Hari Pertama di Kerajaan Majaya

2 2 0
                                    

Tubuh Gia membeku ketika mendapatkan sambutan hangat dari lelaki yang penuh karisma dan sangar berwibawa itu.

Sang Maha Raja, mengurai pelukan kemudian menatap wajah cantik Gia.

“Mata kamu sama seperti Rahayu,” ucap sang Maha Raja.

“Maaf tapi kamu siapa?” tanya Gia penuh tanda tanya.

“Dia adalah sang Maha Raja, Kakemu,” ucap Emak Inah seraya berjalan menghampiri Gia.

“Aku bangga kepadamu, sekarang kita kembali ke kerajaan,” ucap sang Maha Raja dan dia pun memberikan isyarat kepada beberapa pengawal.

Melihat isyarat itu para pengawal langsung mempersiapkan kuda untuk sang Maha Raja.

Di barisan paling depan berbaris pasukan yang membawa jimat, senjata, dan juga obor. Di barisan kedua para dukun membawa kemenyan yang tak hentinya membaca mantra untuk menghalau kekuatan jahat yang akan menyerang sang Maha Raja.

Di barisan ke tiga adalah sang Maha Raja dan juga Gia yang berada di punggung macan putih, sedangkan Emak Inah dia memutuskan untuk bergabung dengan pasukan yang berada di barisan terakhir. Berkali-kali Emak Inah menjegil ketika ia melihat sekelebat puaka yang berada di balik semak belukar. Emak Inah telah bersiap dengan pedangnya jika sewaktu-waktu ada puaka yang menyerang.

Beruntung bagi mereka, hingga sampai di kerajaan semuanya selamat tanpa ada satu pun yang terluka.

Setibanya di kerajaan Gia langsung dihampiri para dayang. Lalu dia diarahkan menuju sebuah ruangan dan sebelum ia masuk ke dalam ruangan itu, beberapa orang dayang mencuci kaki Gia terlebih dahulu.

Kini Gia berada di dalam kamar yang sangat cantik, kasur dengan seprai sutra putih, di setiap sudut ruangan itu pun dihiasi dengan bunga sedap malam yang menguarkan aroma wangi.

“Tuan Putri silahkan istirahat,” ucap salah satu dayang dengan kepala tertunduk.

“Heum, Emak Inah di mana? Terus Elang di mana?” tanya Gia dia pun mencoba untuk berjalan keluar.

“Elang dan Emak Inah telah memiliki tempatnya sendiri, sekarang Tuan Putri istirahatlah dulu,” ungkap salah satu dayang mencoba untuk menghalangi langkah Gia.

“Ok, baik. Kalian boleh pergi dari kamarku,” ucap Gia seraya berjalan menuju kasur dan merebahkan tubuhnya di sana.

“Wahh, asli nyaman banget ini kasur,” gumam Gia seraya memejamkan mata.

Malam itu seisi kerajaan bersukacita karena pada akhirnya keturunan asli dari sang Maha Raja kembali.

Namun , ketika kerajaan Majaya tengah bersukacita. Ada seseorang yang selalu mengawasi kerajaan Majaya dari balik kegelapan begitu murka dan kesal.

“Kurang ajar! Pergilah kalian dan bunuh gadis kecil itu!” pekik Nyai Asih, sang Ratu yang telah membunuh selir Rahayu.

Matanya memelotot dan terus menatap tajam sosok Gia yang tampak dari sebuah cermin berbingkai emas itu. Menatap wajah Gia kembali mengingatkannya kepada Rahayu, dendam di hatinya pun kembali bergelora.

“Harusnya dulu aku langsung membunuh, Seruni,” ungkap Nyai Asih geram.

***

Malam seakan cepat berlalu, Gia yang masih terlelap di kasur hanya menggeliat sesaat ketika dua dayang datang untuk membangunkannya. 

“Putri, bangun.”

“Heumm, lima menit lagi please,” gumam Gia seraya mengubah posisi tidurnya membelakangi para dayang.

Elang yang berada di luar kamar hanya bisa menahan senyum melihat tingkah Gia yang seakan-akan berada di masanya.

“Tuan, apa kami bisa meminta bantuan? Putri Gia susah sekali untuk dibangunkan,” kata salah satu dayang berjalan menghampiri Elang.

“Baik, serahkan kepada saya,” ucap Elang seraya berjalan ke dalam kamar dan mengambil air dari cawan yang di bawa salah satu dayang.

Elang mencipratkan air tepat ke wajah Gia, dan usaha pemuda itu pun berhasil. Gia mengerjap kemudian terbangun.

“Bagaimana mudah kan bangunin Putri tidur ini?” ungkap Elang.

Para dayang yang berada di dalam ruangan pun saling pandang dan mencoba menahan tawa.

“Elang!” teriak Gia kesal.

“Putri mari kita mandi dahulu, sang Maha Raja sudah menanti kehadiran Putri,” ucap salah satu dayang kemudian menuntun Gia masuk ke dalam sebuah pemandian yang terletak di balik pondok yang ditempati Gia.

“Hei kalian pergi saja aku bisa mandi sendiri,” ucap Gia berusaha untuk menolak.

“Stop berhenti di situ!” teriak Gia, saat melihat para dayang terus bejalan menghampirinya.

“Atau aku gak akan mandi kalau kalian masih berada di sini,” ancam Gia.

Ancaman gadis itu pun berhasil, para dayang berhenti mendekati Gia.

“Baik Putri kami akan pergi dari tempat ini, silahkan putri mandi lalu kenakan kain basahan ini,” ucap salah satu dayang seraya memberikan kain kepada Gia.

Gia mengambil kain itu kemudian mengenakannya. Perlahan Gia masuk ke dalam kolam pemandian.

“Ah, nyamannya,” gumam Gia ketika ia berendam di dalam kolam pemandian air panas.

Gia begitu menikmati saat-saat mandi pertamanya di dalam kerajaan, aroma semerbak kelopak bunga mawar yang memenuhi kolam itu semakin membuat Gia betah berlama-lama mandi.

“Putri, semua orang telah menantikan kehadiran Anda,” ucap seorang dayang yang berjalan menghampiri Gia.

“Ah, bisa gak sih mereka nunggu. Aku lagi asik berendam nih,” kata Gia, dia pun menenggelamkan dirinya ke dalam air.

“Putri masih bisa mandi nanti sore, sekarang mari kita bersiap.”

Kesal karena terus-terusan mendengar ucapan para dayang, akhirnya Gia memutuskan untuk keluar dari kolam dan berjalan menuju pondok. Namun, baru saja beberapa langkah tangan Gia dicekal oleh dua orang dayang.

“Kenapa lagi!” pekik Gia kesal.

“Maaf Putri, tapi anda tidak boleh keluar dengan menggunakan kain basahan saja.”

Gia terlonjak, dia pun segera menyambar pakaian ganti lalu segera mengenakannya. Setelah semuanya dirasa rapi para dayang langsung mengantarkan Gia menuju tempat pertemuan.

Menggunakan pakaian kebesaran seorang putri, aura cantik Gia semakin terpancar dan ketika dia memasuki tempat pertemuan, semua perhatian tertuju kepada Gia. Sosok putri yang sangat cantik dan penuh pesona.

“Berikan penghormatan kepada sang Putri!” teriak seorang patih kerajaan.

Para hadirin yanh berkumpul di ruangan itu pun memberikan penghormatan kepada Gia. Melihat hal itu ingin sekali Gia melarang mereka. Namun, baru saja membuka mulut tampak Emak Inah yang berada tak jauh darinya menggelengkan kepala.

Meskipun terpaksa akhirnya Gia hanya bisa terdiam melihat para hadirin yang memberikan penghormatan kepada dirinya.

“Kemarilah, Gia,” kata sang Maha Raja, meminta Gia untuk berjalan mendekat.

Gia hanya bisa menuruti titah dari sang Maha Raja. Suasana yang semula riuh kini senyap ketika Gia berjalan mendekati singgasana sang Mahar Raja.

“Perkenalkan dia adalah, Gia keturunan terkahirku dan akan membantu kita untuk menghabisi para makhluk kegelapan,” ucap sang Maha Raja.

Gia menatap seluruh hadirin yang berkumpul di sana dengan perasaan yang sangat sulit untuk di artikan.

“Mungkinkah aku bisa menyelamatkan mereka?”








Hiji WanciTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang