—
Siang itu aku baru saja masuk ke dalam kelas setelah menyelesaikan rangkaian ujian praktik olahragaku di luar ruangan. Sama sepertiku, Elsa yang lengkap dengan pakaian olahraganya juga baru saja masuk ke dalam ruang kelas dan menghampiriku.
Dia menepuk pundakku pelan, memanggil namaku, dan melontarkan satu pertanyaan yang membuat jantungku seperti tiba-tiba berhenti berdegub, "Ta, nyadar enggak sih kalau kamu dari tadi dilihatin sama Faris?"
Mati aku. Tentu saja aku sadar. Pasalnya, aku pun juga melihati Faris sejak tadi.
"Ah, masa sih? Salah lihat kali," sangkalku, "lagian 'kan kalau lihat ke sini juga wajar-wajar aja enggak sih, Sa? Kan, tempat duduk aku di depan dia."
Elsa seperti masih ingin menyangkalnya. Dia pun mengerutkan keningnya, begitu pula dengan sepasang alisnya yang naik satu menyempurnakan ekspresi ketidakpuasannya mendengar jawabanku.
"Apa jangan-jangan dia naksir kamu ya, Ta?"
Sekali lagi, aku seperti mau mati saat mendengar pertanyaan yang keluar dari mulutnya. Elsa benar-benar ingin membunuhku secara perlahan. Ada apa ini? Kenapa pertanyaan semacam itu bisa keluar dari mulutnya?
"Waduh... lagi ngobrolin apa nih, serius amat?"
Malaikatku datang. Assyfa, Kania, juga Syila baru saja masuk ke dalam kelas dan menghampiri tempat dudukku. Kania memberikan sebotol air mineral dingin padaku sambil masih melihat ke arah Elsa yang sedang berdiri di hadapanku.
"Ini loh, Ni... aku penasaran banget dari tadi di lapangan," cerocos Elsa tidak sadar dengan kekhawatiranku. "Masa daritadi aku perhatiin Faris, eh dianya ngelihat ke arah Zita terus sih. Aku curiga aja gitu kalau jangan-jangan Faris suka sama Zita."
Dengan kelihaiannya Kania bisa mengalihkan firasat benar Elsa dengan baik. Entah kenapa aku merasa bersyukur hari itu karena memiliki teman sebaik Kania. Ia melontarkan candaan, memahami posisiku, dan berusaha agar Elsa berhenti bicara soal Faris.
"Iya kali ya," ucap Elsa membenarkan lontaran candaan Kania padanya. "Aku doang aja kali ya yang suka mikir macem-macem."
Dalam hati aku bersorak. Rahasiaku masih aman. Kedekatanku dengan Faris masih belum terbongkar.
"Kalau gitu aku mau ganti baju dulu deh," lanjutnya sambil menepuk pundak Kania dan menatapku bergantian. "Tolong wajarin ya, Ta. Kamu cantik banget sih, akunya jadi mikir yang enggak-enggak."
Aku hanya bisa tersenyum menanggapinya. Elsa pergi setelah selesai dengan urusannya. Dari tempatku bisa kulihat dia berpapasan dengan Faris yang baru saja masuk ke dalam kelas bersama dua temannya.
Aku menjatuhkan wajahku di atas meja. Meringis tertahan. Dan berandai-andai apa jadinya kehidupan sekolahku jika sampai Elsa tahu dia dan Faris memang benar dekat seperti intuisinya.
Walaupun Faris terus mengatakan jika aku tidak bersalah. Perkataan Kania yang justru terus terngiang di kepalaku.
Jujur saja, aku mengharapkan kutukan diberikan kepada Kania semenjak itu karena sudah membuatku terus memikirkan perkataannya.
Ah, sepertinya aku butuh tidur lebih awal setelah ini.
///
bagian selanjutnya dalam cerita :
kemungkinan
KAMU SEDANG MEMBACA
B E R K I S A H
القصة القصيرة[✔️] Kamu akan mendengar cerita ini ketika kita duduk berdua di balkon rumah bersama. sesuatu yang pernah menjadi bagian dari cerita hidupku saat remaja, ku tuliskan berlembar-lembar dalam buku jurnalku. - Faris menjadi satu alasan kenapa bulan Feb...