Sang Maha Raja tampak sangat murka mendengar laporan dari Garuda dan detik itu juga ia mengutus Garuda untuk menjadi mata-mata bagi kerajaan Majaya.
Tanpa bantahan Garuda kembali melesat terbang kembali menuju pulau di mana musuh tengah menyiapkan kerajaan dan menghimpun banyak sekali pasukan.
Siang dan malam para puaka terus membangun istana yang sangat megah. Tak hanya istana mereka pun menumbuhkan pohon berukuran besar yang mampu menghisap energi musuh.
“Mulai besok aku akan membawa sang Ratu datang ke istana indah ini,” ungkap Bagong Kajajaden seraya terbahak.
Garuda yang masih setia mengawasi di atas langit kembali terbang menuju kerajaan Majaya melaporkan hasil pengamatannya.
***
Gia tampak gelisah di dalam kamarnya. Karena kegelisahannya tak kunjung hilang, Gia memutuskan untuk menemui Nyai Sekar Wangi dan menceritakan kegelisahan hatinya.
“Nyai bisakah kamu membawaku menemui, Ayah?” tanya Gia dengan tatapan penuh harap.
“Aku mohon,” ungkap Gia kembali, kali ini dia bersimpuh di hadapan wanita cantik itu.
Nyai Sekar Wangi terkesiap melihat apa yang dilakukan Gia.
“Putri aku mohon jangan seperti ini, baik akan kubawa kamu ke sana tetapi kita harus memanggil, Elang terlebih dahulu,” ungkap Nyai Sekar Wangi seraya memejamkan mata dan memanggil Elang menggunakan telepatinya.
Dalam sekejap mata, Elang telah berada di hadapan mereka.
“Sekarang kita masuk ke dalam kamarmu,” ungkap Nyai Sekar Wangi.
Kini mereka bertiga tengah duduk melingkar, bersila kaki seraya berpegangan satu sama lain. Nyai Sekar Wangi merapalkan mantra dan dalam sekejap mereka telah sampai di halaman rumah Gia.
“Syukurlah kita langsung sampai di sini,” ungkap Gia dengan mata yang berbinar.
Gia langsung berlari masuk ke dalam rumah, mencari sosok Jaka. Namun, Gia tak dapat menemukan Jaka. Hatinya kian cemas, prasangka buruk pun menari-menari di dalam benaknya.
“Elang bisakah kamu mencari tahu keberadaan Ayahku?”
“Tentu saja,” ungkap Elang. Pemuda itu kembali berubah wujud dan memerintahkan Gia untuk naik ke atas punggungnya.
Begitu Gia mendudukan diri di tubuh Macan putih. Sosok itu langsung berlari secepat kilat, bukan hal sulit bagi Elang untuk mencari Jaka. Sosok Macan putih hanya tinggal mengendus aroma Jaka dari pakaian yang selalu di kenakan lelaku itu dan sebuah bayangan merah pun akan muncul dan menuntun Macan putih ke tempat di mana orang yang sedang dicarinya berada.
“Apakah kamu yakin, Ayah ada di sini?” tanya Gia seraya memicingkan mata ke arah rumah itu.
“Bayangan merah yang aku lihat, berhenti tepat di sini,” ungkap Elang yang telah kembali ke wujud manusianya.
“Tapi untuk apa, Ayah ke sini? Ini kan rumah, Raka,” gumam Gia.
“Dari pada terus bertanya-tanya, lebih baik kita masuk dan mencari tahu sendiri,” ungkap Nyai Sekar Wangi.
“Baiklah ayo kita masuk, kalian berdua tetaplah berada di belakangku,” ucap Elang, sorotan matanya tajam menatap ke arah rumah itu.
Melihat bangunan bertingkat dua itu, hati Elang terasa sangat nyeri. Bayangan-bayangan indah masa lalu pun terus berkelebat di dalam benaknya. Setetes cairan bening hangat pun menyelinap di sudut matanya.
Mereka terus berjalan melewati taman, lalu menembus pintu rumah. Kemudian mereka masuk ke dalam sebuah ruangan bawah tanah.
“Hei, Elang kamu seperti telah mengenal tempat ini,” ungkap Gia ketika Elang berjalan menunjukkan arah.
Elang hanya bergeming, begitupun dengan Nyai Sekar Wangi. Mereka berdua bahkan tak menanggapi sama sekali pernyataan dari Gia.
Sesampainya di ruangan bawah tanah, Elang membawa mereka menuju sebuah ruangan tersembunyi lainnya. Dari arah tangga Elang langsung mengambil arah kiri dan berhenti tepat di hadapan tembok bata merah.
Elang menyentuhkan telapak tangannya ke dinding itu, dia memejamkan mata. Meresapi energi yang berada di sekitar tempat itu. Dinding pun perlahan bergerak ke kiri. Gia membeliak tak percaya dengan apa yang dilihatnya itu.
“Wahh ... aku baru tahu kalau kelurga, Raka punya ruangan rahasia,” ungkap Gia dengan wajah yang semringah.
“Ayo masuk,” ungkap Elang setelah pintu rahasianya terbuka dengan sempurna.
Suasana tampak mencekam di dalam sana. Tak ada lampu yang ada hanya pelita kecil yang disimpan di dindin-dinding berlumut itu.
Mereka berjalan cukup jauh dan tibalah di sebuah ruangan berukuran besar dengan batu yang berada di tengah-tengah ruangan.
“Ayah!” pekik Gia, ketika ia melihat ayahnya terkapar di atas batu itu.
Gia hendak berlari mendekati Jaka. Namun, Elang langsung menahan gerakan Gia.
“Lepasin aku! Aku mau nolongin ayah!”
“Jika kamu ceroboh dan tidak hati-hati maka nyawa Ayahmu dan juga kamu yang akan menjadi taruhannya,” ungkap Nyai Sekar Wangi mencoba memberikan pemahaman kepada Gia.
“Lalu mau sampai kapan kita diam aja!”
“Kamu tunggu di sini, biarkan aku saja yang ke sana,” ungkap Elang.
Dengan langkah sangat hati-hati, Elang melangkah mendekati meja itu. Namun, ketika hanya tinggal beberapa langkah yang tersisa tubuh Elang membeku ketika ia menatap sosok yang sangat tak asing banginya, sedang menatap kearahnya seraya tersenyum.
“Apa yang dia lakukan?” tanya Gia kepada Nyai Sekar Wangi.
“Kehadirannya telah diketahui.”
Gia mengerutkan kening. “Diketahui siapa?”
“Mereka,” ungkap Nyai Sekar Wangi seraya menunjuk ke arah empat orang yang berjalan mendekati Elang.
Gia menolehkan kepala. Tubuhnya mendadak membeku kala menatap keempat orang-orang itu.
“Inikan keluarga, Raka,” gumam Gia.
“Yah betul dan keluarga, Elang juga,” ucap Nyai Sekar Wangi.
Gia membeliak mendengar apa yang diucapkan wanita itu.
“Enggak ini gak mungkin,” ungkap Gia seraya menggeleng-gelengkan kepala dan mencoba menepiskan prasangka buruk di dalam benaknya.
“Selamat datang kembali saudara!” ungkap Raka dengan penekanan di akhir kalimat.
“Untuk apa kamu datang kemari?” ucap seorang wanita paruh baya.
“Cih, jelas saja untuk menghentikan kalian. lepaskan lelaki itu, apa tidak cukup menyerahkan aku sebagai tumbal?” ungkap Elang seraya menahan nyeri mengucapkan hal itu.
“Tumbal?” gumam Gia, setetes bulir bening pun meleleh di pipi mulus Gia.
“Kami membutuhkan tumbal baru, lagi pula kami gagal menumbalkan kamu anak tak tahu diri,” ungkap seorang lelaki bertubuh besar yang tak lain adalah paman dari Elang.
“Hidup kalian terlalu serakah andai saja kalian mau bersyukur dengan keadaan hidup sederhana maka kalian gak akan jadi budak iblis seperti ini!” pekik Elang kepada mereka.
Tidak terima dengan apa yang diucapkan oleh Elang, Raka berlari seraya menghunuskan sebuah pisau lipat ke arah Elang. Melihat hal itu Elang hanya tersenyum ke arah Raka.
“Bodoh, aku gak mungkin terluka karena ini bukan wujud asliku,” ungkap Elang seraya mengembuskan angin ke arah tubuh Raka dan pemuda itu pun terantuk pada tembok.
“Hei, apa yang kamu lakukan!” pekik wanita paruh baya itu, tatapannya memerah menahan amarah.
“Hai, Ibu tidakkah kamu rindu kepadaku?” ucap Elang seraya tersenyum.
KAMU SEDANG MEMBACA
Hiji Wanci
FantasyTragedi yang menimpa seorang gadis 17 tahun membawanya kembali ke masa lalu dan dia harus berjuang mengalahkan kekuatan jahat agar dirinya bisa kembali ke masa sekarang.