Bagian 3: Ayah

346 61 17
                                    

Udara terasa sangat panas. Sudah jam 1 malam dan Kinar belum tertidur.

Dia memandangi lampu putih di plafon yang masih berwarna kayu. Wajah kirinya terasa membeku karena kipas angin yang berputar. Akan tetapi anggota tubuhnya yang lain terasa meneteskan keringat.

Kinar merebahkan diri di atas kasur spoons lembek yang tidak berdipan. Kinar memejamkan matanya mencoba tidur tapi tidak bisa.
Rasa panas dan bau air limbah selokan bukanlah penghalang. Kinar sudah terbiasa dengan semua itu.

Kata-kata Handoko yang mengganggunya tidur.

Akhirnya ia bangun, merangkak ke teko plastik berisi air, mengambil gelas plastik dan menuangkannya.

Kost Kinar tergolong sempit dan kumuh. Ukuran 2.5 x 3 m membuat segalanya mudah digapai dengan menjulurkan tangan. Dinding sekatnya kayu membuat segala kejadian di sekitar Kinar terdengar.

Posisi kamarnya yang teratas membuat kamar itu masih menyerap panas siang hari yang masih terasa hingga malam.

Di ujung kaki Kinar ia letakkan handphone. Dia tidak menchargenya malam itu karena hampir tidak pernah ia menggunakannya.

Pulsa di dalamnya sudah mencapai Rp800.000,- semenjak ia terakhir mentransfernya ke pegawai minimarket lain.

Kinar merebahkan dirinya lagi Haruskah ia menerima tawaran Handoko?

Kinar merasa panas itu berangsur hilang.

Sekarang Kinar berada di atas tikar di atas padang rumput yang luas. Langit ajaibnya berwarna biru dengan awan berarakan, tidak mendung.

Ayah Kinar tidur disampingnya di atas tikar.

"Kinar. Ayah bermimpi Kinar memanen padi. Sawah Kinar sangat luas. Sampai gunung dan dibalik gunung. Ayah yakin Kinar akan jadi orang besar. Orang sukses," kata ayahnya sambil memandang langit.

Kinar tersenyum sambil meneteskan air di sudut matanya yang ia tahu bukan keringat.

Raising meTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang