Chapter 17

17 12 0
                                    

Chapter 17
"Hal Yang Mendadak"

Kembali lagi pada saat ini di dua tahun kemudian. Usai menghabiskan bekalnya, kini Mansa dan Nisa tengah berjalan bersama melewati jalan setapak yang dihiasi dengan pepohonan wisteria. Hening di antara mereka disertai warna oranye langit menjadikan mereka bernostalgia.

"Siapa sangka kakek dan nenek juga suka mengantarkan susu dan gandum ke tempat kerjamu itu," kata Mansa memecah keheningan tersebut.

Nisa melirik ke arah Mansa sebentar, lalu ia menghela nafasnya pelan dan menjawab, "tiga hari setelah aku diterima bekerja, kau datang sebagai Mansa dan membawakan empat tong susu ke sana bersama kakek Sam. Sejak saat itu kita jadi sering bertemu."

"Lho, kok kedengarannya seperti kau tak suka sering bertemu denganku?"

"Bagian mananya yang mengatakan aku tak suka?"

"Saat kau menghela nafas, dan nada bicaramu terdengar lelah."

"Astaga tentu saja aku lelah, Mansa bodoh! Tadinya kupikir aku akan kembali ke Rumah Ibu setelah mengantarkanmu bekal, dan malah berakhir menemanimu."

Seringai jahil pun Mansa ukir. "Padahal aku tidak meminta untuk ditemani, lho."

"A-apa, sih? Pokoknya Mansa bodoh!"

Setelahnya Mansa tertawa tertahan, sementara Nisa memalingkan mukanya yang sudah memerah malu. Cukup lama mereka berjalan, tidak sadar langit sudah larut senja. Violet wisteria yang tumbuh dengan sangat lebat hingga menutupi langit membuat mereka terlarut dengan pikiran masing-masing.

"Apa sejauh ini kau merasa nyaman?" tanya Mansa tiba-tiba.

"Maksudku dengan pekerjaanmu yang sekarang, menjadi seorang pengasuh," lanjutnya.

Nisa kembali melirik ke arah Mansa. Ia bergeming. Kepalanya menengadah untuk memerhatikan wisteria yang berguguran. Kedua matanya terpejam, ia pun tersenyum simpul.

"Tidak tahu."

Mansa menoleh pada gadis di sampingnya itu dan mengedip bingung. "Tidak tahu?"

Nisa mengangguk. "Bingung? Aku juga begitu. Memang nyaman bekerja di sana, tapi aku masih tak mengerti siapa diriku yang sebenarnya. Apa aku sudah benar merupakan seorang pengasuh, atau orang lain," jelasnya.

Setelah itu mereka terdiam. Satu tangan Mansa yang tidak tersampir kain pengalas terangkat mengelus tengkuknya. Sebuah helaan nafas keluar dari mulutnya.

"Terkadang aku tak bisa menangkap maksud kata-katamu, Nisa," kata Mansa.

Nisapun terkekeh mendengarnya. "Bingung, ya? Misterius ya, aku? Ya, 'kan?" cerocosnya jahil, sambil sesekali menyenggol lengan Mansa dan tertawa garing.

"Oi hentikan!" titah Mansa, sesekali meringis kecil ketika disenggol tak jelas terus-menerus.

Tibalah mereka di gubuk tempat tinggal kakek Sam dan nenek Mearyn, juga rumah bagi Mansa setelah ia diangkat menjadi cucu kedua pasangan lansia tersebut. Setelah Mansa menaruh pengalas di saung, Nisa berucap pamit pada laki-laki itu.

"Tidak ingin bertemu nenek dulu?" tawar Mansa.

Nisa menggeleng. "Sudah hampir malam. Aku harus kembali dan menyiapkan makan malam untuk anak-anak," jawabnya.

"Titip salam dan do'aku untuk nenek! Semoga beliau lekas sembuh," tambah Nisa.

"Terimakasih, Nisa. Dua bulan setelah sepeninggalnya kakek, neneklah yang paling terpukul," ucap Mansa.

Misery FeuTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang