Terbongkar

8 6 2
                                    

Mata Gia berkaca-kaca ketika ia menatap Elang memberikan penghormatan kepadanya.

“Sudahlah jangan seperti itu. Bangun, aku gak butuh penghormatan darimu ,” ungkap Gia ketus, seraya berjalan menjauh dari gubuk.

Elang mengikuti Gia dari arah belakang, meskipun berkali-kali gadis itu mengusirnya. Namun, dia tak mengacuhkan ucapan Gia dan terus mengikuti seraya menajamkan mata dan telinganya, bersiaga jika sewaktu-waktu ada serangan dari para puaka.

“Hei, aku bilang berhenti ngikutin aku!” pekik Gia.

“Kalau begitu ayo kita kembali ke gubuk, berjalan di hutan seperti ini tidak akan aman.”

“Kenapa? Kamu takut ada manusia setengah ular terus culik aku? Atau ada monyet jadi-jadian yang bakalan per–”

“Sssttt,” ucap Elang, memotong ucapan Gia. Dia pun menaruh telunjuk di bibirnya sebagai isyarat agar Gia tak berisik.

Namun, bukan Gia namanya jika tak berontak. Gadis itu menggigit tangan Elang kemudian berlari menjauh. Gia tertawa sangat bahagia ketika berhasil menjauh dari Elang.

Kini Gia berada seorang diri di tengah hutan, matanya sibuk mengamati sekitar. Untuk sesaat Gia begitu terpukau ketika memandang seekor merak putih yang sedang mengembangkan ekornya.

“Wah, indah sekali. Baru sekarang aku liat ada merak putih seperti ini.”

Fokus Gia tertuju pada burung merak itu, sehingga dia tak menyadari jika ada bahaya yang tengah mengintainya.

Sepasang mata merah dengan lidah yang menjulur panjang mengintai Gia dari arah semak belukar. Makhluk itu pun menyeringai ketika aroma wangi tercium dari tubuh Gia.

“Sang Putri telah datang, aku akan kekal jika memakan hatinya,” ungkap Makhluk itu seraya menyeringai.

Namun, baru saja hendak melangkah menghampiri Gia. Seekor macan putih menerkam makhluk itu dari arah belakang. Mendengar ada keributan Gia menolehkan kepala, dan gadis itu pun histeris ketika menatap dua makhluk saling menyerang.

“Macan putih berani-beraninya kamu menghalangi maksudku hah!” pekik makhluk berbulu hitam pekat yang kini berada dalam cengkraman harimau putih.

“Siapa pun yang berniat mencelakai Putri maka dia akan berhadapan denganku,” ungkap sang macan, dia mengaum. kemudian mencabik-cabik tubuh makhluk itu hingga tewas.

Tubuh Gia membeku, wajahnya pucat, keringat dingin pun membasahi wajah dan kedua telapak tangannya. Ketika macan putih itu menghampiri, Gia berusaha mundur, tetapi baru saja beberapa langkah punggungnya terantuk sebuah batu yang berukuran besar.

“Tolong, jangan bunuh aku,” ucap Gia seraya tersedu.

Macan putih itu berhenti melangkah tepat di hadapan Gia, kemudian berubah wujud menjadi sosok Elang. Mata Gia membeliak, beberapa kali dia mengucek kedua matanya untuk memastikan jika yang dilihatnya adalah nyata.

“Jika tidak ingin dibunuh, makanya nurut. Ayo kita pergi dari sini sebelum semakin banyak puaka yang datang,” ungkap Elang. Seraya menarik lengan Gia kemudian membawanya keluar dari hutan.

“Apa kamu salah satu dari mereka?” tanya Gia penasaran.

Namun, Elang tak menjawab pertanyaan Gia dan terus berlari. Tujuannya hanya satu membawa Gia keluar dari hutan secepat mungkin dan membawa gadis itu menuju sungai, hanya dengan cara itu  aroma wangi yang terus merebak dari tubuh Gia akan tersamarkan.

“Aw!” pekik Gia ketika ia terjerembab jatuh karena tersandung akar pohon yang mencuat.

“Kamu masih bisa berlari?” tanya Elang dengan raut wajah cemas.

Gia menggelengkan kepala seraya menangis.

“Ok, naik ke punggungku,” kata Elang, setelah itu dia kembali berubah menjadi macan putih lalu berlari sangat kencang.

Elang terus berlari, menyibak semak belukar kemudian menuruni tebing curam yang menjadi jalan pintas untuk segera sampai ke sungai.

