Zahra mengembuskan napas kesal, ia bangkit dari batu dan berdiri tepat di hadapan Emak Inah.
“Aku menyerah!” pekik Gia, bibirnya mencebik seraya melipat kedua tangannya di dada.
“Coba lagi, kemarilah,” kata Emak Inah, dia menepuk-nepuk batu di sampingnya.
Zahra mengembuskan napas kasar, sebelum mencoba untuk bermeditasi kembali. Gadis itu bersila, punggungnya tegak lalu memejamkan mata.
“Fokus, Gia. Rasakan semua energi di alam ini,” ucap Emak Inah, membantu agar Gia bisa lebih fokus.
Gia pun mengikuti saran dari Emak Inah. Dia mencoba untuk fokus, setiap kali bayangan Jaka berkelebat ia berusaha menepisnya. Begitupun dengan bayangan Raka, berkali-kali ia harus menepis pemuda itu dari benaknya.
Usaha Gia untuk bisa fokus pun membuahkan hasil, perlahan dia bisa merasakan energi dari alam.
Emak Inah tersenyum ketika melihat Gia mampu bermeditasi, dan kini Emak Inah pun menyusul Gia masuk ke dalam alam bawah sadar.
Mata Gia terbuka secara perlahan, dia mengerjap ketika merasakan cahaya silau menerpa pandangannya.
“Di mana aku?” ungkap Gia bertanya-tanya.
Gia menyapukan pandangan ke setiap penjuru tempat itu. Tidak ada gubuk, hutan, ataupun sungai. Sejauh mata memandang hanya ada hamparan padang rumput hijau yang sangat luas. Gia terus berjalan hingga dia sampai di sebuah tebing yang di bawahnya terbentang samudra biru.
“Wah ... luar biasa,” gumamnya, ketika melihat pemandangan di depan matanya.
“Selamat, kamu berhasil.”
Gia membalikkan tubuhnya, dahinya berkerut ketika ia menatap sosok wanita cantik yang berada di hadapannya.
“Maaf, kamu siapa?”
“Aku, Emak Inah,” jawabnya seraya tersenyum.
Gia membeliak mendengar ucapan wanita cantik di hadapannya.
“Kamu pasti terkejut bukan? Kemarilah aku akan menceritakannya kepadamu,” ungkapnya lalu berjalan menjauh dari Gia.
Gadis itu masih terpaku di tempat, dia menatap heran punggung wanita cantik di hadapannya itu, sebuah pertanyaan pun menari-nari di dalam benaknya.
“Hei tunggu!” teriak Gia seraya berlari.
“Tolong jelaskan kepadaku siapa kamu sebenarnya? Lalu kenapa kamu sangat berbeda?”
Wanita itu pun tersenyum manis menampilkan deretan gigi bersih di sela-sela bibir tipisnya.
“Aku adalah Nyai Sekar Wangi, Adik selir yang mati di bunuh oleh ratu, bisa dikatakan jika aku adalah Nenekmu,” ucapnya, dia pun memeluk tubuh Gia dengan sangat hangat.
“Aku bahagia ketika mendapatkan kabar jika, Seruni selamat dan tertarik ke masa depan. Meskipun kita tetap tak bisa berjumpa setidaknya ada kamu, Gia. Keturunan satu-satunya sang Maha Raja, dan keturunan dari keluarga kami yang akan mewarisi kekuatan kembang bereum,” lanjutnya menjelaskan.
“Terus kenapa kamu menyamar menjadi wanita tua? Lalu wujud aslimu yang mana?”
“Inilah wujud asliku, di sana aku memang menyamar demi keselamatan. Para puaka dan beberapa penjahat bayaran tengah mengincar nyawaku, jadi lebih aman menyamar hingga menanti kamu hadir di tempat ini.”
“Tapi aku hanya seorang gadis biasa, aku gak punya kekuatan apa-apa untuk membantun kalian,” ungkap Gia, seraya berjalan menjauh.
Emak Inah mengikuti Gia dari arah belakang, dia menyentuh pundak Gia dan dalam sekejap mereka telah berpindah tempat. Kini keduanya telah berada di tengah-tengah kota yang hancur, bau sangit dari tubuh manusia yang terbakar menusuk indra penciuman Gia.
“Kenapa kamu membawaku ke sini?” tanya Gia, matanya memerah menahan ledakan air mata karena melihat kehancuran di depan matanya.
“Inilah yang akan terjadi jika, kekuatan hitam tidak kita kalahkan. Tak hanya kerajaan Majaya saja yang hancur, tetapi dunia di masa depan pun akan turut hancur, seperti ini.”
Tubuh Gia bergetar, dia terduduk. Dadanya bergemuruh hebat, lalu menangis. Emak Inah kembali menyentuh bahu Gia, kemudian mereka kembali berpindah tempat. Kini keduanya telah berada di tengah hutan.
Gia terkesiap saat mengetahui mereka telah berada di hutan. Tubuhnya mendadak bergetar, kenangan buruk tentang hutan pun berkelebat di benaknya.
“Tenang, tidak akan ada Puaka di sini, ayolah aku ingin mengenalkan kamu pada seseorang,” ungkap Emak Inah, dia berjalan mendahului Gia dan terus melangkah jauh ke dalam hutan.
Setibanya di tempat tujuan Emak Inah menyibak semak belukar di hadapannya kemudian melangkah masuk.
“Hei tunggu aku!” teriak Gia seraya menyusul.
Gia terpana ketika ia melihat banyaknya burung merak putih yang berterbangan. Dia tidak menyangka jika di balik semak belukar ada tempat yang sangat indah, dipenuhi burung-burung merak putih yang juga cantik.
“Kemarilah Gia,” ucap Emak Inah, melambaikan tangan agar Gia berjalan mendekat.
“Perkenalkan dia temanku, Ningrum.”
“Kamu berteman sama burung merak? Atau kamu bisa bahasa burung merak?”
Emak Inah tertawa mendengar ucapan Gia.
“Mereka bukan hanya sekadar burung merak biasa, lihatlah,” ucapnya seraya menunjuk ke arah beberapa burung merak yang berubah wujud menjadi manusia, termasuk burung merak yang bernama Ningrum.
Rupa mereka sangat cantik, hidung mancung, bibir mungil, baju sutra putih yang melekat di tubuh mereka menambah kesan cantik dan tampan pada mereka.
“Berikan penghormatan untuk sang Putri,” titah Emak Inah.
“Terima sembah kami Putri, kami adalah keturunan Sang Merak Bodas yang terakhir memohon perlindungan dari Putri,” ungkap Ningrum setelah memberikan penghormatan kepada Gia.
Gia menganggukan kepala seraya tersenyum. Detik selanjutnya Ningrum mengajak Gia untuk berjalan-jalan mengitari hutan.
“Hei, Apa aku pernah bertemu sebelumnya?” tanya Gia ketika ia merasa jika tatapan mata Ningrum mengingatkannya pada seseorang.
“Tentu saja, kita bertemu di hutan sebelum ada Puaka yang datang mengacaukan pertemuan kita,” ungkapnya seraya tersenyum.
“Wah, aku gak nyangka banget loh ternyata merak yang aku liat merak ajaib,” ungkap Gia dengan mata yang berbinar.
Mereka berdua terus berjalan, hingga sampai di sebuah air terjun yang airnya mengalir jernih menuju sebuah kolam kecil yang berada tak jauh dari air terjun itu.
“Kemarilah, aku akan memberikanmu sebuah hadiah,” ucap Ningrum, dia pun kembali berubah menjadi wujud merak putih yang indah.
Gia berjalan mendekati merak itu, masuk ke dalam sebuah kolam yang dipenuhi kelopak-kelopak bunga. Aroma semerbak tercium begitu Gia masuk ke dalam kolam.
“Pejamkan matamu,” titah Ningrum kepada Gia.
Gia menuruti perintah dari Ningrum, dalam sekejap sensasi hangat menjalar di sekujur tubuh Gia. Tato mawar yang berada di tengkuk Gadis itu pun mengeluarkan cahaya terang.
“Sekarang buka matamu, dan kini kamu telah mendapatkan kekuatan dari keturunan Sang Merak Bodas. Gunakan anugerah ini untuk menyelamatkan dan membebaskan umat manusia dari kekuatan jahat.”
Gia membuka mata, dan ia terperanjat ketika mendapati dirinya telah kembali ke dalam gua.
“Emak Inah!” teriak Gia, ketika dia tak melihat wanita itu di sampingnya.
Gia berteriak seraya berlari keluar gua, matanya sibuk mencari keberadaan Emak Inah atau pun Elang.
Emak Inah yang sedang berada di tepian sungai pun menoleh seraya tersenyum.
“Baguslah kamu telah mendapatkan satu anugerah,” gumam Emak Inah dia pun berjalan mendekati Gia, lalu memeluknya erat.
KAMU SEDANG MEMBACA
Hiji Wanci
FantasyTragedi yang menimpa seorang gadis 17 tahun membawanya kembali ke masa lalu dan dia harus berjuang mengalahkan kekuatan jahat agar dirinya bisa kembali ke masa sekarang.