Chapter 16

13 11 0
                                    

Chapter 16
"Bertemu Kakek dan Nenek"

Burung-burung kecil hinggap dan berkicau di tubuh orang-orangan sawah. Sebuah ladang jagung telah berbuah matang pohonnya dan siap panen. Seorang wanita tua yang merupakan petani ladang jagung itu nampak sedang memanen buah berbiji seribu tersebut. Burung-burung kecil tadi mulai menghinggapi satu pohon dan siap mematukki makanan mereka bersama dengan burung lainnya yang baru berdatangan. Tidak ada keinginan untuk mengusir, wanita petani itu malah bersiul seperti ikut menyanyikan kicauan burung-burung itu.

Gerobak yang dibawanya agar memudahkannya untuk mengangkut hasil panen pun telah terisi penuh. Wanita petani itu melambai pada burung-burung tadi lalu menarik gerobaknya pergi dari ladang. Roda bermaterial kayu itu berputar dan melompat rendah ketika bertabrakan dengan permukaan jalan berkerikil. Tidak banyak orang berlalu lalang di jalan setapak yang dilalui wanita petani itu, hingga ia berpapasan dengan dua pasang insan yang berjalan beriringan di depannya. Wanita petani itu pun mempercepat langkah kaki keriputnya agar dapat menyusul kedua orang tersebut. Kemudian, ia menyapa mereka.

"Selamat siang," ucapnya lalu mendahului kedua orang itu.

Yang disapa pun berhenti dengan salah satunya yang merupakan seorang gadis membalas sapaan wanita petani tadi. Dialah Nisa dengan laki-laki yang diselamatkannya di danau tadi. Belum jauh wanita petani tadi mendahului mereka, Nisa mencoba memanggilnya untuk berhenti. Alhasil wanita petani itu pun menurut berhenti dengan kepala tertoleh ke belakang mengarah pada Nisa dan si laki-laki. Terlihat Nisa menghampiri wanita petani itu dengan lari pendek.

"Permisi nyonya, bisa saya bertanya sebentar? Melihat nyonya melewati jalan ini, apa di dekat sini ada sebuah pemukiman?" tanya Nisa.

Wanita petani itu pun berkedip heran. "Apa kau seorang pengelana, gadis muda?"

Besi pipih sebuah kapak diayunkan dan membelah batang kayu menjadi dua bagian. Seorang pria tua mengelap keringat yang bercucuran di dahinya dengan handuk yang bertengger di bahunya. Tinggal membelah satu batang lagi maka selesai sudah untuk hari ini. Kapak itu ditancapkan pada batang pohon tebangan yang dijadikan alas untuk memotong kayu-kayu tadi. Pria tua itu menghampiri sebuah saung kecil di teras sebuah gubuk dan duduk di sana sambil mengibaskan handuknya guna menyapu wajah berkeringatnya dengan angin.

Di tengah waktunya beristirahat, pria tua tersebut melihat sesuatu yang buram dari kejauhan dan rasanya seperti datang mengarah ke gubuknya. Suara roda yang bergesekkan dengan tanah dan sesekali bertabrakan dengan kerikil-kerikil kecil masih dapat ia dengar walau daya penglihatannya sudah memburuk. Lalu roda itu berdecit ketika berhenti setelah dekat dengan gubuk. Kemudian, terdengar suara seorang wanita menyapanya.

"Aku kembali, Sam."

Senyum sumringah pun terukir pada wajah pria tua itu. "Jadi benar itu kau, Mearyn."

"Tentu saja ini aku. Setiap hari yang selalu pulang dari ladang kemari hanya aku, 'kan," kata wanita itu, yang tak lain adalah wanita petani yang tadi.

Mearyn namanya. Panggil saja ia nenek Mearyn karena begitulah ia dipanggil.

Begitu pula dengan pria tua yang merupakan suami dari nenek Mearyn. Panggil saja ia kakek Sam.

Kakek Sam terkekeh. "Aku tahu itu. Hanya saja, aku melihat ada tiga bayangan orang dengan penglihatan rabun jauhku ini."

"Well, aku berpapasan dengan pasangan pengelana di perjalanan pulang. Mereka sedang mencari tempat untuk beristirahat. Jadi aku ajak mereka kemari," jelas nenek Mearyn.

Nisa tiba-tiba kelabakan. "Nyo-nyonya salah paham. Kami bukan pasangan. Kami baru pertama kali bertemu di danau dekat jalan setapak tadi."

Nenek Mearyn tak bergeming untuk beberapa saat, lalu kurva manis dengan lipatan keriput di kedua sudut bibirnya terbentuk dengan mata terpejam.

Misery FeuTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang