Kenyataan Pahit

6 3 0
                                    


Hiji Wanci Part 13

Gia mengembuskan napas kasar, dia pun mencebikkan bibir karena kesal.

"Aku haus kok malah disuruh ambil kelapa sendiri sih? Aku kan gak bisa naik pohon."

"Kamu sekarang memiliki kekuatan yang luar biasa loh, jangankan cuman ngambil satu kelapa kamu bahkan bisa merobohkan pohon kelapa itu," kata Emak Inah seraya tersenyum.

Gia bergeming untuk beberapa saat, dahinya berkerut seraya menatap pohon kelapa yang menjulang tinggi itu.

"Lalu bagaimana caraku untuk menggunakan kekuatan ini?"

Emak Inah mendekat dan dia menyentuh lembut bahu Gia. "Rasakan kekuatan yang berada di sekitarmu, pusatkan fokusmu pada kedua telapak tangan lalu sentuh pohon kelapa itu."

Gia menghela napas dalam, lalu mengembuskannya perlahan. Gia memejamkan mata merasakan kekuatan yang mengalir di dalam tubuhnya, perlahan menjalar pada kedua telapak gadis itu. Dengan sekali hentakan Gia mendorong pohon kelapa yang menjulang itu hingga roboh.

Gia bersorak kegirangan, seperti anak kecil gadis itu berjalan menuju buah kelapa yang berserakan, memungutnya kemudian meminta Elang untuk membuka beberapa buah.

"Ah, kelapa muda memang yang terbaik," kata Gia setelah menenggak air kelapa.

***

Hari terus berganti, Emak Inah terus menggembleng Gia untuk semakin kuat dan siap melawan kekuatan kegelapan yang akan bangkit dalam waktu yang tak lama lagi. Begitupun dengan Elang, dia terus berlatih lebih keras dari Gia, kerena dia sadar jika tanggung jawabnya tidaklah mudah, jika dia lemah maka nyawa Gia yang akan menjadi taruhannya dan semua waktu di dunia akan dikuasai penuh oleh sang kegelapan dan pemakan waktu.

Ketika Emak Inah dan Gia terlelap, Elang masih berlatih di pantai. Berlatih ditemani cahaya rembulan memang menjadi kesukaan Elang, pemuda itu pun bisa merasakan kekuatan rembulan yang terserap perlahan ke dalam tubuhnya.

"Hei, kenapa kamu tidak istirahat?"

Elang menolehkan kepala ke arah suara, dia tersenyum kala menatap Gia berada di sana. Elang berjalan menghampirinya.

"Aku hanya tak ingin menyia-nyiakan waktu untuk tidur, sedangkan aku belum cukup kuat untuk melindungi kamu," ungkap Elang seraya menatap wajah Gia.

Cahaya rembulan yang menerpa wajah Gia membuat gadis itu semakin cantik di mata Elang. Jantung pemuda itu pun berdebar, merasakan perasaan aneh mulai menjalar di hatinya, Elang pun membuang muka dan mengalihkan pandangan menuju lautan lepas.

"Aku gugup," ucap Gia tiba-tiba.

"Aku takut gak bisa ngalahin kekuatan gelap itu, aku takut bikin kalian kecewa," ucap Gia dengan suara yang parau.

Elang kembali menatap Gia, kini gadis itu menangis. Dia terduduk seraya memeluk lutut. Hati Elang terenyum menatap Gia, Elang tahu apa yang kini tengah Gia rasakan. Dia pun pernah merasakan perasaan itu ketika pertama kali dia tiba di tanah Majaya.

Elang mendekat dan duduk tepat di samping Gia.

"Kalau mau nangis, nangis aja. Nih aku kasih pundak buat kamu bersandar."

Gia menoleh dan dia pun menghambur ke pelukan Elang. Dia menangis sesegukan di dada bidang sang pemuda. Elang terkesiap untuk beberapa saat, setelah itu dia menepuk-nepuk punggung Gia, mencoba menghibur dan memberikan kekuatan untuk sang gadis.

Menerima takdir memang berat, terlebih takdir untuk menyelamatkan dunia dan waktu di seluruh dimensi. Untuk seorang gadis 17 tahun hal itu tentu sangat berat.

"Sabar, kita gak bisa menolak takdir Gia," ucap Elang setelah tangisan Gia mereda.

Gia kembali menegakkan tubuhnya, air mata tampak membasahi pipinya yang lembut dan putih se putih kapas.

"Tapi aku bener-bener takut, Elang. Aku takut mati di dunia ini dan aku gak bisa ketemu sama Ayah juga Raka."

Elang menghapus air mata Gia. "Makanya kamu gak boleh mati, jadi kalian masih bisa bertemu lagi."

Gia bergeming untuk beberapa saat, dan pandangan mata mereka pun bersirobok. Sesuatu yang hangat seketika menjalar di hati kedua anak muda itu. Elang mendekatkan wajahnya ke wajah Gia, tetapi ketika jarak diantara mereka semakin rapat Gia langsung memalingkan wajah. Dia berdiri membersihkan pasir yang menempel di pakaiannya lalu berlari pergi meninggalkan Elang.

"Raka, maafkan aku," gumam Gia sembari berlari dan mencoba mengusir rasa aneh yang ada di dalam hatinya.

***

Matahari baru saja menampakkan sinarnya, begitu hangat memeluk jiwa yang kesepian. Gia kini telah berada di tepi jurang merasakan embusan angin laut dan hangatnya mentari pagi. Kain hijau yang terikat di pinggangnya dibiarkan untuk meliuk-liuk diterpa angin.

Emak Inah dan Elang berjalan menghampiri, ada perasaan sedih di hati keduanya ketika menatap Gia yang terus bersedih karena menahan rindu.

"Gia, apa kamu ingin menemui mereka?" tanya Emak Inah lembut.

Gia menolehkan kepala, dahinya berkerut. "Mereka siapa?"

"Ayah dan juga kekasihmu," ucap Emak Inah seraya mengelus rambut Gia.

Matanya berbinar mendengar ucapan Emak Inah.

"Benarkah? Apakah bisa?"

"Tentu saja, kemarilah kita akan berkunjung ke sana, tapi ada satu hal yang harus kamu ketahui sebelum kita pergi ke sana."

"Apa itu?" tanya Gia antusias.

"Mereka tidak bisa melihatmu."

"Jadi kita akan seperti roh?"

Emak Inah menganggukan kepala, untuk sesaat Gia terdiam seakan memikirkan sesuatu.

"Baiklah, tidak masalah yang penting aku bisa bertemu dengan mereka, ayo cepat kita pergi sekarang juga," ungkap Gia dengan wajah yang riang gembira.

Mereka bertiga pun berjalan menuju gua yang terletak di tebing. Mereka bertiga duduk melingkar seraya berpegangan satu sama lain. Emak Inah mulai merapalkan mantra, sejurus kemudian roh mereka terlepas dari raganya lalu menghilang kemudian kembali tampak di pinggiran sungai Citarum.

"Apa kita sudah sampai?" tanya Gia kepada Emak Inah.

Emak Inah menganggukan kepala. "Yah kita sudah sampai di duniamu, ayo kita temui Ayahmu," kata Emak Inah, dan mereka pun kembali menghilang.

Gia mengedarkan pandangan ketika dia sampai di halaman rumahnya. Perlahan Gia berjalan masuk ke dalam rumah. Namun, dia terbelalak ketika menatap ada wanita lain di rumah itu sedang memeluk tubuh Jaka dari arah belakang.

"Siapa dia?" gumam Gia penuh tanda tanya.

Gia semakin mendekat ke arah mereka. Hati gadis itu seraya tercabik ketika menatap sebuah foto pernikahan terpampang di tembok rumahnya.

"Gak mungkin, Ayah menikah lagi?" Gia menggeleng-gelengkan kepala, air matanya mulai menetes.

"Cieh, pengantin baru romantis banget sih. Mah, Papah aku pamit yah."

Gia menolehkan kepala. "Gak mungkin, ini gak mungkin!" teriak Gia, wajahnya merah padam melihat sosok gadis yang berjalan menghampiri Jaka dan wanita itu.

"Iyah, hati-hati yah di jalannya," ungkap Jaka seraya mengecup kening sang gadis.

"Ayah, kenapa kamu cium dia, dia itu yang udah celakain aku!" pekik Gia dan hampir menyerang gadis itu dengan kekuatannya.

Beruntung Elang sigap menghalau serangan Gia. "Hei, tenangkan dirimu."

"Wike pergi yah," ucap sang gadis seraya melenggang dengan sangat ceria.

"Cih, gadis jahat!" ungkap Gia seraya menangis memeluk tubuh Elang.

Hiji WanciTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang