Pukul 20:50
Brukk..
Acha membanting tubuhnya di kasur, tepat di atas boneka jerapahnya yang panjang. Apa yang terjadi hari ini benar-benar membuatnya geram, kesal, mati rasa, frustasi, dan jengkel! Ia mencakar-cakar bantalnya sendiri.
"AAA! ACHA PENGEN BANGET CAKAR MUKANYA SI MANUSIA ES ITUU!!" Pekiknya.
Drrttttt..
Getaran ponselnya itu mengalihkan perhatiannya.
"Siapa ini?" Acha mengerutkan keningnya.
Ia meneguk cokelat panasnya lagi.
"Halo?" Acha akhirnya mengangkat teleponnya.
"Halo, selamat malam. Saya kurir pengantar barang, apa benar ini dengan Acha?"
"Wait, kurir ya?" Acha memasang kaos kaki bunny-nya karena udaranya sangat dingin.
"Iya benar saya Acha, tapi saya sama sekali nggak pesen barang lewat online, mungkin Anda salah orang," lanjutnya lagi, heran.
"Emm, tapi disini ditulis kepada Acha, temennya Laura, kelas X MIPA 3, di SMA Sarasvati,"
Acha terperangah, mendengar penjelasan kurir itu barusan.
"Ehehe.." haha hehenya secara ambigu, tak mengerti, dan keheranan.
"I-iya, itu Acha temennya Laura. Tapi kan Pak, masalahnya Acha sama sekali enggak pesen barang apapun, okey?" Sambungnya.
"Maaf, Dek, tapi disini saya cuma kurir saja, tugas saya menghantar barang," cercah kurir itu.
"Iya Pak, Acha tau kerjaan kurir itu nganter barang. Tapi Acha kan.."
"Cha, lo ngapain sih ribut sendiri?" Celetuk Aidan, kakak Acha yang lebih tua 2 tahun darinya. Pasalnya, sekarang Aidan menginjak kelas 12 namun kerjaannya hanya gamon, main game, tanpa ada niatan belajar buat UN. Kan, Aidan. Walaupun dia begitu, tapi dia sayang banget sama Acha.
"Dia lagi teleponan, Dan." Sambung Bastian, si kakak sepupu Acha. Manusia yang juga seumuran dengan Aidan ini memang sama kurang warasnya dengan Aidan, namun setidaknya dia rajin belajar walau cuma sekali dalam seminggu.
Dua manusia tinggi penghuni Bumi itu tengah berdiri di depan pintu kamar Acha. Sebenarnya mereka berniat mau mengacaukan Acha, tapi diurungkan.
"Maaf, Dek, tapi saya harus menghantarkan barang ini." Ujar si kurir.
"Tapi Pak.." Acha sadar kalau kurir itu ternyata sudah mengakhiri teleponnya.
"Halo? Pak? Yahhhh, dimatiin!"
"Siapa, Cha?" Tanya Aidan.
"Kurir, tapi Acha nggak pesen barang apapun, Dan. Gimana dong?"
"Lah, jangan-jangan.." pelotot Bastian.
"Jangan-jangan barang itu dikirim karna permintaan pacar lo, Cha?"
"Acha nggak punya pacar!"
Bunyi bel rumah seketika berbunyi. Karena penasaran, Acha bergegas turun ke bawah. Ia langsung membukakan pintu. Dilihatnya seorang kurir, yang tengah berdiri sambil membawa paket. Umurnya sekitar 45-an keatas.
"Dengan Acha?" Tanya kurir itu.
"Iya, saya sendiri, Pak."
"Silahkan tanda tangan disini, dan terima paketnya."
Ditandatanganinya formulir itu. Satu pertanyaan masih menggantung di benaknya.
"Pak, Acha boleh tanya? Ini yang ngirim paketnya siapa ya, Pak?"
"Yang mengirim saya sendiri, Dek," jawab kurir itu, lugu.
"Maksud adik saya, siapa yang meminta Anda untuk mengirim paket ini?" Sergah Aidan.
"Emmm, kalau masalah itu, saya dilarang memberi tahu." Jawab kurir itu.
"Tapi kami tidak meminta tahu, Pak, kami cuma minta PEN. JE. LA. SAN. Nya doang Pak." cercah Bastian, penuh penekanan.
"Tapi, kalau bapak ada tempe, boleh kok. Soalnya saya alergi tahu." Sambung Bastian yang langsung dikeplak keningnya oleh Aidan.
"Gimana bisa? Ntar kalau pengirimnya seorang teroris, dan saat adik saya buka paketnya ternyata isinya adalah bom, siapa yang mau tanggung jawab, Pak?"
Melihat abangnya yang emosian itu, Acha menjadi tidak enak kepada si kurir.
"Dan, udah, jangan gitu!"
"Kenapa, Cha? Gue bener, kan?"
"Emmm, maaf ya Pak, dan terimakasih udah nganter paketnya." ujar Acha.
"Iya, nggak masalah, Dek. Kalau begitu, saya pamit." Ujar si kurir, dan melangkah pergi.
"Cha, lo gimana sih? Ntar kalo isinya bom, gimana?"
"Ah, selera humor lo ngaco, Dan," celoteh Bastian.
"Ya nggak mungkin lah, Dan! Konyol banget sih." Acha melangkah menaiki anak tangga menuju kamarnya.
"Tapi gue tetep nggak ngijinin lo!"
Aidan menjalankan aksinya merebut paket dari tangan adiknya itu, dan berlari ke luar rumah.
"Aidan!!"
"Kejar, Cha!"
Mereka berdua pun berlari menghampiri Aidan. Setibanya mereka disana, dilihatnya Aidan dengan kepala ditutupi helm, sarung tangan di kedua telapak tangannya, lengkap dengan sepatu booth, kacamata renang, dan jas hujan yang ia pakai, mengundang gelak tawa Acha dan Bastian. Seperti badut kurang kerjaan.
"Astaga, Dan. Kamu mau ngapain coba?" Tanya Acha, geleng-geleng dengan kakaknya yang satu ini. Kurang waras juga, ketularan Bastian.
"Astronout yang hilang kendali!!" Ujar Bastian dengan tawa khasnya.
"Udah deh, lo berdua jauh-jauh dari sini, gue bakal buktiin kalo paket itu.."
"Kalian ngapain sih, malem-malem masih di luar?" Celetuk Ms. Radha.
Sontak saja mereka bertiga terkejut saat melihat wanita yang ada di depan mereka saat ini. Wajahnya yang dilumuri masker wajah berwarna putih itu membuat mereka geger. Dikira makhluk astral, tapi takut kualat.
"Mama?" Acha berusaha tak terkejut.
"Iya, ini Mama, sayang. Lagian kalian ngapain.. eh, kamu siapa? Maling ya?!"
Ms. Radha bergegas mengambil sapu ijuk dan memukul-mukul Aidan.
"Maling kamu! Satpam mana? Satpam!!" Teriak wanita itu histeris.
"Aduh Ma, udah cukup, ini Aidan, Ma!" Aidan membuka helmnya.
"Aidan? Ehh, maaf, Mama kira maling."
"Remuk semua tulang rusuk belakang aku, Ma!"
"Maaf, Mama gak tau, lagian kamu ngapain pake kostum gituan? Kalau kamu mau kostum astronout, Mama kan bisa buatin!"
"Bukan gitu, Tante. Barusan Acha dapet kiriman gak jelas, langsung aja Aidan overthingking." Papar Bastian.
"Kiriman nggak jelas gimana, Bas? Coba dibuka paketnya, Mama jadi penasaran."
"Kenapa bisa jadi sepanjang ini coba?" Batin Acha.
"Ini isinya bom gak sih?" Aidan mengkoyak-koyak paket itu menggunakan ujung sapu ijuk.
Dibukanya paket misterius itu dengan susah payah oleh Aidan. Kardus yang membungkus diluarnya itu sudah terkoyak-koyak, namun kotak didalamnya masih utuh.
Saat itu juga, Aidan melompat menjauh dari kotak itu. Ia menjongkokkan dirinya dan menutupi kedua telinganya, ala tentara yang menghindar dari ledekan bom.
Eh, sory, maksudnya LEDAKAN.
Begitupun juga dengan yang lainnya. Mereka mengikuti saja arahan konyol Aidan itu.
Namun, setelah mereka jongkok beberapa menit, tidak terjadi apa-apa setelah kotak itu dibuka. Acha semakin geram dan sebal. Sepertinya semua orang dirumah itu tertular virus ketidakwarasan Bastian dan Aidan. Karena kekesalan Acha, ia akhirnya berdiri dan melangkah mendekati kotak itu.
"Acha! Lo harus menjauh dari kotak itu!" Teriak Aidan.
Tapi Acha hanya diam, dan terus melangkah. Ia mendekati kotak yang terkoyak-koyak itu. Terlihat jelas, sebuah kotak plastik berisi kue tart stroberi favoritnya. Acha mengerutkan keningnya.
"Kue tart?" Ujarnya.
Sesaat, Aidan, Bastian, dan Ms. Radha dengan rusuh mendekati Acha.
"Kenapa Cha? Isinya bom?" Celetuk Aidan.
"Wahh, ternyata isinya manis," tukas Bastian, seraya mencolek krim kue itu.
"Aaww, so sweet, ini pasti enak. Siapa yang ngirim, sayang?" Tanya Ms. Radha.
"Emm, Acha juga nggak tau, Ma, padahal hari ini bukan hari ulang tahun Acha." jawabnya.
"Jangan-jangan.." Aidan menyela.
Acha memberikan tatapan datarnya kepada abangnya itu, lalu memukul bahunya.
"Udah cukup overthingkingnya!" Pekiknya.
"Cha, mungkin pengirimnya ngasih surat atau apalah semacamnya itu, coba deh lo priksa kotaknya lagi," ujar Bastian, dengn sibuk ia terus saja mencicipi krim stroberi yang ada diatas kue.
"Bener juga ya,"
Acha bergegas memeriksa isi kotak itu lagi. Terselip sebuah amplop tanpa coretan pulpen sedikitpun.
"Amplop?" Acha penasaran.
"Gue tebak isinya uang! Uang uang uang." cercah Bastian.
"Mama yakin isinya surat cinta,"
"Eh, Cha, lo harus waspada, siapa tau di dalemnya isi bom kertas lagi." Ucap Aidan, kini Acha tak yakin dengan kewarasan cowok itu.
Acha berdecak pelan. Ia membuka amplop itu dan mengeluarkan surat didalamnya.
"Acha, gimana? Coba bacain deh, Mama pengen tau isinya."
"Cha, ayok," Bastian menyenggol lengan adik sepupunya itu.
"Tapi Acha.."
"Ayok bacain!" Pekik Ms. Radha, Aidan dan Bastian bersamaan.
Tanpa pilihan lain, Acha harus membacanya.
"Untuk Acha, maaf gue nggak tau nama panjang lo siapa, tapi yang gue tau, nama lo Acha. Gue cuma pengin lo terima hadiah dari gue, semoga lo suka. Rama." Paparnya, membaca cuplikan surat itu.
"Acha kenal sama dia?" Tanya Ms. Radha.
"Acha bahkan nggak kenal dia, Ma," ujarnya.
"Bikin penasaran aja, ini sebenernya Rama siapa? Aneh," batin Acha.
Saat itu juga, kedua mata Bastian memelotot dan hampir keluar dari tempatnya.
"Rama? Rama di kisah Ramayana nggak sih?!" Ujar Bastian rusuh, yang langsung mendapat tendangan dari Aidan di kakinya.
"Ck! Ngapain lo tendang kaki gue, Dan?!" Lirih Bastian, seraya memegang yang terasa sakit.
"Gue bantuin otak lo loncat ke kepala! Biar nggak terus-terusan di dengkul. Kan, kasian. Otak gue aja masih di kepala." Jawab cowok itu, yang sebebarnya juga kurang waras.
Acha dan Mrs. Radha hanya geleng-geleng dengan dua manusia itu. Acha lalu menatap lekat kue yang sejak tadi menggodanya untuk segera memakannya.
"Berarti dia bukan teroris?" Tanya Aidan, yang langsung mendapat tendangan balasan dari Bastian di lututnya.
"BAS!"
"Gue bantuin mindahin otak lo ke tempatnya. Kan, kasian terus-terusan di dengkul lo mulu. Yang ada tar setiap lo jalan dia jadi penyok."***
KAMU SEDANG MEMBACA
ANINDHA (TAHAP REVISI)
Teen Fiction[SELURUH HAK CIPTA DILINDUNGI UNDANG-UNDANG!] "Menyayangimu adalah sebuah pilihan. Tetap bertekad, atau mengalah?" Sebuah kisah berlatar belakang delta (Δ) atau selisih. Berselisih paham antara saudara sendiri, dan sebuah kisah rumit. Bisa dibilang...