Chapter 1

51 18 12
                                    

Chapter 1
"Selamat Datang di Kediaman Windsor"

Oxford, 5 March 1889

Pagi hari yang menenangkan di manor Windsor. Burung-burung kenari berkicau di pinggiran kolam air pancur. Hordeng di sebuah kamar tersibak hingga sinar mentari pagi dapat menyelonong masuk ke dalam ruangan apik tersebut. Sepasang kelopak mata sedikit terbuka, menyesuaikan sebentar cahaya yang masuk ke dalam pupilnya.

"Selamat pagi, Tuan Muda. Waktunya bangun!" Suara lembut seorang gadis menyapa indera pendengaran insan yang baru terbangun itu.

Tubuh itu bangkit mencari posisi duduk ternyaman dengan bersandarkan bantal empuk di atas ranjangnya. Sebelah tangan kirinya terangkat menghalangi cahaya agar tidak lebih banyak masuk ke dalam matanya. Decitan roda troli didorong telah mengalih perhatian orang itu. Ialah Andra. Seorang gadis berpakaian pelayan serba putih hitam itu kini tengah menyaring ampas teh ke dalam cangkir berukir mawar biru.

"Teh di pagi hari ini adalah Mason's darjeeling. Harumnya yang khas sangat cocok untuk mengawali pagi," ujar si gadis pelayan.

Dibawakannya cangkir teh tersebut pada Andra. Aroma harumnya membuat Andra memejamkan mata untuk menyesap lebih banyak aroma itu sebelum mengecap manis tehnya.

"Dasiku!" tukas Andra.

Seusai meminum teh dan membersihkan diri, Andra dibantu oleh si gadis pelayan untuk memakaikan pakaiannya. Andra meminta untuk dasinya dipasang ketika pelayannya ini sedang mengancing rompinya. Si gadis pelayan pun mengangguk. Tuannya ini tak sabaran sekali. Diambilnya seutas kain nila panjang yang terletak di sisi ranjang lalu melingkarkannya di kerah leher Andra. Begitu akan membuat simpul, tiba-tiba saja Andra menarik pinggang pelayannya hingga ia terduduk di pangkuan Andra.

"Tuan... Muda?" panggil si gadis pelayan hati-hati. Pasalnya, perlakuan Andra membuatnya terkejut bukan main. Lihat seringai itu mulai terukir pada wajah tampan Andra begitu melihat rona merah di pipi pelayannya ini.

Andra mendongakkan kepalanya sambil menunjuk dasinya yang belum tersimpul. Dia yakin pelayannya ini langsung mengerti. Si gadis pelayan mengangguk kaku, lalu melanjutkan menyimpul dasinya.

"Anda tidak seharusnya memperlakukan saya seperti ini, Tuan Muda. Aku pela-,"

"Tunanganku, 'kan?" ralat Andra memotong kalimat pelayannya.

"Aku boleh melakukan apa saja padamu. Apa kau malu, Irene?" lanjutnya.

Si gadis pelayan, Irene namanya, tak bergeming untuk beberapa saat. Memang benar. Selain seorang pelayan, ia juga berstatus sebagai tunangan Andra. Ia adalah putri kedua dari keluarga bangsawan Randevon yang merangkap pekerjaan menjadi pelayan bagi calon suaminya sendiri. Ditanya soal malu, Irene tak bisa mengelak itu, wajah dengan rona merah dan memandang ke sembarang arah telah mengundang tawa tertahan dari Andra. Tiba-tiba, Andra memeluk Irene erat saking gemasnya. Latar belakang pastel mendukung suasana hati Andra sekarang.

"Aaa gemesin! Yuk nikah sekarang!" seru Andra.

"Gila ya!?" Irene melontarkan protes.

Andra mengawali kegiatan paginya dengan sarapan di ruang kerjanya. Ruangan yang hanya diisi kursi, meja, dan rak berisi buku-buku yang disusun dengan apik. Dokumen-dokumen yang tergeletak di atas satu-satunya meja di ruangan itu terabaikan. Pai apel yang menjadi menu paginya ia sisakan setengah porsi karena fokusnya teralih pada sepucuk surat di atas nampan yang tersodor padanya. Tanpa menebak pun, Andra tahu Irene yang menyodorkan surat itu, dan tanpa bertanya pun Andra tahu siapa pengirim surat tersebut karena terpampang lambang kerajaan di sana.

Misery FeuTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang