KYJ : The Day

103 19 1
                                    

Dongju, seperti biasa akan pulas dibahuku. Sementara para mahasiswa menatapnya antusias, bertanya-tanya apa mereka boleh memotretnya?

Satu gelengan, namun kubiarkan mereka mengecup pipinya. Jelas sekali Dongju adalah pusat perhatian. Syukurlah ia juga tak banyak tingkah ketika ada kelas. Paling-paling menggambar dengan pensil warnanya dan memamerkan itu setiap kali yakin aku tidak sedang menjelaskan apapun.

"Baru pulang?"

Kutemukan Hwanwoong tengah bermain ponsel, lelaki itu hanya mengangguk tanpa peduli putranya yang telah menunggu. "Dongju menunggumu, Woongie."

Desahan kasar kuterima, Hwanwoong menatap malas dan menyodorkan lengan. "Ya ya, aku tahu. Dan berhenti memanggilku Woongie, aku tidak suka." Decaknya.

Aku tak pernah memiliki keberanian untuk sekedar memarahinya. Pikirku, lelaki ini hanya kecewa. "Apa... kau akan pergi lagi, besok?"

"Ya," jawabnya cepat, "dan berhenti bertanya."

"Aku pikir kau bicara tulus di altar, Woongie."

"Aku pikir pernikahan ini sekedar catatan, Kim Youngjo." Hwanwoong tak pernah ragu untuk bicara, cenderung menyakiti, kalau aku boleh bilang. "Keonhee akan menjemputku besok, dan kau harus segera membawa Dongju pergi sebelum ia datang."

Lee Keonhee, 25 tahun.

Aku tersenyum pahit. "Bahkan aku tahu kau selingkuh, dan masih bisa bersamamu, Woongie."

"Berhenti bicara menjijikkan." Hwanwoong menutup pintu kamar Dongju, tanpa ciuman selamat malam atau apapun untuk putra kami. "Jangan panggil seperti itu, bukankah itu kesepakatan kita sebelum ke altar?"

Tanpa bicara lanjut, aku mengangkat tangan. "Terserah kau." Tak juga kutolehkan kepala ketika bicara di depan pintu kamar (kamar kami terpisah), "Kuharap kehidupanmu lebih baik jika bersama Keonhee, kalau itu yang kau harapkan."

Pintu tertutup rapat, dan aku tak lagi mendengar langkah Hwanwoong diluar. Sebagai ganti, aku terduduk selama berjam-jam. Menertawakan diri atas perilaku yang tak berkesudahan. Jelas Hwanwoong tidak lagi mencintaiku, ia bahkan menatapku dengan raut datar. Meski sebagian diriku membantahnya habis-habisan.

Hwanwoong hanya kecewa. Kuyakinkan diriku. Menatap langit-langit yang terasa kosong sama sekali.

Aku merindukanmu. Bisikan malam hari, suara yang tak pernah sampai pada lelaki yang mengambil seluruh hidupku dalam satu senyuman.


~Red Rose~


"Mawar merah,"

Gadis itu mengangguk cepat, hafal mati dengan pesananku. Setangkai mawar yang selalu kuletakkan di kamar Hwanwoong, sekedar simbol betapa aku masih mencintainya. Meski ada masa dimana kudapati tangkai itu akan berakhir di tempat sampah.

Setidaknya Hwanwoong tahu kan, mawar itu pernah ada.

"Pesanan anda," gadis itu tersenyum kecil, "wah... anda bisa kembali kapan saja untuk satu buket gratis!"

"Benarkah?"

Yang ada dikepalaku adalah tanggal pernikahan kami yang semakin dekat. Meski aku tahu Hwanwoong memilih abai untuk itu, mungkin sedikit cara lagi... ia akan luluh.

Gadis itu menyerahkan sebuah kupon, menjelaskan proses dan bunga apa saja yang dapat dijadikan buket untuk kupon gratis itu. Kuangguki penuh semangat, sepintas lewat dalam benak kenangan bertahun lalu. Ketika Hwanwoong menerima bunga mawarku untuk pertama kalinya.

Manis sekali.

Aku terlalu sibuk dengan khayalku, ketika tak menyadari ada klakson dari arah kiri, bersamaan dengan teriakan nyaring Dongju dipendengaran.

Begitu histeris. Aku ingin bangkit dan berkata bahwa diriku baik-baik saja untuknya.

Namun tidak. Aku melihat langit dan jalan secara bergilir, tubuhnya terasa melayang untuk kemudian menghantam tanah dengan keras.

Teriakan Dongju, ramai suara orang, dan derap kaki yang bersahutan dalam pendengaran. Satu-dua pertanyaan muncul tanpa bisa kudengar dengan jelas.

Dengungan, setelahnya teriakan lagi, aku berusaha keras untuk bicara, namun kegelapan menarikku lebih dulu. Tepat ketika pendengaranku menangkap tangis nyaring dari Dongju.

Apa... sudah waktuku?

Red Rose || PacaDong MXM || RaWoong ONEUSTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang