"Hei apa yang sebenarnya telah terjadi?" tanya Gia pesaran.
Elang menolehkan wajah ke arah Gia dengan tatapan yang sangat serius.
"Sang kegelapan telah bersatu dengan wadahnya."
"Bukankah sang kegelapan baru akan bangkit purnama selanjutnya kan?"
"Yah kekuatannya memang akan bangkit purnama nanti, tetapi dia harus menemukan wadah untuknya sebelum purnama itu muncul. Sekarang ayo kita lanjutkan perjalanan, kita lihat siapa pemuda yang telah menjadi wadah kegelapan itu," ungkap Nyai Sekar Wangi. Mereka pun melanjutkan perjalanan dengan hati-hati.
Raka menjerit merasakan sakit yang tiada tara ketika sang kegelapan bersatu dengan raganya. Bahkan darah mengucur dari hidung dan kedua matanya. Raka terkapar keringat sebesar biji jagung pun membasahi keningnya dan ketika sang kegelapan berhasil bersatu dengan raga Raka, pemuda itu pun tak sadarkan diri.
Raka membuka kedua matanya dan ia pun terperanjat ketika mendapati dirinya telah berada di suatu ruangan yang sangat gelap dan sunyi.
"Aku di mana?" Raka bertanya-tanya.
Di tengan kebingungannya bola api terbang rendah ke arahnya. Raka melangkah mundur mencoba menghindar, tetapi bola api yang lain pun muncul dan kini dia terperangkap di tengah-tengah bola api itu.
"Hei apa yang terjadi!" pekik Raka.
Cahaya terang berwarna merah pun muncul di hadapannya. Sosok makhluk hitam dengan mata merah muncul di hadapannya.
"Sekarang kita sedang berada di alam bawah sadarmu, Raka dan bola-bola api itu adalah gambaran amarah dan segala keserakahan yang ada pada dirimu. Aku bahagia rupanya kamu melampaui apa yang kuharapkan."
Dahi Raka berkerut mendengar ucapan makhluk yang berada di hadapannya.
"Tapi kamu siapa?"
"Aku adalah sang kegelapan."
Raka seketika bersujud mendengar jawaban jika dia adalah sang kegelapan.
"Ampuni aku telah lancang kepadamu," ucap Raka.
"Tak apa-apa sekarang sadarlah dan biarkan aku tertidur di sini. Ketika waktunya tiba kita akan kuat dan menguasai dunia ini bersama-sama," ungkap sang kegelapan seraya menjentrikkan jarinya.
Dalam sekejap Raka pun kembali sadar, dia bangkit dan berjalan menuju mulut gua. Dia menengadahkan kepala menatap langit malam yang sangat kelam.
"Wah, luar biasa aku merasakan energi besar di dalam tubuhku."
"Baguslah kamu telah berhasil bersatu dengan sang kegelapan. Sekarang ayo kita pergi dari tempat ini," ajak Nyai Asih kepada Raka.
Tanpa bantahan Raka pun berjalan mengikuti Nyai Asih. Naik ke atas kereta kencana dan pergi meninggalkan gua. Namun, baru saja beberapa meter mereka berjalan seekor macan putih muncul di hadapan mereka menghadang iring-iringan pasukan penjaga.
Bersamaan dengan macan putih, Nyai Asih dan Gia pun muncul dari arah semak belukar. Nyai Asih mencebik dan mendengkus kesal melihat siapa yang telah menghalangi jalan mereka.
"Kamu tunggu di sini, aku akan menghabisi mereka," ungkap Nyai Asih kepada Raka.
Nyai Asih melangkah turun dan berjalan menghampiri ketiga orang itu. "Wah adik sang selir rupanya yang telah menghalangi jalanku, pergilah sebelum aku melukai wajah cantikmu itu."
"Seharusnya kamu yang enyah dari tanah Majaya dasar Ratu tidak tahu diri," ungkap Nyai Sekar Wangi dengan nada yang sangat sinis.
"Sebelum dendamku terbalaskan aku akan tetap di Majaya hingga Raja kalian mati di tanganku," ungkap Nyai Asih seraya mengepalkan tangan.
"Dendam katamu? Jika berbicara dendam harusnya aku yang membalas dendam kematian kakaku!" pekik Nyai Sekar Wangi, dia hampir saja terbawa emosi jika saja Gia tak segera menenangkannya.
"Hei, Gia. Kamu sangat cantik jika dilihat dari dekat seperti ini," ucap Nyai Asih berjalan menghampiri. Namun, langkahnya terhenti ketika Macan putih menghalangi langkahnya.
Dari dalam kereta kencana Raka bergeming ketika mendengar kata Gia. "Mungkinkah, Gia yang di maksud adalah dia?" gumam Raka bertanya-tanya.
Wajah cantik Gia pun seketika terbayang di benak Raka. Namun, itu tak bertahan lama dia langsung mengenyahkan bayangan Gia dalam benaknya.
"Gak mungkin dia ada di sini," gumam Raka.
suara gaduh pun terdengar dari arah depan, Raka mendengar jika Nyai Asih memerintahkan pasukannya untuk menyerang. Setelah itu dia kembali ke kereta kencana.
"Ayo kita pergi dari sini selagi mereka sibuk melawan para penjaga," kata Nyai Asih memberikan perintah.
Kereta kencana pun kembali melaju, tubuh Raka tergoncang hebat di dalam kereta itu. Kuda yang menarik kereta kencana di paksa untuk berlari sangat cepat guna menghindari dari kejaran ketiga orang itu. Namun, usaha mereka sia-sia ketika Macan putih berhasil menyusul dan mencegat mereka.
Kereta kencana berhenti tiba-tiba. Kuda yang menarik kencana seketika mengamuk dan kereta kencana itu pun terguling. Nyai Asih mengerang kesakitan, dengan kepayahan dia merangkak keluar dari kereta kencana dan kembali menghadapi Macan Putih bersama Gia.
"Kurang ajar kalian!" pekik Nyai Asih geram.
Gia tersenyum menatap wajah Nyai Asih yang tampak merah padam karena menahan amarah. Namun senyuman Gia luntur ketika dia menatap sosok pemuda yang keluar dari kereta kencana.
"Raka?" gumam Gia.
Raka pun bergeming ketika menatap wanita yang pernah dicintainya itu. Dia tak menyangka jika rupanya Gia berada di zaman yang sama dengannya.
"Apa yang kamu lakukan di tempat seperti ini?" tanya Raka kepada Gia.
Gia memalingkan wajah. "Kamu sendiri sedang apa di sini?"
"Bukan urusan kamu, sekarang pergilah kamu dari sini sebelum aku melukai kamu," ungkap Raka sinis.
"Heh, Raka aku gak takut dengan kalian sini akan kuhabisi kamu, dasar laki-laki penipu jahat!" pekik Gia, dia merasa sangat emosional.
Merasa dipermalukan oleh seorang wanita dia pun melangkah maju. Namun, gerakannya ditahan oleh Nyai Asih.
"Mundurlah, sekarang mereka bukan lawan kamu. Biar aku yang menghabisi mereka,' ungkap Nyai Asih.
Dia mengeluarkan senjata pusaka yang selalu tergantung di pinggangnya. Awalnya pedang berukuran berbentuk ular itu kecil. Namun, ketika mantra telah di ucapkan pedang kecil itu berubah menjadi besar.
"Gia berhati-hatilah, pedang itu memiliki racun yang sangat kuat," ucap sang Macan putih.
"Tenang saja aku akan melawan dia dengan hati-hati," kata Gia penuh percaya diri.
Gia melangkah mendekat, dia pun mengeluarkan tongkat sakti pemberian Nyi Roro Kidul. Kedua matanya berubah menjadi hijau bersamaan dengan munculnya siger di kepalanya. Selendang yang melingkar di pinggangnya melambai-lambai tertiup angin menambah kesan anggun dan kuat pada Gia.
"Cih, inikah kekuatan yang mereka banggakan, payah," cibir Nyai Asih.
Pertarungan keduanya pun berlangsung, Gia lebih awal menyerang. Serangan pertamanya Gia berhasil melukai bahu kanan Nyai Asih.
"Payah," cibir Gia seraya tersenyum menghina.
Kedua mata Nyai Asih menatap nyalang kearah Gia, dia pun memulai melakukan serangan balik tetapi tak satupun serangannya mengenai tubuh Gia.
"Apa hanya segini kekuatan Ratu yang telah membunuh Nenekku? dasar payah!" teriak Gia, dalam sekali serangan Gia merebut pedang yang berada di tangan Nyai Asih kemudian membuangnya ke sembarang arah.
KAMU SEDANG MEMBACA
Hiji Wanci
Viễn tưởngTragedi yang menimpa seorang gadis 17 tahun membawanya kembali ke masa lalu dan dia harus berjuang mengalahkan kekuatan jahat agar dirinya bisa kembali ke masa sekarang.