Mengasah Kemampuan

5 3 2
                                    


Semburat warna jingga terlukis begitu indah di cakrawala. Angin berembus lembut menerbangkan rambut Gia yang dibiarkan terurai dengan indah. Pandangannya terus menatap lautan lepas yang berada tepat di hadapan Gia.

"Mulai sekarang kita akan berlatih di sini," ucap Emak Inah yang kini telah berubah menjadi sosok cantik dan penuh dengan pesona.

"Hei, apa kamu gak apa-apa berubah menjadi wujud aslimu?" tanya Gia dengan raut wajah cemas.

"Tenang kita bertiga di sini akan baik-baik saja, tempat ini berada di dimensi lain dan kekuatan jahat tidak akan mampu mengejar kita sampai ke sini."

"Bertiga sama siapa? Bukannya tadi kita kesini cuman berdua yah?" tanya Gia heran.

"Bertiga denganku," ungkap sseseorang dari arah belakang Emak Inah.

Pemuda itu berjalan dengan gagah dan bertelanjang dada menampilkan bentuk tubuhnya yang kekar dan berisi. Tubuh Gia bergeming, matanya tak berkedip menatap sosok Elang. Namun, Gia segera mengerjapkan mata dan mengingat sosok Raka.

"A-aku kira kamu gak akan bergabung lagi," ucap Gia dengan mencebikan bibir.

"Aku kan memang pengawal kamu, Gia mana mungkin ninggalin kamu hanya berdua dengan wanita tua yang cantik ini," ucap Elang seraya melirik ke arah Emak Inah.

Wanita itu hanya terkekeh mendengar ucapan Elang. Dia pun masih ingat bagaimana ekspresi Elang yang melihat wujud asli Emak Inah, pemuda itu terus menatapnya tanpa berkedip.

"Baiklah sebelum gelap, sekarang kita akan mendirikan sebuah pondok tempat kita beristirahat malam ini dan Elang seperti biasa tugasmu adalah mencari makanan untuk kita, heumm makan ikan laut bakar sepertinya enak. Iya kan, Gia?"

"Hah, eumm ... I-iya boleh-boleh wah kesukaan aku banget itu," kata Gia seraya tersenyum.

"Ok, Putri Gia yang terhormat. Hamba akan mengabulkan keinginan Anda," ungkap Elang seraya membungkuk dan memberi penghormatan.

Gia mencebik melihat tingkah Elang, hampir saja gadis itu memukulnya. Namun, Elang langsung berlari sebelum tangan Gia mendarat sempurna di kepala pemuda itu.

Elang berlari dengan sangat kencang dan dengan sekejap mata dirinya telah sampai di dekat sebuah tebing yang dekat dengan lautan. Gelombang air laut senja itu tampak sangat mengerikan, jika manusia biasa yang berada di sana bisa saja langsung terjatuh dan terhempas ke dalam gelombang laut yang ganas.

"Makanan datang!" teriak Elang seraya menenteng banyak sekali ikan hasil tangkapannya.

Mata Gia berbinar melihat ikan-ikan segar hasil tangkapan Elang, perutnya seketika keroncongan membayangkan nikmatnya ikan bakar yang akan dia santap.

"Ya udah sini buruan bawa ikannya lama amat, laper nih," kata Gia tak sabaran.

"Tunggu sebentar ya Putri, ikan ini perlu di masak dahulu kecuali jika Putri akan memakannya mentah-mentah," kata Elang, menyindir Gia.

"Ish, makin lama kamu ngeselin juga yah, buruan dong ah lama," ungkap Gia, dia pun melipat kedua tangannya di depan dada.

Emak Inah yang berada tak jauh dari kedua anak muda itu hanya tersenyum melihat tingkah mereka yang terus saja ribut dan susah akur.

Aroma ikan bakar pun menguar, perut Gia semakin keroncongan, beberapa kali Elang terkekeh melihat reaksi tak sabarannya Gia.

"Nih, makan nih," ungkap Elang dan dia menyerahkan ikan bakar yang berukuran paling besar kepada Gia.

"Hore, makasih," sorak Gia, gadis itu sangat menikmati santap malamnya kali ini.

"Sumpah ya, masakan kamu selalu enak. Waktu di gua ayam bakarnya nikmat banget sekarang ikan bakarnya yang nikmat," cerocos Gia seraya terus mengunyah daging ikan.

Elang bergeming, mendengar ucapan Gia mengingatkan dirinya dengan ucapan seseorang di masanya.

"Gia?" tanya Elang tiba-tiba.

Gia langsung menoleh ke arah Elang. "Heum?"

"Jika kekuatan jahat itu hilang dari tanah kerajaan Majaya apa kamu ingin kembali ke masa kita?"

Gia terdiam untuk sesaat, dan ia pun menganggukan kepala. "Aku ingin kembali ke sana dan bertemu dengan Ayah juga Raka, aku juga ingin membalas kejahatan, Wike."

Mata Gia memerah ketika ia menyebutkan nama Wike. Ada rasa kecewa dan kesedihan mendalam di hatinya tiap kali dia mengingat Wike.

"Apa kalian sahabat lama?"

Gia kembali menganggukan kepala.

"Sahabat zaman sekarang jarang ada yang tulus jadi berhati-hatilah dalam memilih sahabat."

Gia terdiam, gadis itu seakan mencerna ucapan dari Elang.

"Sudahlah jangan terlalu dipikirkan, sekarang cepat habiskan makananmu kemudian tidurlah besok akan menjadi hari yang sangat melelahkan."

Tanpa membantah sedikit pun Gia langsung menuruti ucapan Elang, setelah menghabiskan ikan Gia langsung tertidur di dalam gubuk, meskipun alas tidurnya hanya terbuat dari anyaman ilalang. Namun, Gia cukup nyaman dan nyenyak.

Sekilas Elang menatap Gia. "Aku juga merasa betapa terlukanya dikhianati seorang sahabat," gumam Elang dengan tatapan yang sendu.

***

Hari pertama latihan pun dimulai, meskipun diawali dengan drama karena Gia susah sekali dibangunkan dan harus diguyur dahulu sampai akhirnya gadis itu terbangun.

Wajah Gia masih cemberut ketika mereka telah berada di pantai. Emak Inah yang sedari tadi berbicara pun seakan angin lalu bagi Gia.

"Gia sudah siap?" tanya Emak Inah.

Gia menganggukan kepala dengan malas, sesekali dia pun menguap. Emak Inah menggelengkan kepala menatap kelakuan gadis itu.

"Ok sekarang ayo lakukan," kata Emak Inah memberikan perintah.

"Hah, lakukan apa?"

Emak Inah berdecak beberapa kali. "Lari dari ujung pantai sini, sampai ke ujung pantai sana."

Gia membeliak mendengar perintah Emak Inah. Namun, bukannya menurut gadis itu malah duduk bersila kaki.

"Hei kenapa diam?" kata Elangia, pemuda itu pun berjongkok seraya menatap wajah Gia yang masih saja cemberut.

"Ya kali aku harus lari pakai kain kaya gini, Emak Inah bisa gak sih ijinin aku pake cela--"

Belum selesai Gia berbicara, Emak Inah langsung mengubah kain yang membelit tubuh bagian bawah Gia menjadi celana hitam seperti yang dikenakan oleh Elang.

"Sekarang, mulai dan jangan banyak alasan lagi," ucap Emak Inah seraya tersenyum.

Gia menggaruk kepalanya yang tak gatal, setelah itu mereka pun mulai berlari. Baru setengah perjalanan napas Gia mulai terasa berat, berkali-kali Gia berhenti dan terjatuh. Namun, hal itu tak membuat Emak Inah ataupun Elang menjadi kasihan kepadanya.

"Woi kalian kenapa nyiksa aku kaya gini!" teriak Gia dengan napas yang terengah-engah.

Kini Gia tak lagi berlari melainkan merangkak layaknya bayi, ketika dia sampai di ujung pantai tubuhnya pun seketika ambruk.

"Air ... air, tolong dong aku haus," kata Gia memelas.

Namun, tak ada jawaban dari Emak Inah dan juga Elang. Gia pun mendongkkan kepala menatap kearah mereka. Gia menelan salivanya ketika menatap Elang dan Emak Inah tengah menenggak air kelapa muda.

"Punyaku mana?" tanya Gia memelas.

"Tuh di sana," kata Emang Inah seraya menunjukkan jarinya ke arah pohon kelapa yang menjulang tinggi.

Hiji WanciTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang