Perlahan Emak Inah mengurai pelukan, dia menatap wajah cantik Gia.
“Sekarang kamu hanya tinggal mengumpulkan empat anugerah lagi,” ungkap Emak Inah yang kini kembali pada wujud tuanya.
“Hei, kenapa berubah menjadi tua kembali? Lalu sekarang, aku harus menyebutmu dengan sebutan apa?”
Emak Inah tersenyum, dia pun kembali mengajak Gia untuk masuk ke dalam gua.
“Panggil aku, Emak Inah saja. Belum waktunya untuk membongkar rahasiaku.”
“Heumm apa, Elang tahu rahasiamu?”
Emak Inah menganggukan kepala seraya tersenyum, dia berjalan menuju sebuah tumpukan kayu bakar kemudian membuat api unggun.
“Lalu di mana dia sekarang? Apakah kamu yakin dia tidak mati?”
“Dia sedang mencari ayam hutan, sebentar lagi dia akan kembali,” ungkap Emak Inah, kini dia berjalan mengambil ubi jalar lalu menyerahkannya kepada Gia.
“Makan ini dulu,” ucapnya penuh perhatian.
Gina menatap ubi jalar yang disimpan di atas daun pisang. “Aku rindu makan nasi,” ucap Gia, seraya memasukan ubi jalar ke dalam mulutnya.
Tak lama berselang, seekor macan putih datang menghampiri mereka. Beberapa saat kemudian, macan itu kembali pada wujud aslinya.
Elang menyerahkan dua ekor ayam hutan kepada Emak Inah yang telah bersih dan siap untuk dibakar.
“Heumm, Elang. Kamu baik-baik aja kan? Maaf yah aku gak sengaja tampar kamu,” ungkap Gia, seraya tertunduk dan memainkan kuku-kuku jarinya.
Pemuda itu tersenyum melihat ekspresi bersalah Gia, Elang berjalan menghampiri lalu memosisikan diri memberi hormat kepada Gia.
“Hamba baik-baik saja tuan Putri,” ungkap Elang.
Mata Gia membeliak mendengar ucapan Elang, dia pun memaksa pemuda itu untuk berdiri lalu memakinya.
“Aku mohon jangan berbicara seperti itu!” pekik Gia.
“Tapi kan anda tu–”
“Sudah, Elang turuti saja keinginannya.” Emak Inah memotong ucapan Elang.
Elang pun akhirnya menurut, dan sejak saat itu dia kembali berbicara biasa seperti hari di mana Elang belum mengetahui jika Gia adalah seorang putri.
Aroma ayam bakar menyeruak memenuhi gua. Perut Gia terus meronta, Sedari tadi menghidu aroma yang sangat menggugah selera itu.
“Hei, sudah matang belum? aku lapar nih,” ungkap Gia seraya terus memegangi perutnya.
Elang tertawa melihat tingkah Gia yang seperti anak kecil itu.
“Bukannya kamu tadi udah makan yah?” tanya Elang, mencoba menggoda Gia.
Gia hanya mencebikkan bibir, di dalam hatinya dia terus menggerutu.
“Ok, nih aku kasih kamu satu ayam utuh,” ucap Elang, dia pun menyimpan ayam bakar itu di atas daun pisang.
“Loh kenapa? Katanya laper?” tanya Elang ketika ia melihat Gia hanya bergeming.
Lagi-lagi Elang tertawa, kali ini dia terbahak sangat kencang.
“Hei! Kamu mau aku kutuk jadi kodok hah!” teriak Gia, dia pun mencubit lengan kekar Elang.
“Maaf-maaf, habisnya kamu lapar tapi so gengsi. Udah makan aja semua,” kata Elang, dia pun kembali menyodorkan satu ayam lagi ke hadapan Gia.
Gia masih saja bergeming, kemudian ia terbelalak.
“Kamu baca pikiran aku hah!” teriak Gia, seraya menunjukkan pemuda itu.
“Maaf gak sengaja,” jawab Elang seraya menggaruk kepalanya yang tak gatal.
Gia tertegun, dia tak menyangka jika Elang bisa membaca pikiran lawan bicaranya.
“Aku gak suka!” pekik Gia, dia pun berjalan meninggalkan gua.
“Hei, ini ayamnya!” teriak Elang, dan dia berlari menghampiri Gia, lalu menyerahkan ayam itu.
“Maaf yah, janji deh gak akan kaya gituh lagi,” kata Elang dia pun tersenyum.
Senyuman yang begitu manis, lesung pipi menambah kesan manis di wajah pemuda itu.
“Jangan diulangi, privasi tahu pikiran aku tuh,” ungkap Gia, dia pun meraih ayam bakar itu lalu memakannya dengan lahap.
Menikmati ayam di pinggir sungai seperti itu merupakan pengalaman pertama bagi Gia.
“Ayamnya enak banget,” gumam Gia.
Untuk sesaat dia menatap ayam bakar itu, lagi-lagi rasa rindu kepada sang ayah menyeruak di dalam dadanya.
“Kita harus segera mengalahkan kekuatan hitam itu, jika ingin segera kembali ke masa depan,” ucap Elang.
Gia hanya menoleh sesaat kemudian pandangannya berfokus pada air sungai yang mengalir sangat jernih itu.
“Apa kamu tahu aku harus melakukan apalagi untuk mendapatkan empat anugerah itu?”
Elang menggelengkan kepala, dia pun tidak tahu tahapan seperti apalagi yang harus dilakukan Gia untuk mendapatkan sisa anugerah itu.
Untuk sesaat suasana terasa hening, hingga Emak Inah kembali muncul di hadapan kedua anak muda itu.
“Masuklah ke dalam, aura jahat mulai terasa di sini,” kata Emak Inah.
Gia langsung berlari lebih dahulu memasuki gua, sedangkan Elang dan Emak Inah keduanya memasang jimat pelindung di depan mulut gua, lalu membakar kemenyan untuk menyamarkan aroma tubuh Gia.
Malam semakin kelam, Aura jahat semakin terasa. Emak Inah yang sedang merebahkan tubuh tiba-tiba terlonjak ketika mendengar seseorang menjerit dan meminta pertolongan dari arah pemukiman warga.
“Elang jaga, Gia aku akan pergi sebentar,” ungkap Emak Inah, dalam hitungan detik dia pun menghilang.
“Hah, dia bisa menghilang juga?” tanya Gia dengan ekpresi kagum.
“Dia sangat hebat, aku pun kagum kepadanya.”
***
Emak Inah tiba di sebuah rumah warga, yang kini tampak gelap gulita. Aroma hanyir darah pun menusuk indra penciumannya.
Wanita itu menajamkan telinga, ketika terdengar derak ranting yang terinjak dia langsung berbalik dan menghunuskan keris miliknya.
“Ampun, hamba manusia biasa!” pekik orang itu.
“Kemana warga yang lain?” tanya Emak Inah.
“Mereka diculik, Ahool.”
Rahang Emak Inah mengeras, di tatapnya rumah penduduk satu persatu tak ada manusia lain yang tersisa kecuali wanita yang berada di hadapannya.
Emak Inah melangkah mendekati sebuah gubuk. “Di mana jimat yang biasa di tempel di pintu-pintu rumah kalian?”
“Siang tadi, datang segerombol orang-orang yang mengaku dari kerajaan dan meminta kami untuk melepaskan jimat itu dengan alasan para makhluk kegelapan telah hilang dari tanah Majaya,” ungkap sang wanita dengan kepala tertunduk.
“Kurang ajar!” sungut Emak Inah.
“Sekarang kamu ikut denganku, kita pergi ke dusun sebelah dan kamu bisa berlindung di sana,” ungkap Emak Inah.
Mereka pun berjalan bersisian menuju dusun sebelah yang letaknya tak begitu jauh dari dusun yang telah hancur.
Sepanjang perjalanan Emak Inah terus mengumpat ketika ia menemukan potongan-potongan tubuh manusia di sepanjang jalan setapak yang mereka lalui.
Sesampainya di dusun, Emak Inah langsung mengetuk salah satu rumah dan menitipkan wanita itu di sana. Kemudian dia pun memutuskan untuk pergi ke kerajaan.
Pintu gerbang kerajaan terbuka, Emak Inah langsung berjalan menuju tempat di mana sang Maha Raja biasa menerima tamu jika malam hari.
“Ampuni hamba karena telah mengganggu waktu istirahat anda,” ungkap Emak Inah seraya menyembah.
“Tidak apa-apa, katakan apa yang terjadi?”
“Malam ini, Ahool tengah berpesta, satu dusun telah mereka serang dan hanya menyisakan seorang wanita saja,” ungkap Emak Inah.
Rahang sang Maha Raja pun mengeras, mendengar kabar itu dia sangat murka. Malam itu juga sang Maha Raja segera memerintahkan para penjaga untuk menaburkan serbuk jimat di seluruh dusun dan seluruh kerajaan.kalau ada typo maaf yah, terima kasih sudah mampir.
KAMU SEDANG MEMBACA
Hiji Wanci
FantasyTragedi yang menimpa seorang gadis 17 tahun membawanya kembali ke masa lalu dan dia harus berjuang mengalahkan kekuatan jahat agar dirinya bisa kembali ke masa sekarang.