Jati Diri Raka

4 3 3
                                    

Marni hanya tersenyum sinis mendengar ucapan Elang. Wanita itu merasa geli dipanggil dengan sebutan ibu oleh Elang. Meskipun Elang adalah darah dagingnya sendiri. Namun, dia sangat membenci pemuda itu. Baginya Elang tak lebih dari aib keluarga.

“Aku sama sekali tak merindukan kamu, seharusnya aku membunuh kamu begitu dilahirkan, dasar aib!” pekik Marni, tatapannya nyalang menatap Elang.

Elang hanya tersenyum mendengar ucapan dari sang ibu. Sejak dulu kata-kata menyakitkan itu yang terlontar dari bibir Marni. Baginya kepercayaan Marni dan keluarga besarnya anak pertama dari bayi yang terlahir kembar adalah aib keluarga dan pembawa malapetaka bagi keluarga mereka. Sehingga Elang tumbuh dengan penuh luka di hatinya.

Berbeda dengan Raka, sejak kecil dia selalu mendapatkan limpahan kasih sayang tak dapat dirasakan oleh Elang. Semakin tumbuh dewasa ketidaksukaan keluarga pun semakin menjadi dan puncaknya Elang dijadikan tumbal demi mendapatkan kekayaan. Pada malam purnama tubuh Elang di ikat dan dihanyutkan di sungai. Gelak tawa keluarganya terdengar sangat menyakitkan malam itu. Namun, beruntung bagi Elang karena dia selamatkan oleh Nyai Sekar Wangi yang saat itu masih menyamar dan menggunakan nama Emak Inah.

“Sudahlah aku hanya ingin kalian melepaskan lelaki ini. Kamu gila, Raka dia adalah Ayah dari gadis yang kamu cintai.”

“Aku tak peduli, yang penting aku mendapatkan banyak harta. Lagi pula gadis itu telah mati,” ungkap Raka seraya mendekat ke arah Jaka dengan membawa sebuah benda tajam yang terbuat dari bambu.

“Hentikan!” pekik Elang.

Namun, Raka tak mengindahkan ucapan Elang dia terus melangkah mendekat. Merobek baju yang dikenakan Jaka lalu mendekatkan bagian yang paling runcing itu tepat di dadanya.

Gia tampak sangat murka melihat hal itu. Kedua tangannya mengepal, matanya berubah warna menjadi hijau bersamaan dengan munculnya bentuk belah ketupah di keningnya.

Gerakan Raka terhenti tepat beberapa senti di atas dada Jaka, dia pun menoleh ke arah pintu masuk karena merasakan aura kekuatan yang sangat hebat dari arah sana.

“Raka, lepaskan Ayahku!” ungkap Gia seraya melangkah mendekat.

Raka terkesiap menatap siapa sosok yang berada di hadapannya.

“Gi-Gia?” ungkap Raka tergagap.

“Apa yang akan kamu lakukan kepada Ayahku hah!”

Gia semakin mendekat, aura kekuatannya semakin menguat. Melihat hal itu Elang berjalan mendekati Gia, melindungi gadis itu dari bahaya yang mengancam karena Elang merasakan hawa makhluk kegelapan di dalam sana.

“Hei, Gia kamu masih hidup?” ungap Raka seraya tersenyum.

“Ternyata kamu sangat jahat, Raka. Aku sangat menyesal telah mencintai kamu!” teriak Gia, dia pun mengayunkan selendang hijaunya dan tepat mengenai leher Pemuda itu.

Raka membeliak merasakan sensasi sesak karena lehernya terlilit selandang Gia.

“Hei lepaskan anakku!” pekik Marni.

Namun, Gia tak mendengar ucapan wanita itu dan semakin mengeratkan selendang hingga Raka terjatuh tak sadarkan diri.

“Nyai tolong selamatkan, Ayahku dari sini!” teriak Gia.

Dengan sekali gerakan Nyai Sekar Wangi mendekat ke arah batu itu dan berusaha menyelamatkan Jaka. Namun, seorang lelaki tua mencekalnya dan menyerang Nyai Sekar Wangi menggunakan tenaga dalam.

“Jangan coba-coba membawa dia!” pekik lelaki tua itu.

“Cih, mengganggu sekali kamu hah!” Nyai Sekar Wangi berlari dan membalas apa yang dilakukan lelaki itu.

Serangan demi serangan terus ditunjukkan Nyai Sekar Wangi kepada alelaki itu dan serangan terakhir dia berhasil memenangkan pertempuran. Lelaki tua berkepala plontos itu pun terkapar dengan darah yang keluar dari mulut, mata dan juga telinganya.

Nyai Sekar Wangi tersenyum melihat musuhnya tak berdaya. Dia pun langsung membawa Jaka dan menghilang dari tempat itu. Kini musuh mereka tinggal dua orang, Marni dan paman mereka Roy.

“Berani-beraninya kamu membawa tumbal kami!” pekik Marni, dia pun langsung berlari ke arah Gia.

Gia tak menghindar, gadis itu menghadapi Marni dengan penuh keberanian. Beberapa kali Gia mematahkan serangan dari Marni dan hal itu membuat Marni sangat kesal.

“Mamah? Aku menyesal pernah menyebutmu seperti itu,” ungkap Gia seraya meludah.

“Harusnya kamu mati!” pekik Marni.

Gia tersenyum sinis. “Hanya saja, semesta tak menginginkan aku untuk mati karena yang seharusnya mati adalah kamu!” ungkap Gia seraya menyerang Marni dengan tenaga dalam.

Tubuh Marni terhempas, dia pun memuntahkan darah yang sangat banyak.

“Kamu wanita yang tak pantas hidup! Dasar jahat demi harta kamu mengorbankan nyawa manusia?”

Marni terbahak sebelum ia kembali berdiri. “Aku gak peduli, bahkan anakku sendiri pernah kujadikan tumbal.”

“Dasar Ibu yang menyedihkan,” sindir Gia.

“Yang terpenting bagiku sekarang hanyalah uang!”

“Uang bukanlah segalanya bodoh!” pekik Gia.

“Namun, semuanya butuh uang Nona cantik,” ungkap Marni seraya melemparkan batu ke arah Gia.

Gia hanya tersenyum melihat batu itu menembus dirinya begitu saja. Gia pun membalikan batu itu dan tepat mengenai kepala Marni.

“Ahrg dasar gadis kurang ajar!” pekik Marni.

“Elang kita pergi dari sini,” ungkap Gia kepada Elang.

Elang menganggukan kepala berubah menjadi Macan putih lalu pergi dari tempat itu membawa Gia yang berada di punggungnya.

Marni hanya mampu menatap tajam ke arah dua anak muda. Dadanya naik turun menahan ledakan amarah di dalam jiwanya.

Mereka pun telah kembali ke dalam rumah, Nyai Sekar Wangi pun telah mengembalikan kesadaran Jaka.

“Ayah,” gumam Gia.

Namun, Jaka belum bisa melihat sosok Gia. Lelaki itu hanya termenung di atas kursi mencoba mengingat-ngingat kembali apa yang telah menimpanya.

“Loh kenapa aku ada di sini? Bukannya tadi aku ada di rumah, Raka yah?” gumam Jaka dan bertanya-tanya di dalam hatinya.

“Sayang, kamu kenapa?” ungkap seseorang dari arah pintu.

Melihat Neli yang menghampiri sang ayah, Gia pun meminta Nyai Sekar Wangi untuk membawanya kembali.

“Ayo kita pergi,” ungkap Nyai Sekar Wangi seraya menyentuh tangan Gia dan juga Elang.

Dalam sekejap mereka pun telah kembali ke dalam raga mereka. Gia bergeming menatap pilu kepada Elang.

“Kenapa kamu gak cerita?”  ungkap Gia dengan suara parau.

“Cerita tentang apa?” Elang balik bertanya.

“Tentang, Raka.”

Elang hanya terdiam, lalu bangkit dari duduknya dan pergi meninggalkan ruangan. Gia mengejar pemuda itu, dia pun memeluk tubuh Elang.

“Maafin aku, aku gak tahu kalau, Raka ternyata jahat. Selama ini aku selalu bercerita soal dia, kamu pasti sangat terluka,” ungkap Gia, dan dia mulai menangis.

Elang menyentuh tangan Gia lembut, berbalik menghadap Gia dan kembali memeluk tubuh gadis itu.

“Tidak apa-apa, itu tidak menyakiti hatiku. Justru sekarang aku lega karena kamu telah mengetahui siapa, Raka.”

Gia menarik tubuhnya dari dekapan Elang, dia pun menghapus air matanya.

“Kenapa kamu sangat baik?”

“Karena aku menyukaimu,” jawab Elang seraya tersenyum.


Hiji WanciTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang