06. mengambil keputusan

77 14 0
                                    

—

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Aku mendengus kesal sambil melihat jam yang melingkar di lengan tangan kananku. Dua menit kemudian, tiba-tiba saja telingaku menangkap suara klakson dari depan rumah. Buru-buru tanganku mengambil tas di atas meja dan memasukkan ponsel ke dalam kantong celana. Dari bilik dapur, suara seorang Wanita menghentikan langkah kakiku sebentar.

"Dek," panggilnya. "Kamu itu nungguin siapa sih daritadi?"

Aku menjawab, "Temen, Ma. Itu udah di depan ... Zita berangkat dulu ya!"

Setelah mengatakannya aku kembali melangkahkan kakiku, kini lebih cepat daripada sebelumnya. Jarum di jam tanganku sudah menunjukan angka 9 yang mana itu menandakan kalau aku sudah menunggu selama hampir satu setengah jam hanya untuk jasa jemputan Faris.

"Maaf ya," ucapnya setelah aku melemparinya dengan tatapan tajam. "Aku tadi bangun kesiangan."

"Kebiasaan banget kamu," kataku kesal. "Janjinya kan jam delapan."

"Aku kan tadi udah minta maaf, Ta." Wajahnya memelas seperti ingin dikasihani.

Bukan Faris jika tak bisa mengambil hatiku. Tentu saja setelahnya aku langsung naik di kursi belakang jok motor yang dia bawa dan diam saja tak menjawab pernyataannya barusan.

Dari balik jendela, aku melihat Ibuku tersenyum jahil.



Kegiatan sekolahku hari itu berjalan dengan baik. Aku mendapatkan nilai A di pelajaran olahraga. Tentu saja aku bangga. Pasalnya, aku bahkan tidak mahir pada bidang tersebut sampai umurku 17 tahun. Di mana berarti itu membuktikan aku bisa melakukannya dengan baik, walaupun bidang tersebut merupakan kelemahanku.

"Ta, makan bakso dulu yuk di rumah Kania," ajak Syila.

"Rumah Kania?" tanyaku memastikan agar tak salah dengar.

"Iya," Kania membenarkan. "Kenapa?"

"Gak ada apa-apa kok."

Semua teman-temanku di sana menatapku aneh.

Masa bodoh soal itu. Aku diam-diam mengeluarkan ponsel dari dalam celana.  Mengetik sesuatu di sana sambil bergumam mantra yang sebenarnya aku juga tak tahu untuk apa.

Aku menulis satu kalimat penentu soal urusan cintaku. Kelanjutannya seperti apa. Aku pun menunggu jawabannya.

///

bagian selanjutnya di cerita:
mengatakan sejujurnya.

B E R K I S A HTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang