Bukan Mimpi

3 2 0
                                    

Gia tersenyum tipis, Gadis 17 tahun itu tak pernah bermimpi menjadi seorang Putri di kerajaan sebesar Majaya. Kini semua orang menaruh harapan besar kepadanya, harapan untuk mengalahkan kekuatan jahat dari tanah Majaya.

Acara penyambutan pun berakhir, kini Gia dan Elang di ajak ke suatu tempat yang berada tak jauh dari kerajaan.

Sepanjang perjalanan, Gia terus mengamati kerajaan yang sangat megah. Berkali-kali dia berdecak kagum melihat bangunan yang berlapis emas, tampak sangat cantik dan tentunya sangat mewah.

“Kemarilah, aku akan memberikan anugerah terakhir kepadamu,” ungkap sang Maha Raja.

Gia mendekat kearah sang Maha Raja yang berdiri di dekat sebuah kolam yang berada di dalam gua. Air di kolam kecil itu sangat jernih, perlahan sang Maha Raja mengambil air itu menggunakan siwur kemudian, memerintahkan Gia untuk duduk di sebuah batu berukuran besar.

Gia menuruti titah itu, dia pun duduk dengan bersila kaki. Perlahan sang Maha Raja mengguyurkan air tepat di atas kepala Gia. Dalam sekejap ia merasakan energi yang sangat besar terserap ke dalam raganya.

Sang Maha Raja mendekat, dia menempelkan potongan daun sirih berbentuk belah ketupat tepat di keningnya. Dalam sekejap mata, daun sirih itu pun menyatu dengan raga Gia.

“Daun sirih itu untuk menolak bala dan akan melindungi kamu dari mara bahaya.”

“Terima kasih,” kata Gia seraya memberikan penghormatan kepada sang Maha Raja.

Lama sang Maha Raja menatap Gia. “Kita kalahkan mereka bersama-sama.”

***
Jauh di luar kerajaan, sekelompok pemberontak datang menghancurkan dusun-dusun dan merebut jimat yang melindungi rumah-rumah mereka dari serangan para puaka.

Jerit tangis warga desa terdengar sangat memilukan. Elang yang berada di dalam kerajaan seketika membeliak saat samar-samar suara tangis warga terdengar di telinganya.

“Mohon ampun yang Mulia, tetapi saya mendengar ada keributan dari arah dusun bawah,” ucap Elang seraya membungkukkan tubuh.

“Jika begitu pergilah, dan ajak para penjaga,” titang sang Maha Raja.

Elang langsung menjelma sebagai macan putih dan melesat pergi meninggalkan kerajaan di susul ratusan penjaga kerajaan yang mengikuti macan putih.

Setibanya di dusun, pemberontak itu langsung menghunuskan pedang ke arah macan putih. Namun, hal itu tak dapat menciutkan nyali macan putih. Diterkamnya satu persatu para pemberontak itu, dia mencakar kemudian mencabik-cabik tubuh pemberontak.

Tak berselang lama pasukan penjaga pun hadir di dusun, mereka langsung menyerang para pemberontak.

“Wah sebegitu takutkah kalian kepada kami? Pasukan sebanyak ini hanya untuk menangkap pemberontak?”  ungkap salah satu pemberontak itu, seraya meludah. Menghina para penjaga.

Tentu saja hal itu memancing kemarahan para penjaga termasuk kemarahan sang macan putih. Pemberontak yang berjumlah tak kurang dari seratus itu pun berhasil mereka amankan dan digiring menuju kerajaan untuk diadili  sang Maha Raja.

Keadaan dusun yang telah hancur tak dapat lagi mereka huni. Sehingga para penduduk dusun langsung diungsikan menuju dusun lain yang dianggap lebih aman.

para pemberontak digiring dengan tangan terikat dan kepala yang ditutup karung. Sesampainya di halaman kerajaan, mereka dipaksa untuk duduk berlutut.

“Buka penutup kepala mereka!” titah sang Maha Raja.

Salah seorang penjaga membuka penutup kepala mereka, kesan sangar dan menyeramkan tampak di wajah mereka. Tanpa rasa hormat ataupun rasa takut mereka menatap sang Maha Raja.

“Cih, Raja,” gumam seorang pemberontak seraya meludah.

“Kurang ajar kamu!” teriak seorang penjaga dan memukul kepala pemberontak itu hingga darah segar mengucur.

“Katakan siapa yang memerintahkan kalian untuk berbuat kerusakan di kerajaan Majaya?”

Para pemberontak itu saling memandang. “Tidak ada yang menyuruh kami.”

“Jangan berbohong cepat katakan yang sejujurnya, jika kalian jujur maka nyawa kalian akan selamat.”

“Kami tidak takut mati, silahkan bunuh saja kami,” ucap salah seorang pemberontak seakan menantang sang Maha Raja.

Rahang sang Maha Raja mengeras, dia sangat marah mendengar ucapan dari pemberontak itu. Dia melangkah mendekat seraya menyabut keris yang selalu dibawanya kemana pun dia pergi lalu menghunuskan keris itu tepat di kening zalah seorang pemberontak yang memiliki bekas goresan benda tajam di wajahnya.

“Cepat katakan!”

“Tidak akan pernah.”

Sang Maha Raja hampir saja menghabisi pemberontak itu. Namun, Emak Inah datang dan menghentikan tindakan sang Maha Raja.

“Ampuni hamba, tapi ijinkan hamba untuk membaca pikiran mereka,” ungkap Emak Inah, dia pun menatap tajam ke arah para pemberontak.

“Baiklah, silahkan,” sang Maha Raja mundur selangkah.

Emak Inah mendekat, dia menatap tajam satu persatu pemberontak yang berada di hadapannya. Senyuman terbit di wajah wanita itu dan berjalan mendekati seorang lelaki yang berada di ujung sebelah kanan.

Emak Inah menyentuh kepala lelaki itu, dia mulai memejamkan mata seraya merapalkan mantra. Sejurus kemudian lelaki itu mengejang dengan mata membeliak.

Dua orang pemberontak yang berada di samping lelaki itu bangkit dan berusaha menyerang Emak Inah. Namun, dengan sigap Elang menghalau serangan itu.

Untuk beberapa saat Emak Inah mencoba untuk membaca pikiran lelaki itu, hingga akhirnya dia berhasil mengetahui siapa yang telah memerintahkan mereka untuk melakukan kerusakan.

Emak Inah membuka mata, dia pun berjalan menghampiri sang Maha Raja kemudian berbisik.

Mata sang Maha Raja menjegil dan merah padam setelah mengetahui siapa dalang dari semuanya.

“Bawa mereka semua ke dalam penjara!” titah sang Maha Raja, seraya dia berjalan masuk ke dalam kerajaan dan duduk di singgasananya.

Emak Inah berjalan mendekat dan memberikan penghormatan.

“Dalam waktu dekat mereka akan menyerbu kerajaan Majaya dengan kekuatan penuh,” kata Emak Inah.

“Apalagi yang kamu baca dari pikiran lelaki itu?”

Emak Inah mengembuskan napas sebelum menjawab pertanyaan sang Maha Raja.

“Dalam waktu lima purnama kekuatan terbesar mereka akan bangkit dan akan melenyapkan semua kehidupan di dunia ini, baik di masa sekarang maupun di masa yang akan datang.”

“Apa kita bisa menghentikan mereka?”

“Tentu saja, Gia dan Elang akan membantu kita, hanya tinggal menunggu waktu saja,” ucap Emak Inah.

Untuk sesaat sang Maha Raja tampak lebih tenang.

“Pergilah dan persiapkan mereka untuk melawan ke angkara murkaan di negri ini,” titah sang Maha Raja.

Emak Inah kembali memberikan penghormatan, dia pun berjalan mundur lalu menghilang di balik pintu keluar.

Emak Inah pun melanjutkan perjalanan menuju pondok yang ditempati Gia, perlahan dia masuk ke ruangan itu.

“Gia, kita harus pergi sekarang,” ungkap Emak Inah.

“Loh kenapa pergi? Aku sangat nyaman berada di sini,” kata Gia dengan bibir yang mengerucut.

“Kita harus segera bersiap, ayo sebelum matahari tenggelam kita harus sampai di sana.”

“Di sana? Kita akan ke gua lagi?”

Emak Inah menggelengkan kepala.

“Pegang tanganku, maka kamu akan segera mengetahuinya,” ucap Emak Inah seraya tersenyum.

Hiji WanciTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang