Tubuh telanjang Dakjal masuk ke dalam box telepon umum.
Otomatis lampu di dalamnya menyala dan kaca luarnya menjadi gelap.
Dakjal lalu menekan tombol air dan shampoo di depannya."Pejamkan mata Anda. Air shampoo akan turun dalam hitungan 1 ... 2 ... 3."
Setelah perintah instruksi bersuara, air + sabun mengalir deras dari atas box ke atas kepala ke seluruh tubuh dan menuju lubang-lubang kecil permukaan titanium di bawahnya selama 10 s. Dakjal menggosok-gosokkan seluruh tubuhnya termasuk rambut di kepalanya hingga berbusa.
Dakjal lalu menekan tombol air yang langsung jatuh deras dari atas selama 15 s. Setelah semua busa hilang, dia menekan tombol dryer. Hembusan angin kencang yang hangat dari berbagai sisi telepon umum menghilangkan setiap tetes di tubuhnya. Kelopak matanya yang tunggal dipejamkan.
"Kering tubuh mencapai 95%. Dryer dimatikan."
Kelopak mata Dakjal dibuka. Di waktu sesi mandi yang singkat itu, di dalam otaknya tersusun rencana.
Setelah berpakaian Dakjal bergegas pergi ke dalam kamarnya. Sang kakak ada di depan tutza proyektor big screen miliknya. Seperti biasa, bermain game. Kakinya bersila, tangannya memakai sarung tangan sensor, berpose seakan memegang senjata AK-40. Di hologram terlihat dia sedang bersembunyi di balik jendela rumah kosong. Bersiap membidik seseorang di kerumunan pasar.
Rambut panjangnya merogoh chips di atas mangkok dan memasukkannya ke dalam mulut. Bunyi garing keripik yang dikunyah mengiringi adiknya yang sedang mengemasi segala keperluan ke dalam tas ranselnya.
Tas ransel District C, bentuknya seperti tas ransel pada umumnya. Akan tetapi memiliki kemampuan membalik arah gaya sehingga sebanyak apapun benda dimasukkan atau sang pembawa tas sedang berlari, tas tidak akan terasa berat.
"Aku mau kunci pintu kamar," ujar Dakjal singkat agar kakaknya segera meninggalkan kamarnya.
"Jangan," jawabnya tak kalah singkat.
Masih konsentrasi dengan bidikannya yang masih membaur dengan masyarakat."Kenapa kamu gak main di kamarmu saja?!" Dakjal mulai kesal karena terburu-buru.
"Kalau aku taruh game ini di kamarku. Aku akan main terus. Tidak belajar atau tidur," kata Deidari jari telunjuknya sudah bersiap menarik pelatuk AK-40 imaginernya, posisi sang target sudah terbuka.
Dakjal menekan tipis gelang tutza-nya untuk mengaktifkan layar hologram, lalu mematikan hologram gamenya melalui layar aplikasi.
"AAAH! SEDIKIT LAGI!" Deidari mengamuk. Meraih mangkuk chips dengan rambutnya dan melemparkannya ke arah Dakjal.
Pelipis Dakjal terkena tapi tidak berpengaruh apapun padanya. Remah chips terhampar dimana-mana.
"Bersihkan semua itu."
"Tidak," kata Deidari singkat.
"Kalau tidak akan kuberi Bon pelajaran."
"Hei dia tidak ada hubungannya sama ini ya." Ekspresi Deidari berubah, marah.
"Sekarang ada."
Wajah Deidari menekuk kesal. Dia tahu adiknya selalu bersungguh-sungguh dengan kata-katanya.
Benar-benar versi kecil ayah yang sangat menyebalkan.Garis kotak LED menyala saat Deidari menyentuh tembok dan pintu rak pun terbuka memperlihatkan sapu di dalamnya.
"Kau mau kemana Jal?" tanya Deidari penasaran sambil menyapu, mengumpulkan remah chips ke suatu pojok ruangan.
"Nginap di tempat Bon."
"Lagi?" tanya Deidari menekan tombol di tembok yang mengakibatkan suatu bagian kotak lantai, dimana remah chips itu diletakkan turun kebawah. Dan kemudian lantai itu menutup kembali seperti meja makan di kantin sekolah.
"Boleh aku ikut?" tanya Deidari wajah tersenyum, merajuk.
KAMU SEDANG MEMBACA
Raising me
Ciencia FicciónKinar seorang teller berusia 30 tahun tiba-tiba didatangi sosok misterius yang mengajaknya mengurus seorang anak. Kinar yang merasa jauh dari kemapanan secara jelas menolak. Ia merasa tertarik saat sosok ini berjanji memberikan imbalan. Akan tetapi...