09. resah

72 13 0
                                    

—

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Sejak tadi, aku sudah kesal setengah mati menunggu jemputan Faris di rumah Kania. Semenjak waktu itu, aku memintanya untuk menjemput selepas ujian olahraga. Faris bertugas menjemputku sesekali sehabis pulang sekolah. Hal itu seperti rutinitas yang tidak sengaja dibentuk oleh kami berdua, walaupun menyebalkan.

Bukannya tidak suka, tapi Faris sering kali menjemputku lebih dari waktu yang sudah dijanjikan sebelumnya. Berakhir dengan aku yang marah atau sebaliknya. Hal ini terjadi berulang, bahkan teman-teman—apalagi Kania—hapal dengan kegiatan Faris juga aku yang terkesan monoton.

"Faris jadi jemput ke sini, Ta?" tanya Kania padaku, pandangannya masih tertuju pada layar ponsel. Dari sana aku bisa melihat nama Fareza terpampang di layarnya.

"Katanya sih gitu," jawabku. "Gak tau lagi kalau dia ketiduran."

Itu salah satu alasan yang sering terjadi. Barangkali kalian bertanya-tanya kenapa aku sabar menghadapi sifat Faris yang satu itu, tentu saja karena aku sudah merasa nyaman. Tidak pernah terbayangkan kalau rutinitasku yang satu ini akan hilang dari muka bumi. Mungkin rasanya akan sedikit—banyak—hampa.

Suara klakson di depan rumah, membangkitkan instingku untuk segera merapikan perkakas yang ku keluarkan sebelumnya dari dalam tas yang ku bawa sekolah. Kania pergi duluan, sementara aku menyusul di belakang.

Aku bisa melihat jelas mimik wajah Faris yang tidak merasa bersalah. Bahkan saat ini pun, kehadirannya tidak terlihat karena lelaki itu sedang sibuk berbincang dengan sepupunya, Kania.

"Muka Razita udah lepet tuh," goda Kania. "Kelamaan sih jemputnya."

"Gak sabar banget ya?" Faris tertawa, berbanding terbalik dengan aku yang diam saja tidak menggubrisnya.

Kami pun pergi. Dalam perjalanan Faris menjelaskan alasan kenapa dia bisa terlambat menjemputnya. Walaupun alasan itu tidak bisa dimasukkan ke dalam catatan dosanya, tapi aku memaafkannya. Alih-alih melanjutkan emosiku, aku memilih untuk tidak memperpanjang urusan jemputan itu.

"Ris!" seru seorang tiba-tiba yang membuatku panik di jok belakang sepeda motor Faris.

Dia teman Faris—juga kenalanku—di kelas lain. Mengingat bagaimana kita berdua sepakat untuk merahasiakan kedekatan kami, tentu aku reflek bersembunyi.

Tak selang beberapa detik, Faris membalas sapaan itu berikut aku yang secara tidak sengaja membiarkan kami bertengkar (lagi).

"Kenapa sama Elsa?" tanya Faris dengan nada menyeramkan yang belum pernah aku dengar sebelumnya.

"Nanti," jawabku cemas. "Nanti aku cerita."

///

bagian selanjutnya dalam cerita:
bercerita

B E R K I S A HTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang