biasa.
“Jangan menolak, kamu merasa sakit karena kamu menolak kekuatan besar yang berada di tongkat itu.”
Gia kembali memejamkan mata, dia berusaha sekuat tenaga untuk menerima kekuatan besar dari tongkat itu. Perlahan tetapi pasti, Gia berhasil menerima kekuatan yang berasal dari tongkat itu.
“Baguslah kamu berhasil bersatu dengannya,” ucap sang Ratu ketika ia menatap kedua netra Gia yang telah berubah warna menjadi hijau.
“Sekarang kembalilah ke daratan dan lanjutkan perjalananmu, kalahkan mereka dan selamatkan seluruh umat manusia,” lanjut sang Ratu seraya menyentuh bahu Gia.
Dalam sekejap mata, Gia telah kembali ke permukaan. Melihat perwujudan Gia, Emak Inah tersenyum dia pun berlutut tepat di hadapan Gia, disusul Elang melakukan hal yang sama.
“Hei, aku kan udah bilang kalian jangan bersikap seperti itu!” pekik Gia tak suka.
“Maafkan kami, hanya saja kini hamba akan mendapatkan hukuman jika bersikap kurang ajar kepada Tuan Putri.”
Gia menarik napas dalam lalu mengembuskannya kasar. “Ok terserah kalian, terus sekarang kita ke mana lagi?”
Emak Inah kembali bangkit kemudian berjalan menghampiri Gia. “Sekarang kita akan bersemadi di Curug Macan.”
Elang kembali berubah wujud menjadi macan putih, tanpa diminta atau di perintah Gia langsung menaiki punggung macan putih dan ketiganya pun kembali menghilang.
Suara burung-burung yang berkicau riang menyambut kehadiran mereka. Angin pun berembus menerbangkan selendang hijau milik Gia, suasana damai begitu terasa di sekitar Curug Macan.
Emak Inah berjalan mendekati curug yang airnya begitu jernih. Begitu beberapa langkah mendekat, lima ekor macan muncul di hadapan Emak Inah.
Gia terperangah melihat macan yang tampak menyeramkan ketika mereka menampakkan taring-taring tajamnya.
Emak Inah memberikan penghormatan kepada macan itu, setelah itu Emak Inah meminta Gia untuk mendekat dan memperlihatkan tongkat ular kepada para macan yang berjejer di hadapan mereka.
Jantungnya berdegup kencang ketika ia melangkah mendekat. Beberapa kali tubuh Gia hampir terjatuh karena derasnya air sungai dan bebatuan yang licin. Beruntung Elang dengan sigap menolong Gia dan menuntun gadis itu.
Tepat di hadapan para macan, tubuh Gia menegang. Satu persatu macan mendekati dan mengendus aroma Gia.
“Dia memang keturunan sang Maha Raja,” ucap salah satu macam, kemudian dia berubah menjadi manusia.
Gia mengembuskan napas lega ketika mengetahui jika para macan itu berada di pihaknya.
Tidak berselang lama, segerombolan macan mendekat dan memenuhi area curug.
“Apa mereka semua bisa berubah menjadi manusia?” Gia berbisik kepada Elang.
Elang menganggukan kepala, dan seakan ingin menjawab pertanyaan Gia, satu persatu macan itu pun berubah wujud menjadi manusia, Gia sangat terpukau.
“Wahh, aku bener-bener berada di negri yang penuh keajaiban,” ucap Gia dengan sorot mata yang berbinar.
“Kemarilah anakku, duduklah di bawah curug itu,” titah seorang lelaki yang tampak lebih tua dari yang lainnya.
Gia menuruti ucapan lelaki itu. Berjalan perlahan menuju curug dan bersemadi di sanah. Merasakan setiap sentuhan air curug yang mengenai tubuhnya dan bersamaan dengan itu, dia pun merasakan energi terserap ke dalam dirinya.
Lama Gia berada di sana, bersemadi menyerap seluruh energi alam. Setelah tujuh hari berselang, Gia diminta untuk membuka mata dan beranjak keluar dari dalam air.
Tujuh hari tujuh malam Gia bersemadi. Namun, gadis itu merasa jika dirinya berada di sana hanya beberapa menit saja.
“Tuan Putri kini telah mendapatkan anugerah dari bangsa kami, jika dalam pertempuran Anda mengalami kesulitan tiuplah suling ini maka bala bantuan akan membantu Anda,” ucap lelaki tua itu seraya menyerahkan suling bambu kepada Gia.
Setelah itu semua lelaki yang berada di hadapannya kembali menjelma menjadi macam lalu berlari masuk ke dalam hutan. Gia berjalan mendekati dua orang yang setia menunggu Gia, lalu menyerahkan suling yang dia dapatkan kepada Emak Inah.
“Setelah ini kita ke mana?” tanya Gia.
“Kita akan pergi ke satu lembah, tapi sekarang kita kembali ke gua. Kamu butuh istirahat,” ucap Emak Inah penuh perhatian.
“Tidak Emak, kita selesaikan secepat mungkin, ayo kita pergi sekarang,” ungkap Gia.
“Anda semakin banyak berubah, baik kalau begitu kita berangkat sekarang,” ucap Emak Inah seraya menoleh ke arah Elang.
Pemuda itu menganggukan kepala paham dengan arti tatapan itu.
“Di mana kita?” tanya Gia ketika mereka menginjakkan kaki di tempat tujuan.
“Kita ada di hutan mati,” ucap Elang.
“Hah hutan mati? Maksud kamu sekarang kita ada di gunung papandayan?” ucap Gia, dia pun menyapukan pandangan keseluruh arah.
“Yah, kamu benar,” jawab Emak Inah seraya tersenyum.
Gia tertegun menatap gunung Papandayan yang sangat berbeda dengan gunung Papandayan di masanya.
Ketika Gia sedang menatap keindahan hutan mati, muncul angin yang berputar-putar di hadapan mereka. Gia mundur beberapa langkah lalu se sosok makhluk penunggu gunung Papandayan muncul di hadapan mereka semua.
KAMU SEDANG MEMBACA
Hiji Wanci
FantasyTragedi yang menimpa seorang gadis 17 tahun membawanya kembali ke masa lalu dan dia harus berjuang mengalahkan kekuatan jahat agar dirinya bisa kembali ke masa sekarang.