"Bagaimana apa kamu sudah siap?" tanya Nyai Asih kepada Raka.
Pemuda itu pun menghampiri Nyai Asih, dia tersenyum licik.
"Tentu saja, dan ingat kalian harus menepati janji."
"Sejujurnya aku tak tahu kalian dijanjikan apa oleh sang kegelapan, tapi yakinlah sang kegelapan tak akan inkar janji asalkan kamu memenuhi apa yang diinginkannya."
"Baik, aku akan memenuhi apa yang diinginkan sang kegelapan."
"Bagus aku suka semangat kamu, baiklah kita harus segera pergi jangan biarkan sang kegelapan menunggu terlalu lama," ungkap Nyai Asih seraya merangkul Raka.
Dalam sekejap mata keduanya telah sampai di bantaran sungai Citarum. Tak menunggu lama Nyai Asih langsung melakukan ritual. Dia meraih kantung kecil yang tergantung di pinggangnya, lalu dia mengeluarkan kembang tujuh rupa dan menaburkannya melingkari tubuh Raka. Setelah itu dia pun meminta Raka untuk menjulurkan telapak tangannya.
Raka meringis ketika Nyai Asih menggoreskan pisau kecil pada telapak tangan kanannya. Darah segar pun menetes pada kembang tujuh rupa yang berada di bawahnya, sejuruh kemudian cahaya terang muncul membentuk lingkaran. Dengan gerakan sangat cepat Nyai asaih masuk ke dalam lingkaran itu dan dalam sekejap mata keduanya telah sampai di tempat tujuan.
"Selamat datang, Raka," ungkap Nyai Asih seraya tersenyum.
Mereka pun kembali melanjutkan perjalanan. Nyai Asih langsung membawa Raka menghadap kepada sang kegelapan. Lebih cepat lebih baik, batin Nyai Asih.
***
Malam semakin menanjak. Namun, Gia tak sedetik pun mampu memejamkan kedua matanya. Dia terus gelisah, lelah dengan perasaannya itu Gia memutuskan untuk keluar kamar dan berjalan-jalan seorang diri di taman tanpa mempedulikan jika dirinya tengah diawasi oleh sesosok makhluk tak kasat mata.
Gia menengadahkan kepala, menatap lagit malam yang kelam. Jauh di lubuk hatinya yang paling dalam dia begitu merindukan bintang dan bulan di langit malam kerajaan Majaya.
"Semoga aku bisa mengalahkan sang kegelapan," gumam Gia seraya menggosok-gosokkan kedua telapak tangannya di depan dada.
"Kamu tidak akan mampu melawan kami Putri Gia."
Gia terperanjat mendengar suara misterius itu, dia pun memicingkan mata menatap sosok hitam yang turun dari atas pohon. Perlahan ia melangkah mundur ketika sosok itu terus mendekatinya.
"Siapa kamu hah! Berani-beraninya menyusup ke dalam istana."
"Ahahhahah apa kamu takut kepadaku hah?"
"Tidak aku tidak takut, pergilah sebelum aku menebas kepalamu itu." Gia mengancam.
Namun, makhluk itu hanya menyeringai dan terus mendekat. Gia terus melangkah mundur hingga punggungnya terantuknya tembok. Tangannya yang hitam dan berkuku runcing pun terulur, hampir menyentuh pipi Gia jika saja Elang terlambat datang.
Elang mencengkram erat lengan sosok hitam itu, matanya menatap tajam. "Jangan lancang kamu!"
"Lepaskan tanganku!" pekik sosok hitam itu.
"Katakan tujuan kamu menyelinap ke dalam kerajaan baru aku akan melepaskan kamu," ungkap Elang dan dia semakin mengeratkan cengkramannya.
Sosok hitam itu mencebik lalu meludahi wajah Elang. Jelas hal itu menyulut amarah Elang, dia merasa direndahkan oleh sosok hitam dan jelek yang berada di hadapannya. Elang mencabut pedang yang selalu ia bawa kemana-mana, lalu dalam sekali gerakan pemuda itu menebas lengan musuhnya.
"Pergilah jika ingin kepalamu masih tetap utuh," ungkap Elang sembari melemparkan potongan tangan itu ke dalam kolam.
Sosok hitam itu pun mengerang kesakitan, kini dia kehilangan sebelah tangannya dan bagi kelompok mereka jika kehilangan salah satu anggota tubuhnya maka mereka akan sangat terhinakan di dalam kelompok.
"Kurang ajar!" pekiknya dan dia mulai menyerang Elang lebih dahulu.
"Ck, padahal sudah aku peringatkan dasar makhluk bodoh," gumam Elang.
Pertempuran di tengah malam pun berlangsung. Dengan gerakan yang sangat lincah Elang terus menangkis serangan yang dilayangkan oleh musuhnya.
"Elang kenapa kamu hanya bermain-main dengan makhluk jelek ini!" teriak Gia.
"Ini sangat menyenangkan, Gia," jawab Elang seraya tersenyum meledek ke arah sosok hitam itu.
"Sudahlah, bunuh dia sekarang juga," ungkap Gia santai.
"Dengan senang hati Putri," Elang tersenyum lalu menebaskan pedangnya tepat di leher sosok hitam itu.
"Bagaimana aku semakin hebat kan?" lanjutnya seraya tersenyum.
Gia tersenyum sekilas dan dia memutuskan pergi menjauh, Elang mengejar gadis itu dan menahan langkahnya.
"Apa ada yang mengganggu pikiranmu?" tanya Elang seraya menelisik wajah Gia.
Gia mengembusan napas kasar sebelum menjawab pertanyaan Elang. Dia pun mulai bercerita tentang keadaan hatinya yang tengah cemas. Dia merasakan jika akan ada sesuatu hal yang akan terjadi. Elang bergeming setelah mendengarkan cerita Gia, dia pun menegakkan tubuh seraya memejamkan mata.
"Bahaya!" pekik Elang, dia pun langsung berlari menuju pondok Nyai Sekar Wangi.
Namun, sebelum sampai di pondoknya wanita itu rupanya telah berada di luar. Wajahnya pun sama panik dan cemas seperti Elang.
"Apa kamu merasakannya juga?" tanya Nyai Sekar Wangi bertanya lewat telepatinya.
Elang menganggukan kepala. "Apa yang akan kita lakukan?"
"Bersiaplah, aku akan melapor kepada sang Maha Raja. Setelah itu kita bertiga pergi untuk menghentikannya," ucapnya lagi, lalu ia berlari menuju tempat sang Maha Raja.
Gia masih bertanya-tanya dengan apa yang sebenarnya tengah terjadi. Hanya saja dia masih bungkam dan tak banyak bicara karena melihat Elang yang tengah sibuk mempersiapkan persenjataan.
"Kita harus pergi sekarang," ungkap Elang.
"Kemana?"
"Tak ada waktu untuk menjelaskan ayo!"
Elang pun berlari menghampiri Nyai Sekar Wangi dan Gia dia pun mengikuti dari arah belakang.
"Restui perjalanan kami," ungkap Nyai Sekar Wangi seraya memberikan penghormatan, setelah itu ketiganya menghilang dari kerajaan.
Di tempat lain, Nyai Asih sibuk menyiapkan sesajen. Raka telah bersiap di dalam Gua, dia duduk bersila kaki dia atas batu besar. Wangi kemenyan menyeruak memenuhi se isi gua. Ayam hitam telah disembelih dan menggunakan darah dari ayam itu Nyai Asih membuat pola di atas tanah. Lalu dia berjalan menghampiri Raka.
"Persembahkan darahmu dengan suka rela," ungkap Nyai Asih seraya menyodorkan pisau kepada Raka.
Pemuda itu paham dengan maksud Nyai Asih, dia meraih pisau lalu menggoreskannya di tangan.
"Satukan darahmu dengan darah ayam ini," titah Nyai Asih.
Raka pun menurut ia meneteskan darahnya pada wadah kecil yang berisi ayam hitam, setelah itu dia turun dari batu dan berjalan menuju pola yang telah digambar Nyai Asih.
"Tumpahkan semua darah itu pada pola lalu ikuti ucapanku."
Raka menganggukan kepala, tanpa ragu dia mengikuti setiap ritual yang dilakukan Nyai Asih. Perlahan Raka menumpahkan darah itu seraya merapalkan mantra yang diucapkan oleh Nyai Asih. Asap hitam pun muncul seiring diucapkannya mantra oleh Raka.
Penyatuan sang kegelapan dan Raka pun dimulai. Malam semakin mencekam, petir menyambar-nyambar bersamaan dengan angin yang berembus sangat kencang.
"Kita terlambat," ungkap Nyai Sekar Wangi ketika mereka hampir saja sampai di lokasi di mana Raka dan sang kegelapan bersatu.
Wah bahagia banget deh rasanya bisa nulis sejauh ini, terima kasih loh ya sudah selalu setia membaca ceritaku. semoga kalian suka yah, maafkan jika ada typo yang masih bertebaran.
KAMU SEDANG MEMBACA
Hiji Wanci
FantasyTragedi yang menimpa seorang gadis 17 tahun membawanya kembali ke masa lalu dan dia harus berjuang mengalahkan kekuatan jahat agar dirinya bisa kembali ke masa sekarang.