Ular seukuran pohon kelapa itu merayap di hadapan mereka bertiga. Keringat dingin kembali mengucur membasahi tubuh Jaka. Pertama kali menginjakkan kaki di tempat itu dan pertama kali juga Jaka melihat ular dengan ukuran yang sangat besar.
"Yang Mulia, sebaiknya Anda pergi terlebih dahulu. Hamba yang akan melawan ular jadian-jadian ini," ungkap sang penjaga seraya maju beberapa langkah.
"Tidak, kita akan lawan makhluk ini secara bersama-sama," kata sang Maha Raja, ia pun kembali mengeluarkan keris dan bersikap siaga.
Lidah ular raksasa itu menjulur panjang dan setiap kali Jaka melihat itu bulu kuduknya pun meremang. Aura kekuatan gelap pun semakin terasa, sang Maha Raja menyapukan pandangan ke segala penjuru. Satu persatu para puaka muncul di hadapan mereka.
"Senang bertemu dengan Anda yang mulia tuan Raja," ucap sosok ular bertubuh besar.
"Mau apa kalian berkeliaran di tanah Majaya hah?" pekik sang Maha Raja dengan sorotan mata tajam membunuh.
Sosok ular itu hanya meliuk-liukan tubuhnya tanpa rasa takut sedikit pun, meski yang berada di hadapannya kini adalah seorang Raja.
"Pergilah dari hadapanku atau akan kucincang tubuh kalian satu persatu," gertak sang penjaga seraya mengacungkan pedang ke arah para puaka.
Namun, bukannya pergi para puaka itu semakin mendekat dan sejurus kemudian puaka berwujud monyet menyerang. Hanya dengan sekali tebasan kepala puaka monyet itu pun lepas dari raganya.
"Tunggu apalagi kalian serang mereka!" ungkap ular besar itu memberikan perintah kepada para puaka untuk segera menyerang.
Secara bersamaan, para puaka pun menyerang. Sepuluh puaka melawan dua manusia benar-benar jumlah yang tak seimbang. Namun, hal itu tentu bukan menjadi masalah bagi mereka berdua, serangan demi serangan yang dilancarkan para puaka selalu dimentahkan oleh sang Maha Raja. Tebasan demi tebasan pedang yang dilayangkan penjaga mampu menumbangkan beberapa puaka dan kini hanya tersisa dua puaka berwujud buaya dan puaka berwujud kuda.
"Kita pergi dari tempat ini," ungkap puaka ular seraya mendesis.
"Tidak semudah itu kalian pergi dari hadapan kami!" pekik sang penjaga.
Lelaki bertubuh besar itu pun mengangkat pedangnya ke udara, cahaya berwarna merah pun muncul dari pedangnya sejurus kemudian dia mengayunkan pedangnya tepat pada ekor ular itu.
"Argh!" erangnya ketika ia merasakan rasa nyeri karena kini tubuhnya telah terbagi dua.
Sang Maha Raja kembali mengeluarkan tenaga dalamnya, dihempaskan bagian ekor ular itu sejauh mungkin hingga sang empunya tak bisa kembali menyatukan tubuh. Puaka ular itu terus saja mengumpat dan mengucapkan sumpah serapah kepada sang Maha Raja.
"Jangan sombong kamu bisa mengalahkan kami malam ini, tak lama lagi tuan kami akan menghabisi kalian!" pekik puaka itu sebelum tubuhnya perlahan berubah menjadi abu.
"Manusia tidak akan pernah kalah dari puaka seperti kalian," ucap sang Maha Raja.
Kini sang Maha Raja mengalihkan pandangan kepada Jaka yang sedari tadi hanya mampu menonton tanpa bisa menolong sedikit pun. Dia pun berjalan mendekat.
"Maafkan aku tidak bisa membantu," ungkap Jaka dengan kepala tertunduk.
"Tidak apa-apa, kehadiran kamu di sini pun akan sangat membantu jika waktunya telah tiba. Sekarang kita lanjutkan perjalan," ucap sang Maha Raja seraya menepuk-nepuk bahu Jaka.
Setibanya di kerajaan Jaka langsung diarahkan untuk menuju pondok yang telah disediakan. Para dayang membawakan beberapa nampan makanan dan minuman hangat untuk Jaka. Aroma ayam bakar pun menguar dan membuat perutnya seketika berbunyi.
"Silahkan dinikmati hidangannya, setelah itu Tuan beristirahatlah," ungkap sang penjaga.
"Di mana, Gia?"
"Besok pagi kalian akan bertemu," ungkap sang penjaga dan dia pun berbalik kemudian melangkah menjauh.
Jaka hanya bisa menurut, menghabiskan hidangan yang berada di hadapannya lalu segera tertidur meskipun di dalam hatinya dia sangat tak sabar untuk berjumpa dengan Gia.
"Gia besok kita akan bertemu," gumam Jaka dan ia pun mulai terlelap.
***
Sinar matahari pagi menyelinap di balik celah jendela kamar Jaka. Perlahan dia membuka jendela dan seketika terpana menatap keindahan alam di hadapannya. Jaka menghirup dalam-dalam udara pagi itu, dia merasa jika udara di kerajaan Majaya terasa sangat bersih dan juga segar berbeda dengan udara di tempatnya yang telah tercampur dengan banyaknya polusi udara.
"Andai saja kamu ada di sini, Seruni," gumam Jaka.
Meskipun kini dia telah memiliki istri baru tetap saja nama Seruni masih terpatri kuat di dalam hatinya. Mengingat Seruni ia pun seketika teringat akan ucapan sang Maha Raja semalam.
"Ah iya, aku harus menanyakan tentang kebenaran ucapannya semalam," kata Jaka, dia pun berbalik dan berjalan menuju pintu kamar.
Baru saja dia akan membuka pintu, seseorang telah lebih dahulu membukanya dari arah luar. Seorang pemuda tampan dengan tubuh yang tegap berdiri di hadapannya dan memberikan penghormatan kepada Jaka.
"Tuan, saya diperintahkan oleh sang Maha Raja untuk menjemput Tuan," ungkap Elang dengan kepala yang masih tertunduk.
"Kenapa kamu menunduk, angkat wajah kamu berlakulah biasa kepadaku," ucap Jaka yang merasa aneh diperlakukan seperti itu oleh seorang pemuda.
Elang hanya tersenyum mendengar ucapan Jaka, selintas ia teringat bagaimana reaksi Gia ketika ia melakukan penghormatan yang sama kepada gadis itu, mereka ternyata sangat mirip, batin Jaka.
"Maaf, Tuan tapi ini perintah untuk saya bersikap hormat kepada Tuan."
"Baiklah jika begitu, lalu apa aku bisa bertemu dengan, Gia sekarang?"
"Mari Tuan lewat sini," ungkap Elang seraya membuka jalan untuk Jaka.
Mereka pun berjalan melewati taman-taman bunga yang sangat cantik, aroma mawar merah yang tengah merekah pun tercium sangat menenangkan jiwa. Lagi-lagi Jaka teringat Seruni jika istrinya itu sangat menyukai bunga mawar.
"Andai kamu di sini, pasti kamu akan sangat bahagia," gumam Jaka seraya terus melangkah.
Sesampainya di halaman istana mereka berhenti sejenak, detak jantung Jaka semakin tak karuan. Dia sangat tak sabar untuk segera berjumpa dengan sang anak. Setelah di ijinkan untuk masuk, Jaka melangkah dengan sangat cepat masuk ke dalam istana. Semua pandangan pun tertuju pada sosok Jaka, termasuk Gia yang menatap dengan tatapan tak percaya.
"Ayah!" teriak Gia seraya berlari lalu memeluk tubuh Jaka.
Air mata bahagia pun mengalir di pipi keduanya, Jaka mendekap hangat tubuh Gia pun sebaliknya.
"Gia, apa ini serius kamu? Kamu sehat kan apa ada yang luka?"
"Iya Ayah ini aku, Gia anak Ayah, aku bahagia banget bisa ketemu sama lagi."
"Ayah juga bahagia sekali, bersyukur kamu masih hidup Gia," ungkap Jaka, dia menatap lekat-lekat wajah sang putri lalu kembali mendekap erat tubuh Gia.
Sang Maha Raja yang terduduk di singgasananya pun tersenyum bahagia menatap anak dan ayah yang kini telah kembali bersama.
KAMU SEDANG MEMBACA
Hiji Wanci
FantasyTragedi yang menimpa seorang gadis 17 tahun membawanya kembali ke masa lalu dan dia harus berjuang mengalahkan kekuatan jahat agar dirinya bisa kembali ke masa sekarang.