Gia menjerit histeris ketika Elang membawanya terjun bebas dari tebing itu.

“Elang, berhenti apa yang kamu lakukan? Berhenti aku mohon berhenti!” teriak Gia, saat dia menyadari jika Elang sedang membawanya ke tengah sungai.

“Tenang ada aku di sini,” ucapnya, lalu menyeburkan diri ke sungai dan mengikuti arus itu masuk ke dalam gua Sanghyang Tikoro.

Gia memejamkan mata, ia pun memeluk leher macam putih jelmaan Elang dengan sangat erat.

“Sudah, kamu selamat sekarang,” ungkap Elang, katika mereka sampai di sebuah tepian sungai.

Perlahan Gia membuka kedua matanya.

“Hei, kenapa di sini gelap sekali? Apa aku sudah mati?”

“Kamu belum mati, Gia,” ucap seseorang dari arah gua.

Gia berusaha melihat siapa yang berbicara itu. Namun, karena minimnya cahaya Gia sulit mengenali siapa yang sedang berbicara.

Seakan mengerti dengan kesusahan Gia, seseorang yang berada dekat gua pun menyulut sebuah obor dan mengarahkannya kepada Gia.

“Emak Inah?” ucap Gia, dengan langkah yang tertatih dia menghampiri wanita itu.

“Terima kasih, Elang kamu berhasil menyelamatkan, Gia,” ungkap Emak Inah.

Perlahan Elang kembali berubah ke wujud aslinya, lalu berjalan menghampiri Emak Inah dan Gia.

“Di mana aku sekarang?” kata Gia penasaran.

“Mulai saat ini, kamu akan tinggal di dalam gua hingga kekuatanmu terbentuk sempurna,” ucap Emak Inah menjelaskan.

“Hah? Maksudnya?”

“Para puaka telah mengetahui keberadaan kamu, jika terus berada di permukaan maka hidupmu tidak akan selamat,” kata Elang, seraya menyulut obor-obor dan meletakkannya pada dinding gua.

“Terus sekarang aku di mana?” kata Gia  mengulang pertanyaan.

“Di dalam Sanghyang Tikoro, dan untuk beberapa bulan ke depan kamu akan terus berada di sini,”ucap Emak Inah.

“Ah ini gila! Lagi pula siapa sih yang udah bocorin keberadaan aku?” tanya Gia geram.

“Aroma wangi yang keluar dari tubuhmu lah yang memanggil mereka.”

“Hah wangi? Kalian lucu bang becandanya, aku sama sekali belum mandi mana mungkin bisa wangi?”

“Heumm aromamu memang sangat enak untuk dijadikan cemilan malam,” ungkap Elang yang entah sejak kapan berdiri di belakang Gia, mengendus aroma wangi tubuh gadis itu.

“Hei, mesum!” teriak Gia, dia pun menampar pipi Elang.

Dalam sekali tamparan tubuh Elang limbung, dia pun langsung tak sadarkan diri. Gia beralih menatap Emak Inah.

“Mak, dia gak akan mati kan?” tanya Gia seraya mengalihkan pandangan menatap Elang.

“Dia hanya kehilangan kesadaran, kemarilah,” ucap Emak Inah seraya mengarahkan Gia untuk terus berjalan masuk ke dalam gua.

Sesekali Gia menolehkan kepala menatap Elang yang masih terkapar, kemudian dia menatap telapak tangannya sendiri.

“Kekuatan kamu yang sebenarnya malah akan sanggup membunuh Elang,” ucap Emak Inah.

Gia mengerutkan kening seraya menatap heran ke arah Emak Inah yang seakan bisa membaca pikirannya.

“Duduklah, mulai hari ini kita akan berlatih di sini,” kata Emak Inah, wanita tua itu berjalan lebih dahulu kemudian duduk di atas sebuah batu besar.

Meski ragu, Gia tetap menuruti perintah Emak Inah. Berjalan ke arah batu kemudian duduk di samping Emak Inah.

“Pejamkan mata kamu, dan pusatkan pikiran, serap semua energi dari alam ini,” ucap Emak Inah, memberikan arahan kepada Gia.

Gadis itu pun menuruti perintah Emak Inah, dia memejamkan mata kemudian mencoba untuk memusatkan pikiran. Namun, berkali-kali dia mencoba Gia tetap tak bisa fokus. Setiap kali dia memejamkan mata, wajah sang ayah dan Raka bergantian mengusik pikirannya.

Merak putihnya emang cantik banget ini.

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
Hiji WanciTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang