Semburat jingga mulai nampak kian jelas saat kedua saudara itu tengah duduk di sebuah taman kecil yang mereka bangun berdua belum lama ini. Tidak ada yang bicara, keberadaan keduanya disana sejak awal hanya ingin menikmati angin sore yang semilirnya membelai manja wajah rupawan yang sudah mereka miliki sejak lahir. Yang lebih tua mendadak jadi tuna rungu, sementara yang lebih muda menjadi lebih pendiam. Hanya bicara saat ia ingin, selebihnya bibir tipisnya hanya ia pakai untuk mengejek atau berbicara dengan level pedas yang kian meningkat di setiap harinya.
Tergantung kondisi, katanya.
"Hyung, langit sore nya bagus ya? Dia pasti suka."
"......"
"Untuk saat ini kita hanya perlu bersyukur, Tuhan masih memberikan umur panjang meskipun kita tidak sehat, masih bisa menghirup udara meskipun rasanya sesak, masih bisa memandang langit sore meskipun keadaan kita tidak pernah lagi sama. Kau terluka, aku pun sama. Jadi hyung, ayo kita bangkit bersama. Jika lari dirasa sulit untuk mu, aku siap mengurangi tempo ku agar bisa menemani hyung berjalan meskipun rasanya lambat. Tidak apa-apa."
Yang lebih tua masih setia menutup mulutnya rapat-rapat, tatapannya masih hampa penuh kekosongan. Bahkan langit sore dengan warna jingga keemasan tak sedikitpun menarik perhatiannya.
"Tidak masalah kalau hyung belum mau bicara. Suasana tetap hangat meski hanya aku yang bicara kan?"
Yang lebih kecil melirik dengan sudut matanya, sedikit enggan untuk melihat lebih jelas karena pemandangan ini sangat ia benci.
Tapi mau bagaimana, saat genangan air mata itu perlahan berubah menjadi titik-titik kecil yang mulai mengalir, menganak sungai di pipi yang kini terlihat semakin tirus.
"Sstt, jangan menangis terus. Kita harus bahagia. Hidup sudah cukup memberi kita banyak air mata, sekarang jangan lagi. Jika bahagia itu tidak mau datang, maka kita yang akan menjemputnya."
Menjemput bahagia.
Baekhyun tersenyum. Dalam versinya bahagia tidak datang semudah itu hanya karena hidupnya nyaris luput dari kata sulit. Maka dengan sisa tenaga yang ia punya, serta keyakinan yang kian luntur menjurus putus asa, ia kembali merajut asa yang pernah seseorang hempas dengan paksa. Hidup bukan hanya perihal cinta, bersambut lalu hidup sempura seolah tangan dewa selalu menyertai langkahnya. Baekhyun manusia biasa, harus tahu apa itu derita serta lara. Harus tahu bagaimana rasanya berjuang melawan kesakitan yang bukan hanya mematahkan sayapnya, tapi juga melumpuhkan kedua kakinya hingga berdiri saja ia nyaris tidak bisa.
"Nah sekarang, karena hyung sudah tidak bisa lagi menuntunku berjalan seperti dulu, maka biarkan aku berlari membawa segala pengharapan yang pernah hyung gantungkan padaku. Aku janji tidak akan terluka. Lagi."
______________________________________________
Pekerjaan dan segala urusan menyangkut bisnis keluarga, Chanyeol jalankan seperti biasa. Pikirannya tetap terpaku pada satu nama yang belakangan selalu berhasil membuatnya kembali tak tenang. Tiffany tidak mengatakan apa-apa tentang keributan tempo hari tapi jelas ia tidak bisa abai. Semakin diam perempuan itu, semakin ia harus waspada. Terkahir kali Tiffany diam, ia terpaksa harus berjalan menuju altar dengan seseorang yang tidak sudi ia sebut suami.
Lalu kembali hadirnya Baekhyun cukup membuatnya gamang, harus mendahulukan yang mana sementara pilihannya cukup sulit untuk ia putuskan sendiri.
Memilih Baekhyun lalu pergi dan seumur hidup ada dalam bayangan Tiffany atau memilih diam dulu meski lengah dalam kamus ibunya tidak akan pernah terjadi?
Memperjuangkan kembali Baekhyun jelas ada di urutan pertama, tapi menempatkan posisinya di urutan kedua juga sama peliknya. Kalaupun harus melepas, jelas ia akan melepas gelar pewaris karena sejak awal jalan itu tidak pernah menjadi tujuannya.
KAMU SEDANG MEMBACA
WATER & FIRE ( The Diorama )
FanfictionBxB area 🔞 CHANBAEK Baixian, kembali setelah 10 tahun lamanya dan mendapati banyak hal yang kemudian membuatnya terlibat dengan salah satu keluarga paling berpengaruh dan terpandang di Korea Selatan. SEASON 1 & SEASON 2 dalam satu buku. Chanbaek...