Elang berlari menyibak semak belukar. Gerakannya cepat, secepat kijang yang berlari. Dia berpacu dengan waktu, senja telah menyapa dan dia harus segera bersembunyi di gubuk Emak Inah. Sebelum Ahool mengetahui keberadaan Gia juga dirinya dan ketika sampai di dalam rumah gubuk, suara Ahool menggema di seluruh hutan. Makhluk kegelapan yang sangat mengerikan, dia memiliki tubuh kelelawar tetapi bagian kepala menyerupai monyet, matanya hitam, bertubuh besar, cakar besar dan juga bentangan sayap yang mencapai tiga meter. Tak hanya itu, seluruh tubuhnya di penuhi dengan bulu berwarna hitam semakin menegaskan kengerian Ahool.
Elang merebahkan tubuh Gia perlahan di atas tikar anyaman, dia pun menyelimuti tubuh gadis itu dengan sehelai kain. Tak berselang lama, Emak Inah muncul di hadapan Elang.
"Apa, Emak terluka?" tanya Elang, cemas.
"Seperti yang kamu lihat, aku baik-baik saja," jawab Emak Inah seraya berjalan menghampiri Gia yang masih memejamkan mata.
"Apakah dia Gadis yang ada di mimpi Emak Inah?" tanya Elang, ia tak bisa menahan untuk tidak bertanya.
Emak Inah menganggukan kepala, ia pun menyibak rambut Gia dan memperlihatkan tato bergambar setangkai bunga mawar yang dibelit ular tepat berada di leher Gia.
"Yah, memang dia. Gadis yang memiliki takdir sama sepertimu," jawab Mak Inah seraya tersenyum.
"Lalu, setelah ini apa yang harus aku dan dia lakukan?"
"Istirahatlah, besok akan aku ceritakan kepada kalian berdua," ungkap Mak Inah, lalu ia menarik tubuh Elang untuk keluar dari ruangan di mana Gia berada.
***
Malam semakin merambat merajai alam, dan bersamaan dengan itu para makhluk kegelapan satu persatu menampakkan wujudnya. Seluruh penduduk kerajaan Majaya terus dihantui oleh para puaka itu. Sehingga, setiap senja menyapa semua penduduk desa ataupun di kerajaan langsung bersembunyi di dalam rumah mereka masing-masing. Menyalakan obor, membuat rumah terang benderang hingga fajar tiba. Tidak hanya itu seluruh rumah yang berada di kerajaan Majaya memakai jimat yang diberikan raja mereka lalu ditempatkan di atas pintu rumah. Untuk sementara cara itu berhasil mereka lakukan untuk menghindar dari para puaka.
Sinar matahari pagi yang hangat, diam-diam menyelinap dari balik celah jendela dan tepat mengenai wajah Gia. Gadis itu pun perlahan membuka mata, dan menutupi arah sinar matahari itu agar tak langsung mengenai matanya.
"Aku kira ini hanya mimpi," gumam Gia, gadis itu pun melangkah menuju pintu keluar.
"Wahhh ... keren parah ini tempat," ucapnya ketika dia melihat pemandangan di tempat itu sangat cantik dan memanjakan mata.
Namun, seketika wajahnya menjadi sendu saat dia mengingat wajah sang ayah. Bulir-bulir bening menetes dari sudut matanya.
"Aku rindu Ayah," gumam Gia.
"Neng, sarapan dulu," kata Emak Inah seraya menyodorkan jagung rebus kepada Gia.
Gia menatap sedih ke arah jagung rebus yang disimpan di atas sebuah piring yang terbuat dari tanah liat itu. Melihat jagung rebus, ia kembali rindu kepada sosok ayahnya yang sangat menyukai jagung rebus.
"Kamu rindu Ayahmu?" tanya Emak Inah, dia pun menaruh piring itu di atas meja.
Gia menganggukan kepala, dia rindu sangat rindu kepada sosok ayah yang sangat penyayang dan berhati baik itu.
"Kalau begitu ayo, ikut aku," ajak Emak Inah.
Tanpa banyak bertanya Gia mengikuti wanita tua itu dari arah belakang. Melewati jalan setapak, melewati semak belukar hingga keduanya tiba di tepi sungai.
Tubuh Gia membeku saat menatap alira sungai yang sangat deras itu. Kenangan buruk ketika ia terjatuh ke dalam air, lalu terbentur bebatuan berkelebat di benaknya.
Tubuhnya ambruk, Gia tertunduk seraya menutup mata. Rasanya dia tak sanggup untuk menatap sungai yang ada di hadapannya.
"Neng, buka matamu," ucap Emak Inah.
Gia menggelengkan kepala, kini dia mulai tersedu-sedu. Bahunya terguncang hebat.
"Jangan menangis, bukalah matamu. Aku tahu ini sulit untuk kamu. Kemarilah akanku perlihatkan wajah Ayahmu," ungkap Emak Inah, dia berjalan menuju tepi sungai lalu menepuk-nepuk aliran sungai itu tiga kali.
"Gia, lihatlah Ayahmu sedang menunggu," kata Emak Inah.
Gia membuka mata perlahan, dia pun berjalan mendekati Emak Inah.
"Ayah ... Ayah, Gia di sini," lirihnya ketika ia melihat Jaka.
Gia terduduk, dadanya terasa begitu sesak ketika melihat Jaka yang tampak sedih berdiri di tepian sungai seorang diri.
"Apa yang harus aku lakukan untuk bisa kembali ke masaku?" tanya Gia, dia menengadakan wajah menatap Emak Inah.
Emak Inah berjalan mendekati lalu duduk di samping Gia, dia mengelus lembut rambut panjang gadis itu.
"Kalian harus mengalahkan sang pemangsa waktu, melenyapkan kekuatan jahat itu dari tanah Majaya."
"Hah kalian? Maksudnya aku lalu siapa lagi?"
Emak Inah tersenyum. "Elang, kamu dan pemuda itu akan mengalahkannya bersama-sama."
Gia terperanjat kaget mendengar ucapan Mak Inah.
"Maksud Emak, Elang juga berasal dari masa yang sama denganku?"
Mak Inah menganggukan kepala. "Ya, hanya saja dia datang lebih awal darimu."
Gia menganga tak percaya. Pada awalnya Gia mengira jika hanya dia yang tertarik ke masa itu. Namun ternyata ada manusia lain, setidaknya itu membuat hati Gia sedikit lebih tenang.
"Sekarang ayo kita kembali ke gubuk, perutmu harus di isi sesuatu," ungkap Emak Inah, dia berdiri lalu kembali berjalan ke arah gubuk.
Gia tersenyum sekilas kemudian mengikuti Emak Inah, perutnya memang terasa perih dan melilit butuh beberapa asupan makanan untuk kembali menormalkannya.
***
Jaka menatap sendu aliran sungai, mendengar penjelasan dari tim SAR membuat hati Jaka remuk.
Mereka berkata jika sangat mustahil untuk Gia selamat, karena gua Sanghyang Tikoro menyimpan banyak sekali misteri kemana berakhirnya aliran sungai yang masuk ke dalam gua itu.
Awan duka pun bergelayut di setiap hati orang-orang yang mencintai Gia, kecuali Wike. Gadis itu sangat bahagia mendengar kabar jika Gia mustahil untuk ditemukan.
"Om, ayo kita pulang," ungkap Raka.
Jaka hanya menurut, dia melangkah dengan lunglai meninggalkan sungai itu. Bagi seorang ayah kehilangan buah hati sangatlah menyakitkan, dunianya pun seakan runtuh detik itu juga.
Sesampainya di rumah, Jaka langsung berjalan masuk ke dalam kamar Gia. Ditatapnya satu persatu foto anak gadisnya itu, air mata pun menetes membasahi pigura yang berada di tangan Jaka.
"Kamu bahkan masih 17 tahun, Gia. Kenapa secepat ini kamu tinggalin Ayah," ucap Jaka, dia tersedu menangisi kepergian anak yang sangat ia cintai.
Tidak hanya Jaka, Raka pun menangis menatap foto yang terpajang di ruang tamu. Dia sangat sedih kehilangan gadis manis yang selalu menghiburnya di saat pemuda itu sedih. Penyesalan pun timbul dihatinya, dia menyesal mengajak Gia untuk ikut bersamanya melakukan penelitian di sekitar Sanghyang Tikoro.
"Gia, andai kamu gak ikut mungkin sekarang kita masih bersama," gumam Raka, menatap foto Gia dengan sendu.
KAMU SEDANG MEMBACA
Hiji Wanci
FantasyTragedi yang menimpa seorang gadis 17 tahun membawanya kembali ke masa lalu dan dia harus berjuang mengalahkan kekuatan jahat agar dirinya bisa kembali ke masa sekarang.