Teror

4 2 0
                                    

Tubuh Gia membeku mendengar ucapan Elang. Ia beberapa kali menggelengkan kepala kemudian berbalik dan pergi dari hadapan Elang.

Elang berlari menghampiri Gia. "Hei kenapa pergi, kamu marah?"

"Kenapa kamu bisa suka sama aku?"

"Karena getar rasa itu hadir dengan sendirinya, Gia. Hatiku selalu menghangat setiap memandang wajahmu."

"Tapi kira kita tidak akan bisa bersama, Elang maafkan aku," ungkap Gia, dia pun berlari menuju sebuah kolam kecil yang terletak tak jauh dari pondoknya.

Gia mendudukan diri di sebuah batu besar tepi kolam. Pandangannya tertuju pada teratai putih yang berada di tengah-tengah kolam. Teratai yang sangat cantik itu berhasil menarik perhatian Gia, hingga dia tak menyadari ada bahaya yang tengah mengincarnya.

Seseorang dengan pakaian serba hitam tengah mengintai Gia dari atas pohon. Anak panah pun dia lesatkan dan tepat mengenai bahu kanan Gia.

"Argh, Elang!" jarit Gia.

Mendengar jeritan Gia, Elang langsung menghampiri saat itu juga.

"Gia, apa yang terjadi!" ungkap Elang, wajahnya tampak cemas ketika melihat dia telah terkapar bersimbah darah dengan anak panah yang menancap di bahu kanan Gia.

"To ... tolong a-aku," kata Gia tergagap seraya menahan rasa nyeri yang menyerangnya.

"Tahan aku akan menyelamatkan kamu," ungkap Elang seraya membopong tubuh Gia.

Namun, baru beberapa langkah mereka pun kembali diserang. Elang menurunkan tubuh Gia dan dia menjelma menjadi Macan putih. Elang mengaum dan mencari dari mana arah serangan itu.

"Di sana rupanya!" pekik Macan putih, dia pun berlari dan menyerang dua orang pemanah berpakaian serba hitam di atas pohon hingga mereka pun terjatuh.

"Berani-beraninya kalian menyusup ke dalam kerajaan kami hah!" pekik Macan putih seraya menghampiri dua orang itu.

Mendengar suara keributan para penjaga beserta Nyai Sekar Wangi menghampiri tempat kejadian. Betapa terkejutnya wanita itu menatap Gia yang bersimbah darah.

"Amankan kedua orang ini!" ungkap Macan putih, sedangkan dia langsung berubah wujud dan membawa Gia ke pondok.

Gia terus mengerang kesakitan, Nyai Sekar Wangi pun telah memanggil para tabib kerajaan untuk mengobati Gia dan mencabut anak panah yang menancap di tubuh Gia.

"Aku akan segera mencabut anak panah ini," ungkap salah satu tabib.

Namun, ketika dia hampir menyentuh anak panah itu sang Maha Raja berjalan masuk ke dalam pondok dan melarang tabib untuk mencabut anak panah di tubuh Gia.

"Itu bukan anak panah biasa, dari auranya itu adalah anak panah pencabut nyawa. Jika kalian mencabutnya maka kita akan kehilangan, Gia."

"Lalu apa yang harus kita lakukan? Lihatlah, Gia semakin kesakitan," ungkap Elang panik.

"Kita gunakan bunga  Edelweiss yang diberikan oleh, Yeti untuk menyelamatkan nyawa, Gia," ungkap sang Maha Raja.

"Baik aku akan segera menyiapkan bunga itu, para dayang siapkan wadah dan air sekarang!" perintah Nyai Sekar Wangi.

Nyai Sekar Wangi membuka peti penyimpanan bunga Edelweiss. Dengan sangat hati-hati ia mengambil bunga itu dan menyimpannya disebuah cawan yang telah berisi air.

Perlahan air di dalam cawan itu berubah warna menjadi ke emasan. Nyai Sekar wangi berjalan mendekati ranjang Gia dan membantu gadis itu untuk meminum air di dalam cawan.

Tubuh Gia mengejang, matanya membeliak kedua kakinya bergerak tak karuan. Semua orang yang berada di sana sangat panik terutama sang Maha Raja, dia tak dapat menyembunyikan kekhawatirannya.

"Apa yang terjadi?" tanya Elang, tak kalah cemas.

"Dia akan segera baik-baik saja, tunggu sebentar lagi," ungkap Nyai Sekar Wangi dengan tatapan tenang.

Dan benar saja apa yang dikatakan oleh Nyai Sekar Wangi. Tubuh Gia tampak tenang lalu anak panah yang berada di bahunya pun perlahan lepas bersaam dengan darah hitam yang mengalir dari bekas serangan anak panah.

Sang Maha Raja mengembuskan napas lega, menatap anak panah yang bersarang di tubuh Gia terlepas gadis itu pun membuka mata perlahan.

"Syukurlah kamu baik-baik saja," ungkap sang Maha Raja seraya memeluk tubuh Gia erat.

"Aku baik-baik saja, jangan khawatir," kata Gia seraya tersenyum.

Elang berjalan mendekati kasur Gia, dia pun langsung bersimpuh di hadapan Gia dan sang Maha Raja.

"Maafkan hamba yang gagal melindungi, Putri," ungkap Elang dengan kepala tertunduk.

"Tidak apa-apa, berdirilah aku sudah memaafkan kamu," ungkap sang Maha Raja.

"Antarkan aku bertemu dengan orang yang telah memanahku," ungkap Gia tiba-tiba.

"Tapi kamu masih sangat lemah," kata Nyai Sekar Wangi mencoba untuk menahan gerakan Gia.

"Aku hanya ingin mengobrol sebentar dengan mereka, aku mohon ijinkan."

"Baiklah hanya sebentar," kata Nyai Sekar Wangi seraya berjalan mendahului Gia.

Mereka pun tiba di penjara bawah tanah kerajaan. Aroma lembab pertama kali Gia rasakan ketika berjalan menuruni setiap undakan tangga.

Niat hati ingin menanyai perilah serangan tadi, tetapi harus menelan rasa kecewa ketika melihat dua orang berpakaian serba hitam itu pun terkapar tak bernyawa.

"Siapa yang telah melakukan hal ini!" pekik  Gia amarahnya meletup-letup.

"Ampun Putri, sepertinya mereka menghabisi nyawanya sendiri," ungkap salah satu penjaga.

***

"Sial, Gia masih hidup!" pekik sang Ratu kegelapan ketika mendapatkan kabar jika Gia berhasil selamat.

"Kirim hamba untuk menghabisi gadis itu Ratu," ungkap salah satu puaka dari jenis monyet.

"Baiklah pergi kalian dan bunuh gadis itu."

Para puaka montet pun menghilang dari kerajaan kegelapan dan muncul di hutan kerajaan Majaya yang jaraknya tak begitu jauh dari kerajaan.

Berhari-hari puaka monyet itu berada di hutan, dan semakin hari jumlah monyet kian bertambah. Para penduduk pun resah dan takut jika harus ke hutan.

Kabar tentang adanya ratusan monyet di hutan pun sampai ke telinga sang Maha Raja. Dia geram karena Majaya terus-terusan diganggu. Dia pun memerintahkan Elang dan Nyai Sekar Wangi untuk membereskan para monyet dan tentunya tanpa Gia karena gadis itu masih harus istirahat.

Elang dan Nyai Sekar Wangi pun bertolak ke hutan. Sesampainya di hutan keduanya langsung di serang oleh monyet-monyet. Melihat Elang dan Nyai Sekar Wangi kewalahan hal itu dijadikan kesempatan oleh puaka monyet untuk menyusup masuk ke dalam kerajaan.

Puaka monyet dengan gerakan yang sangat lincah mampu mengelabui para penjaga yang berjaga sangat ketat. Hingga dia berhasil mendekati pondok Gia, perlahan ia membuka jendela kamar. Dia menyeringai ketika menatap seorang gadis yang tengah tertidur di atas ranjang.

"Kamu akan mati di tanganku," ungkapnya seraya berjalan mendekat.

"Tidak secepat itu jelek!" pekik Gia seraya bangkit dari ranjang dan menghunuskan keris ke arah monyet itu.

Kedua mata Gia kembali berubah warna menjadi hijau, dengan penuh keberanian Gia berjalan mendekat ke arah puaka monyet. Dia mencengkram kuat kepala puaka itu lalu mematahkannya dalam sekali gerakan.



ngetiknya sambil ngantuk ini, maafkan jika ada typo yah.

Hiji WanciTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang