Bagian 24 : Bunga Flamboyan

104 7 11
                                    

'Handoko' mengawasi proses penggalian LHC dengan wajah suram.
Proses penggalian itu membutuhkan waktu lama dan itu membuatnya menderita.

"Tak bisakah kita menyewa bor besar?"

"Besar?" tanya Pak Ken.

"Sebesar kereta api."

Pak Ken terdiam sejenak berusaha mencerna perkataan 'Gunadi'. Lalu memutuskan untuk menjawabnya serius. "Saya mengerti. Tapi tidak ada barang seperti itu di Indonesia."

Handoko menghela dan menghembuskan nafas panjang. Penggalian terowongan ini seraaa dilakukan dengan metode masa lampau. Sangat lambat.

Handoko memang sudah di masa lampau, akan tetapi metode ini lebih lampau dari lampau.
Seperti menggali gua zaman perang dunia pertama. Zaman perang dunia kedua lebih baik karena memakai bom.

Handoko mengamati para pekerja satu yang lewat dengan gerobak tanah satu persatu dengan mata yang terbuka setengah. Desingan bor-bor sebesar kepala stang motor hanya bisa meruntuhkan sebagian kecil tanah.
Sangat mengecewakan. Aku tidak punya banyak waktu.

Handoko lalu memaksa dirinya tersenyum lebar dan masuk ke dalam galian menemui Pimpro (Pimpinan Proyek). Lalu merangkulnya, berusaha menjalankan ilmu dari Pak Ekos.

"Begini pak. Bagaimana kalau ... kita sama-sama enak aja ..."

"Maksud bapak?" Kontraktor itu memasang wajah datar yang membuat Handoko bingung.

"Ah ... kalau ... projek berjalan cepat kan bapak enak juga to?" Handoko memakai bahasa Jawa sedikit, ilmu dari Pak Awan. "Gak ada beban gitu ..."

"Ya ... Saya kan lihat pembayaran termin juga pak. Lancar atau tidak?"

Handoko berdehem, tiba-tiba tenggorokannya merasa gatal.
"Ah bapak hehehe ..." Handoko tertawa maksa. "Ini kan dijamin juga pak sama Kementerian. Negara lho?!"

Pimpro mulai tersenyum kaku. "Saya bukan bank pak. Bayar anak-anak kan gak pake hutang."

Senyum Handoko mulai memudar lagi. Tersadar. Dia paksa terbitkan lagi. "Hahaha ... Bener pak bener."
Lalu melepas rangkulannya dari bahu Pimpro.

Berbalik senyumannya kembali hilang. Lalu 'Gunadi' kembali kepada pak Ken yang memeluk buku RAB-nya dengan perasaan yang tak enak. "Kita rapat. Panggil yang lain."

Pak Awan yang sedang di ruang CCTV merasakan pahanya bergetar. Pagernya bertuliskan "Ke ruang rapat LHC."

Pak Ekos yang membantu ibu Fatma membuat gambar detail dan skema LHC untuk 10 tahun ke depan dengan meja gambarnya masing-masing tidak mengetahui apapun. Mbak Maya yang mengawasi mereka berdua pada akhirnya yang memberitahu.

Pak Ekos terlihat kesal sekali karena nanti sulit baginya untuk kembali berkonsentrasi.

"Gak papa pak. Tinggal saja dulu. Kalo Pak Gunadi marah nanti urusannya malah ribet," bujuk Bu Fatma bersiap pergi.

Pak Ekos membanting Drawing Pen-nya ke dasar papan.

Mbak Maya terdiam berdiri kikuk. Melihat hasil gambar, tidak enak apabila tidak membawa apapun.

"May! Ayo!" teriak Ibu Fatma menuju lift.

"Enggak ini apa ada yang bisa diba-" Dan pintu lift keburu tertutup.

"Ahh ..." Maya mengeluh, menundukkan kepalanya. Dan sekarang aku terlihat seperti pemalas yang datang paling belakangan. Maya menyesali inisiatifnya yang tidak berguna.

Di dalam ruang rapat CCTV, 'Gunadi' tampak sedang mencorat-coret RAB. Pak Ken melihatnya dengan pasrah. Revisi sama artinya dengan tidak tidur.

"Assalamualaikum." Bu Fatma masuk dengan hati-hati sambil membaca rona wajah 'Gunadi'. Mempersiapkan kata-kata dan sikapnya sesuai dengan mood sang pemimpin.

Raising meTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang