Rahasia yang Terungkap

10 10 11
                                    

Raka masih bergeming, sedetik pun dia tak melepaskan pandangan matanya dari foto Gia. Senyuman manis itu terus terbayang di benaknya. Raka rindu, dengan gadis itu. Baru dua bulan mereka menjalin asmara tetapi takdir terlalu cepat memisahkan keduanya.

“Raka, masih di sini ternyata?” tanya Jaka seraya berjalan keluar, menghampiri Raka.

Raka menoleh sejenak ia tersenyum ke arah Jaka.

“Iya Om, malam ini aku boleh ya nginep di sini?”

Jaka merangkul bahu pemuda itu. “Iya boleh, besok pagi-pagi kita ke sungai lagi ya buat tabur bunga.”

Raka menganggukan kepala. Sekilas ia menghapus air mata yang tak sengaja menetes di ujung matanya. Sekuat apapun dia mencoba untuk tabah tetap saja hati tak dapat dibohongi. Kehilangan Gia seakan merenggut sebagian hati dan jiwanya ikut terseret ke dalam arus sungai.

Sepenggalah matahari naik. Namun, orang-orang yang mengenal Gia telah berkumpul di tepian sungai sembari membawa bunga di tangan mereka.

Suasana terasa sangat sedih, ketika Jaka menyampaikan beberapa kata terakhir dan memimpin do’a untuk melepaskan kepergian Gia. Isakan pun terdengar dari semua orang yang hadir di tempat itu.

“Selamat jalan anakku,” ucap Jaka lirih dia pun menaburkan bunga ke atas aliran sungai yang tampak lebih tenang pagi itu.

Setelah Jaka menaburkan bunga, di susul oleh Raka kemudian teman-teman dan gurunya di sekolah. Mereka semua menangis, mereka semua merasa begitu kehilangan sosok Gia yang selalu menghibur dan membuat suasana terasa lebih berwarna.

Kelopak-kelopak bunga itu pun perlahan terbawa arus, masuk ke dalam gua Sanghyang Tikoro lalu lenyap di balik gua yang gelap. Satu persatu mereka meninggalkan sungai, meninggalkan sebuah kenangan yang memilukan.

“Selamat tinggal sayang,” gumam Raka, ia pun berbalik meninggalkan tempat itu.

“Raka, aku belum mati,” gumam Gia, ketika ia melihat sosok Raka dari pantulan air sungai.

Pagi itu Gia dan Emak Inah kembali ke tepian sungai. Gia terus merengek memohon kepada Emak Inahpp untuk menunjukkan wajah sang Ayah seperti kemarin. Namun, setelah Emak Inah menunjukkannya Gia langsung menangis tersedu-tersedu.

“Mereka tentu saja mengira kamu telah mati,” ungkap seseorang dari arah semak belukar.

Gia menolehkan kepala, menatap dengan tajam ke arah Elang yang berbicara tanpa memikirkan perasaannya.

“Hei kenapa? Kok belotot? Aku bener kan?” ungkapnya lagi seraya terus berjalan menghampiri Gia dan Emak Inah.

Gia mendengus, kemudian kembali fokus menatap wajah Jaka dari pantulan air sungai.

“Hei lihat, dia gadis yang mendorong kamu!” ujar Elang ketika ia menatap wajah Wike yang berdiri tak jauh dari Raka.

Rahang Gia mengeras, ia pun mengepalkan tangannya kuat. “Dasar jahat!” pekik Gia, amarahnya tersulut.

“Sudah sabar, kamu bisa balas dendam ke dia kok,” ungkap Elang seraya menepuk-nepuk bahu Gia.

“Gak usah rangkul-rangkul!” pekik Gia merasa tak nyaman dengan sikap Elang.

“Heheh ... maaf-maaf iya deh, nih aku lepasin,” ucap Elang seraya melepaskan tangannya dari bahu Gia.

Gadis itu mendengus seraya berlari menuju gubuk, Emak Inah hanya tersenyum melihat kelakuan dua anak muda yang berada di hadapannya.

“Kenapa Mak, senyum-senyum?”

“Gak apa-apa, ya sudah ayo kita kembali ada yang ingin aku bicarakan kepada kalian,” kata Emak Inah, dia pun berjalan mendahului Elang.

Kini Gia dan Elang duduk bersisian di atas sebuah bangku yang terbuat dari bambu, keduanya fokus menatap Emak Inah yang duduk di hadapan mereka.

“Aku senang karena mimpi itu ternyata benar, sepasang anak manusia hadir di tempat ini dengan perantara air sungai.”

“Tunggu Mak, tapi kenapa harus aku? Kenapa gak gadis lain aja?” tanya Gia penasaran.

“Kamu adalah yang terpilih, kamu adalah keturunan dari Sang Maha Raja.”

Gia membeliak mendengar ucapan Emak Inah, setelah itu ia tertawa terbahak-bahak.

“Jangan bercanda Mak, keturunan Maha Raja? Ayahku cuman manusia biasa loh begitu juga dengan Ibu.”

“Tapi tato di tengkukmu menjadi penegas jika kamu adalah keturunan Sang Maha Raja,” kata Elang, pemuda itu menyela pembicaraan.

“Hah?” Gia terngaga.

“Kemarilah akan aku tunjukkan,” kata Elang seraya menarik gadis itu masuk ke dalam kamar lalu memperlihatkan tato itu lewat dua buah cermin kecil, satu cermin di hadapan Gia dan satu cermin di belakang tengkuk gadis itu.

Gia membeliak tak percaya dengan apa yang dilihatnya pada cermin itu.

“Hei! Apa-apaan ini, kenapa ada tato? Aku masih 17 tahun, aku masih sekolah ya ampun!” teriak Gia histeris, gadis itu pun berlari menghampiri Emak Inah yang sedang mengunyah sirih pinang.

“Tolong jelaskan kenapa ada tato ini?” teriak Gia, ia benar-benar syok.

Emak Inah tersenyum, menampilkan giginya yang kini telah berwarna merah. Dia pun mengulurkan sebuah pinang ke arah Gia, tetapi gadis itu menolak dengan halus.

“Duduklah, akanku ceritakan semuanya,” kata Emak Inah lembut.

“Maha Raja memiliki dua orang Istri. Seorang ratu dan seorang selir. Seiring berjalannya waktu, Ratu merasa cemburu kepada Selir sehingga dia pun meracuni sang selir hingga meninggal. Tak hanya itu dia menculik anak selir dan menghanyutkannya ke sungai lalu hilang tertelan Sanghyang Tikoro. Untuk beberapa saat kejahatan sang ratu dapat di tutupi. Tapi sepandai-pandainya tupai melompat ia pasti terjatuh juga, setelah 40 tahun berselang kejahatannya terkuak dengan perantara mimpi sang Maha Raja.”

Gia mendengarkan dengan saksama, begitupun dengan Elang, meski dia tiba lebih awal tetapi Emak Inah belum menceritakan apa-apa kepadanya.

“Maka di hari itu, dia menyeret sang Ratu untuk diadili. Maha Raja tak pandang bulu meski dia seorang Ratu tapi kejahatan harus mendapatkan hukuman, setelah didesak Ratu pun mengakui kesalahannya, dia mengaku telah membunuh selir dan membuang anaknya.” Emak Inah menghela napas sejenak.

“Maka sang Ratu pun di jatuhi hukuman pasung. tetapi ketika ia akan diadili muncul kekuatan hitam dan menyelamatkan Ratu, seminggu setelah kejadian itu kekuatan gelap mulai meneror kerajaan Majaya, setiap malam makhluk-makhluk kegelapan datang menyerang merenggut nyawa rakyat yang tak berdosa.”

“Apa Sang Ratu mencoba membalas dendam?” tanya Gia.

Emak Inah menganggukan kepala lalu melanjutkan cerita. “Lalu mimpi itu pun hadir kepadaku, mimpi yang menerangkan jika Sang Putri ternyata masih hidup, putri yang saat itu masih bayi masuk ke sebuah cahaya yang membawanya ke masa depan dan dia pun di temukan oleh manusia biasa, dia menikah. Untuk sesaat kami merasa bahagia Namun, ketika kami akan memanggil dan membawanya kemari dia meninggal.”

“Jadi putri itu masuk ke masa ku? Siapa dia?” tanya Gia semakin penasaran.

“Dia Seruni, Ibumu,” kata Emak Inah.

Tubuh Gia membeku, dia menganga tak percaya dengan apa yang didengarnya. Tak hanya Gia, Elang pun terperanjat mendengar pernyataan Emak Inah. Dia menatap wajah Gia, kemudian pemuda itu memberikan penghormatan.

“Putri, terima sembah dariku,” ungkap Elang seraya membungkukkan badan.


Hiji WanciTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang