—
Dihari itu aku kebingungan. Bisa jadi dia mengatakan hal berbeda. Bisa jadi juga kalau dia berkata jujur. Kiranya aku berharap dia mengatakan tidak sesuai dengan hatinya. Tidak jujur pada perasaannya.
Sifat canggung membelenggu dalam percakapan yang sudah dibangun lama sebelum dekat. Perihal orang-orang yang tidak tahu bagaimana rasanya aku hampir saja mati karena dia tak memberi kabar padahal bukan kewajibannya.
Kesialan, datang ketika laki-laki itu malah hanya menanyakan sesuatu yang tidak penting. Bagiku tentu saja.
Bisa juga dia beranggapan itu penting, dia bertanya di awal percakapan pada pagi hari yang jadi penyemangat untuk pergi, apa benar dia hanya perlu membawa nasi saja untuk keperluan penilaian?
Dengan perasaan berbunga-bunga aku meninggalkan pesannya agar bisa tersambung lagi nanti disaat dia pulang kembali ke rumah.
Di sore hari setelah insiden, ada lagi pesan masuk, ditutup dengan menanyakan perihal, apa rasa nasinya? enak atau tidak?, tanyanya.
Tidak ada yang beranggapan kita sedang canggung mengekspresikan kebingungan. Hanya aku dan dia sendiri yang tahu bagaimana rasa canggung itu. Pertanyaan-pertanyaan yang muncul, berharap tembok penghalang kecanggungan segera musnah.
Dengan sedetik akhirnya ia mendapat balasan pesan. Semua sirna. Tembok kecanggungan hancur digantikan perasaan bahagia.
Malam hari itu aku tidur nyenyak sambil tersenyum dan mendekap benda persegi panjang itu di antara kedua rengkuhan tanganku.
///
sampai jumpa hari senin depan!
KAMU SEDANG MEMBACA
B E R K I S A H
Short Story[✔️] Kamu akan mendengar cerita ini ketika kita duduk berdua di balkon rumah bersama. sesuatu yang pernah menjadi bagian dari cerita hidupku saat remaja, ku tuliskan berlembar-lembar dalam buku jurnalku. - Faris menjadi satu alasan kenapa bulan Feb...