-☀️-
31 Desember 2021
Awan berwarna abu-abu bergelung di langit pagi itu. Gerimis mengguyur ratusan area yang dipenuhi gundukan tanah sebagai peristirahatan terakhir para manusia. Kerumunan pelayat sudah mulai meninggalkan salah satunya. Hanya menyisakan tiga remaja dengan ekspresi wajah penuh dengan luka.
"Hujan mulai deras, kita harus pergi." Seorang cewek menepuk pundak cewek lain yang masih bersimpuh di dekat makam.
"Nanti lo bakal sakit, kalo tetep di sini." Cewek itu memperingatkan lagi.
Satu-satunya cowok yang ada di sana mengintruksikan si cewek untuk berhenti. "Biarin dia tetap di sini."
"T-tapi ..."
Si cowok menggeleng. "Kita tunggu aja di mobil."
Dia akhirnya menyerah. Kemudian tangannya membuka payung hitam lalu menyerahkan payung itu pada cewek yang masih kekeuh bergeming di sana.
"Pakai ... ujan mulai deres."
Tanpa menjawab si cewek menerima payung itu. Matanya masih tertuju pada batu nisan yang sudah basah kuyup di depannya.
Kali ini tinggal si cewek seorang diri yang masih setia berada di sana. Tangan kirinya menggenggam erat ujung payung lalu melemparkan benda itu ke belakang. Tidak peduli jika hujan membasahi tubuhnya.
Si cewek merapatkan matanya saat hujan turun semakin lebat. Hingga detik berikutnya cewek itu menjerit membelah kesunyian pemakaman.
"KENAPAAAAA? KENAPA LO HARUS PERGI!? KENAPAAAAAA!!!"
☀️☀️☀️
Sudah lima belas menit berlalu sejak mobil ayah Aruna melaju dengan kecepatan sedang. Meskipun kebanyakan orang berkata Jakarta selalu macet di pagi hari, namun keadaan itu sama sekali tidak mengganggu lamunan cewek berambut panjang itu.
Cewek itu sudah hampir selusin kali merasakan keadaan yang sama. Berangkat ke sekolah baru dan beradaptasi lagi seperti halnya yang ia lakukan tujuh bulan yang lalu.
"Aruna ..."
Mendengar suara berat dari pria paruh baya yang duduk di sampingnya, cewek bernama Aruna itu menoleh. Ekspresi datar yang terpatri dari wajah cantiknya sekejap berubah menjadi cerah.
"Ya, Ayah?"
"Kamu melamun? atau marah sama ayah?"
Cewek itu menggeleng cepat-cepat. Menyembunyikan kenyataan yang sebenarnya. "Enggak kok Yah, Aruna cuma lagi ngeliatin jalanan aja."
Pria paruh baya dengan seragam kerja berwana coklat muda itu tersenyum lembut. "Kamu gak bisa bohongin ayah, kalo emang kamu gak ngelamun kenapa kamu gak sadar kalo kita udah sampai di sekolah?"
Mata Aruna bergerak kaget. Cewek itu menatap sekeliling dan baru menyadari mobil ayahnya sudah berhenti tepat di depan gerbang sekolah barunya.
"Eh ..."
Melihat keterkejutan putrinya, pria dengan nama dada 'Setiawan' itu hanya bisa menghela berat.
"Maafin ayah," jeda beberapa detik. Mata yang kelopaknya sudah mengkerut itu memandang Aruna menyesal. "Padahal hampir delapan bulan lagi kamu lulus, tapi ayah malah mindahin kamu lagi." Pria paruh baya itu mendesah sekali lagi. "Ayah gak ada pilihan lain, kalo saja ayah bukan seorang pol---"
"Aruna sama sekali nggak keberatan buat pindah ayah," sela Aruna hati-hati. "Lagian ini semua karena tuntutan pekerjaan ayah kan?" Tangannya melepas seatbelt lalu mencium punggung tangan ayahnya. "Aruna bangga banget punya ayah seorang polisi."
KAMU SEDANG MEMBACA
ILIOS
Teen FictionDari kecil sampai umurnya menginjak tujuh belas tahun, Aruna sudah lebih dari sepuluh kali pindah sekolah. Alasannya hanya satu, ayahnya seorang perwira polisi, dan ia harus mengekori kemanapun ayahnya dipindah tugaskan. Saat Aruna terpaksa pindah s...