Layaknya kereta X-Press, Rama menuruni tangga dengan cepat. Dibenaknya sama sekali tidak ada keinginan yang jelas, tidak seperti biasanya.
"Rama, sarapan dulu." Celetuk Chef Andhra yang menaruh sebaskom nasi goreng saus tiram di meja makan.
Rama hanya meliriknya saja, tanpa ada nafsu untuk memakannya. Padahal nasi goreng itu selalu sukses membuatnya terpukau dengan aroma lezatnya.
"Nggak, Chef. Rama langsung ke sekolah aja." Ucapnya.
"Tapi bukannya ini terlalu pagi? Master Adnan pun belum datang kan?"
Rama menggeleng,"Nanti aja sarapannya, Chef. Rama harus buru buru." Ucapnya, dan melangkah keluar.
"Hati hati ya!" Teriak Chef Andhra.
"Kalau dokter Bram ada disini.."
Chef Adnan bergidik,"Saya nggak akan dikasih bicara nantinya," racaunya yang tak lagi memikirkan saat Papanya Rama itu matanya memerah karena marah.
***
Rama dengan sikap dinginnya itu berjalan menyusuri koridor sekolah dengan membawa berkas hasil rekapan absen hari ini.
"Za, lo tanya ke Master Adnan sekarang, tentang eskul bela diri kemarin, sana." Ucapnya.
Baru saja mendengar Rama memerintahnya, Zayyan merasakan sekujur tubuhnya bergetar ketakutan. Bukan dikejar hantu, bukan dikejar anjing. Tapi takut bila ucapannya salah didepan Master Adnan dan berakhir dihukum gantung di tiang bendera karena kesalahan ucapan. Bukankah itu terlalu berlebihan?
"Ram, lo tau kan, kalo nyali gue nggak cukup buat ngomong sama Master?"
"Ck, lo nggak bakal dimakan!"
"Tapi gue takut Ram, ntar gimana kalo gue sendiri yang nanyain itu? Gimana kalo gue entar salah ngomong?!" Ketus Zayyan.
Rama akhirnya mengehentikan langkahnya, dan berbalik 45° menghadap Zayyan. Teman lamanya ini begitu penakut, sejak SD malahan.
"Yang gue tau. Master Adnan nggak pernah ngehukum orang kalo masalahnya cuma sepele, kayak lo yang gak berani ngomong ke dia."
"Dia pasti minta lo pelan pelan buat jelasinnya, jangan terburu buru, udah! Selesai!"
"Ya masalahnya gue grogi ngomong Ram! Ntar kayak waktu itu,"
Oke, flashback aktif.
"Engg.. ja-jadi gi-gini Master.. enggg sa-saya-"
"Zayyan, kamu ndak perlu bla bli blu ble blo kayak gitu, mendadak gagap pas saya tanyain. Saya cuman nanya dimana kamu taruh penghapus papannya? Terakhir saya suruh kamu naruh penghapusnya kan di meja guru, lalu?" Tanya Master Adnan.
"Eee.. iya, sa-saya udah taruh d-di meja, tapi pas sa-saya.."
"Ck, benerin ngomong, Za." Bisik Rama, menyingguk bahu manusia disampingnya itu.
"Zayyan. Kamu cuma perlu bilang dimana tempat kamu simpan penghapusnya," tanya Master.
"I-iya Master, saya udah taruh di meja, tapi pas saya pu-pulang, sa-saya.."
"ZAYYAN, DENGARKAN SAYA BAIK-BAIK. KAMU KAN TIDAK GAGAP, JADI BICARANYA YANG BENER."
"Maaf, Master. Dia gugup." Sergah Rama.
"Kamu tau dimana Zayyan taruh penghapus papannya?" Tanya Master Adnan kepada Rama.
"Saya nggak tau, Master. Soalnya kemarin saya langsung pulang."
"Zayyaannn." Master Adnan menatap datar.
"Ee.. i-iya, saya taruh d-di lemari buku, s-soalnya takut k-kalo di makan tikus seperti bulan lalu, h-hehe." Haha hehenya canggung sendiri.
Flasback tidak aktif.
"Bukan itu masalahnya Za!" Ketus Rama, agak dingin.
"Trus?!"
"MASALAHNYA ADALAH."
"LO TERLALU TAKUT!"
"Masa ngomong gitu doang lo takut setengah mati?!" Sambung Rama lagi.
"Iya juga sih, Ram, tapi gue-"
"Rama!" Pekik Laura yang tiba-tiba muncul entah darimana. Gadis itu menghampiri Rama dengan raut yang tak santai, kakinya bergerak tak nyaman seperti ada yang ditahan.
"Hm? Kenapa?"
"Gue titip rekapan absen ya, ke ruang guru, lo mau kesana kan?" Tanya Laura dengan ekspresi aneh.
"Iya, gue mau kesana."
"Engg.. yaudah gue titip ya, makasih Ram!" Ucapnya seraya memberikan berkas rekapan absen hari ini, dan berlari menuju..
Toilet.
Melihat tingkah Laura itu, Rama menggeleng gelengkan kepalanya. Tercetus dibenak licik Zayyan untuk meniru aksi Laura tadi. Seringaian licik dibibir Zayyan terukir, lebih tepatnya dia adalah orang yang sok licik, padahal dia hanya orang yang penakut dan kurang waras.
"Aa.. Ram, gue mendadak pengen buang bom, lo aja yang tanya ke Master Adnan yah! Gue cabut!" Cercahnya seraya berlari entah mau kemana.
"EH! ZAYYAN!"
"BILANG AJA LO NGGAK MAU!"
"ZA!"
"ZAYYAN!"
***
Langkah kakinya yang terus dipercepat, berjalan menyusuri tiap lantai koridor sekolah. Dengan kedua tangan yang membawa sebuah kotak makan berisi sarapan tentunya.
XI MIPA 1.
Gadis itu berbelok ke ruangan tersebut. Ia berdiri diambang pintu dan mendongakkan kepalanya ke dalam kelas. Dilihatnya orang yang ia cari, tengah duduk dibangku barisan paling depan, sambil memainkan ponselnya. Headphone yang selalu menggantung di lehernya membuat Laura tertegun-tegun. Dan untungnya di kelas itu masih sepi.
"Ram." Sapanya.
Rama berdongak, menatap gadis yang memanggilnya di ambang pintu kelas.
"Laura? Kenapa?"
Laura lalu melangkah mendekati pujaan hatinya itu. Senang baginya ketika mendengar Rama menyebutkan namanya. Bukan sok tidak tahu namanya.
"G-gue.."
"Mau nitip rekapan absen ke gue lagi?"
"Bukan. Bukan itu, Ram."
"Trus apa?"
Laura kemudian beranjak dan mendekati Rama. "Gue bawa roti lapis buat lo, itung-itung bales lo yang ngasih cokelat kemarin." Ucapnya, agak gugup.
"Gue gak kuat! Kenapa Rama bisa setampan ini cobak? Apa makanannya?" Batinnya.
Laura lalu meletakkan kotak makan itu di atas meja Rama. Rama menautkan alisnya, dan menonton Laura yang tengah membuka kotak makan itu.
"Dalam rangka apa lo baik sama gue?" Tanya Rama kemudian.
"Kan, gue udah bilang tadi. Karena lo udah ngasih gue cokelat kemarin." Jawab Laura, mengulang.
"Oh, gitu."
"Jangan lupa dimakan ya Ram." Tukas Laura dengan senyum tipis nya.
"Hm. Iya, makasih."
"Kalo gitu gue balik dulu ya?"
"Eh, bentar. Ini nanti kotak makannya gue simpen, buang, koleksi, kembaliin ke lo lagi, apa gimana?"
"Engg.. s-simpen aja Ram, gak apa apa, gue ada se lusin di rumah, hehe."
"Kotak makan se lusin? Emang mau ngasih sarapan ke semua orang di sekolah?" Gumam Rama yang hanya manggut-manggut, membiarkan Laura tersenyum padanya dan beranjak pergi darisana.
***
Pukul 07:15
Dengan ekspresi herannya, Acha hanya bisa mematung ditempat. Bibirnya terperangah kecil, matanya memandang datar.
"Acha baru tau kalo ada orang di bumi ini bisa tidur sambil duduk gitu," batinnya.
Acha menatap Satya yang masih tertidur dengan posisi yang tak wajar. Tubuh kokohnya disenderkan pada pohon pinus yang jaraknya 1,5 meter dari pohon Acha. Kaki kanannya ditekuk, dan satunya lagi diluruskan ke depan. Kedua telapak tangannya menempel pada kepala belakangnya yang disenderkan di pohon. Acha memutar bola matanya malas, sambil menggeleng.
"Kak! Bangun kak! Udah pagi!!" Teriaknya.
Bahkan, teriakan maut Acha tak membuat Satya terbangun.
"Ish! Manusia ini!! Acha harus gimana ya? Biar dia bisa bangun?" Gerutunya.
Acha mengedarkan pandangannya diseluruh penjuru hutan. Ia hanya melihat sekumpulan tumbuhan ilalang, sumur tua, dan pohon pohon pinus yang cukup padat.
"Yah!" Acha menghampiri tumbuhan ilalang itu.
"Acha bakal pake ini!" Ujarnya, pelan.
Ia lalu melangkah pelan mendekati Satya yang masih tertidur. Baru saja Acha hendak menepak nepak ilalang itu ke hidung mancungnya Satya, kedua mata cowok itu langsung terbuka tanpa permisi dan aba-aba Acha. Tapi Acha? Dia sama sekali tak berkutik. Acha membeku ditempat. Satya yang juga ikut ikutan tak berkutik, menatap ekspresi konyol Acha. Lidahnya yang digigit dan menepi pada ujung bibir merah mudanya itu, ditambah lagi tangan kanan yang memegang ilalang dengan posisi yang hendak 'memukul' itu membuat Satya heran.
"Mau ngapain lo?" Ujarnya dengan tubuh membeku seperti patung.
"Engg.. Ach-Acha.." Acha berusaha mencari alasan yang memang benar.
Mata Acha seketika teralihkan pada manik cokelat dari sepasang mata milik Satya yang mampu memabukkan para gadis dibelahan bumi manapun itu, tapi lain cerita sama Acha. Acha sama sekali tidak merasa ada yang istimewa dengan Satya, kali ini. Tapi apa sama dengan nantinya?
Guratan alis yang agak tebal dan agak bertaut samar, hidung mancungnya yang kinclong itu membuat Satya seperti aktor di film Korea.
Rahangnya yang kokoh, wajah glow up tanpa operasi plastik, serta rambut lurus terpangkas rapi, persis model cukuran rambut ala artis Korea. Ditambah lagi jika kacamata fashion antiradiasi yang ia pakai jika perlu saja, membuat Satya seperti pangeran iya, aktor film Korea seperti Nam Joo-hyuk juga iya.
"Apa?" Tukas Satya, dingin.
"Acha cuma mau bangunin kakak doang kok," jawabnya, seraya menjauh.
"Trus ilalang di tangan lo? Buat apaan?"
"Buat.. engg.." ujarnya, agak linglung.
"Ang eng ang eng mulu. Sana." Usir Satya yang langsung dijauhi Acha.
"Untung gue bangun, kalo nggak, bisa luka hidung gue ntar kalo lo nge-gesekin tuh rumput!" Ujarnya, dingin.
"Tapi kan niat Acha cuma.."
Acha menunda kalimat berikutnya ketika matanya tertuju pada sneakers yang dikenakan Satya.
"Eh, bentar bentar. Acha kayak kenal, deh. Nggak asing lagi, ini kan..."
Acha menghampiri Satya dan sedikit membungkuk untuk menatap sneakers itu lebih jelas. Sneakers beda ukuran dengan sol pink yang terlihat jelas saat Acha memicingkan matanya, menatapnya fokus.
"Sneakers Acha?!" Jeritnya memelotot tajam kearah Satya dengan kerutan yang mencuat di keningnya.
Satya juga ikut ikut saja mengernyitkan keningnya. Dia ikut-ikutan bingung, menatap Acha keheranan.
"Sneakers lo?" Satya lalu melihat sneakers yang ia kenakan. Dan kali ini Acha benar.
"Ah! Pantesan kaki kiri gue nyesek pakenya!" Ketusnya.
"Lah?! Lo juga?!" Satya menatap kembali sneakers kirinya yang dikenakan Acha.
Acha kemudian menatap apa yang Satya lihat. Dia memfokuskan sneakers yang ia pakai di kaki kirinya.
"Lah kok?!" Acha berekspresi heran, sangat heran.
Ia kembali menatap Satya. Dengan tatapan yang benar benar panik, heran, dan nggak ngerti.
"Kok bisa tukeran gini sih kak?! Gimana ceritanya?! Dan.. ini sejak . kapan Kak?!" Lirihnya, menatap Satya.
"Sejak kemarin pagi pas gue habis jemur sneakers!" Ketusnya.
"Jemur sneakers? Dimana kak?"
"Di keran deket lapangan."
"Lah, Acha juga sempet jemur sneakers Acha disitu!"
Satya dengan ekspresi datar bertabur kaget dan herannya itu sempat sempatnya saja memandang Acha geregetan. Kalau bukan Acha yang ia hadapi saat ini, mungkin sudah ia bentak habis-habisan atas keteledorannya.
"Ooh!! Bagus ya lo! Berarti lo yang duluan pake sneakers beda kanan kiri!" Pekiknya.
Acha sedikit menganga dan mengernyitkan keningnya, "Lah kok jadi Acha yang salah sih? Yang salah tuh Kakak! Ngapain juga Kakak ikutan jemur sneakers di tempat yang sama?! Ooh, atau kakak mau ngintip Acha, ya kan?!"
"Apaan sih, ngintip? Kurang kerjaan amat gue!"
"Trus apa?!"
"Semua orang juga berhak dan boleh jemur sneakers di tempat itu. Lagian pas gue dateng, gue cuma liat sepasang sneakers doang. Berarti lo yang memulai semua ini!"
Acha terdiam dan membeku ditempat. Ia juga sadar kalo itu memang bener. Acha yang menyebabkan tragedi tukeran sneakers itu terjadi. Kalau saja dia tidak terburu-buru, pasti semua ini tak terjadi. Dan untungnya, sneakersnya tertukar dengan punya Satya, jadi dia tidak perlu menanyai semua peserta yang pernah mencuci dan menjemur sneakers di tempat yang sama. Tapi, jika dia sadar sih.
"Sekarang balikin sneakers gue."
Acha berdecak sebal. Lagi-lagi ia harus kalah dalam hal "Adu Mulut" dengan Satya.
"Nih!"
"Lain kali, tulis aja nama lo di sneakers lo!" Ketusnya sembari mengenakan sneakers nya.
"Sekalian aja pasang CCTV di dalemnya." Gerutu Acha.
***
"Sampai sekarang Acha dan Satya belum ditemukan," keluh Profesor.
"Gue yakin, lo bakal baik baik aja, Cha." Batin Dev.
"Polisi juga belum menemukan jejak mereka." Tambah Olivia, salah satu anggota panitia.
"Bagaimana kalau kita hubungi pihak keluarga mereka?" Sergah Agatha, salah satu anggota panitia juga.
"Iya, benar itu, biar nanti keluarga nya nggak cemas," jawab Olivia.
"Anak anak mereka yang harusnya pulang hari ini, malah tersesat ditengah hutan." Sergah Agatha, lagi.
"Sedangkan seluruh peserta sudah boleh pulang dari tadi," ujar Olivia, seraya menelepon seseorang.
Profesor hanya mengangguk cemas dan mengambil ponselnya.
"Mana mungkin saya menelepon dokter Bram Papa nya Satya, yang ada nanti malah.." racau Profesor yang nggak sanggup lagi melanjutkan kalimatnya, dan bergidik pelan.
Didekatkannya benda pipih itu di telinganya.
"Om Swastyastu, Chef." Ujarnya.
"Iya, Swastyastu Profesor. Ada apa ya?" Jawab Chef Andhra.
Rama yang tengah mengetik pada laptopnya di meja makan, dan melihat Chef Andhra membelakanginya dan sedang menelepon Profesor, ia lalu memasang telinganya baik baik.
"Apa? Hilang? Bagaimana bisa Prof?" Tanya Chef Andhra, panik.
"Hilang? Apanya yang hilang?" Gumamnya berusaha menerka nerka.
Rama mencondongkan tubuhnya kesamping, berusaha menuntaskan rasa kepo nya. Ia memasang telinganya baik baik, berusaha mendengar pembicaraan antara kepala sekolahnya dan chef pribadinya itu.
"Iya Prof, saya tunggu kabar selanjutnya." Tukas Chef Andhra seraya mengakhiri pembicaraan.
"Ada apa Chef? Apanya yang hilang?" Celetuk Rama, penasaran.
"Satya, Satya hilang. Dia tersesat di tengah hutan, dan sampai sekarang belum ditemukan." Jawabnya.
"Tersesat? Tersesat se abad pun no worry. Bikin rumah aja di sana sekalian biar enggak balik-balik lagi kesini." Batinnya sembari melanjutkan mengetik pada laptopnya.
"Semoga Satya sama Acha cepet ditemukan, dan mudah-mudahan mereka dalam keadaan baik-baik saja." Bisik Chef Andhra sembari menumis.
Rama membeku ditempat. Jemarinya berhenti mengetik, ketika nama itu disebutkan berdampingan dengan Satya. Keningnya berkerut. Sesak didadanya, dan geramnya pada Satya turut menghujam pikiran Rama. Dia menarik ucapannya tentang Satya harus bikin rumah saja, yang otomatisnya dia akan bersama Acha di rumah itu.
"Acha Chef?" Ujarnya menoleh.
"Iya, Acha. Saya nggak tau siapa dia. Tapi yang saya tau dari Profesor, dia satu sekolah sama Satya, dan tersesat pun bersama." Jawabnya sedikit kaget.
Chef Andhra kembali menumis,"Kata Profesor, sekolah kalian hanya mengirim 2 peserta, nah itu semua terjebak di tengah hutan." Sambungnya.
Rama tak merespon dalam bentuk ujaran. Ia hanya bergumam dalam hatinya.
"Kenapa harus Acha?!" Bentroknya dalam hati, sembari memukul kasar meja makan.
***
"Om Swastyastu, Miss Radha." Sapa Profesor dalam telepon.
"Iya Swastyastu Prof, ada apa ya?"
"Kenapa Ma?" Celetuk Aidan.
"Profesor Einstein." bisik Ms. Radha.
"Loudspeaker Tante," bisik Bastian.
Ms. Radha mengangguk, lalu menyentuh ikon loudspeaker pada ponselnya.
"Begini Miss, Acha.." Profesor menjeda kalimatnya.
Detik itu juga, Aidan merasa ada yang tak beres. Dia mendekati Mamanya yang langsung berubah rautnya menjadi cemas.
"Kenapa sama anak saya Prof?" Tanya Ms. Radha, cemas.
"Acha tersesat ditengah hutan Miss. Saya harap Anda jangan panik, disini kami sudah meminta bantuan polisi."
Ms. Radha seketika membisu. Pikirannya kacau berantakan. Raut wajahnya seketika sedikit pucat.
"Ma, biar Aidan yang bicara." Bisik Aidan sembari mengambil ponsel dari Mamanya. Dia tak ingin Mamanya itu bereaksi berlebihan.
"Kenapa adik saya bisa tersesat Prof?" Tanyanya.
"Saya juga kurang tau, Aidan. Tapi kamu jangan panik dulu." Jawab Profesor.
"Saya akan kesana sekarang." Ujar Aidan, seraya menutup teleponnya.
"Ma, Aidan bakal jemput Acha." Bisiknya, meyakinkan Mamanya itu.
"Dan, gue ikut." Sergah Bastian.
Aidan hanya mengangguk. Segera ia mengambil kunci mobilnya dan bergegas berangkat ke Kintamani.
Dengan gontainya, Ms. Radha meraih ponselnya, dan berusaha menelepon Laura.
"Halo Tante? Kenapa Tante?" Jawab Laura.
"Halo, Laura, cepet kesini sayang, Acha.."
"Acha kenapa Tante?" Sergah Laura, panik.
"Tante bakal ceritain, kamu kesini ya?"
"Iya Tante, Laura kesana sekarang."
***
Dengan suasana membisu atas perseteruan terkuaknya misteri senakers yang ketuker itu, keduanya memutuskan untuk duduk di dekat sumur tua. Hingga Satya harus memutuskan akan kembali melanjutkan perjalanan menuju lokasi perkemahan.
"Bangun." Ucap Satya sembari menyodorkan telapak tangan kanannya kearah Acha yang masih terduduk saat ia sudah berdiri.
"Kemana, Kak?"
"Lo masih mau tinggal disini?"
Acha yang masih duduk, menggeleng cepat seraya menunduk cemberut.
"Yaudah, bangun."
"Ya tapi mau kemana Kak?!"
"Ke lokasi perkemahan, Cha."
Acha akhirnya mendongak, dan mengulurkan tangannya, sehingga Satya menarik Acha untuk berdiri.
"Emang Kakak tau jalannya arah mana?"
"Enggak."
"Lah terus gimana, Kak?"
"Eh please lo nggak usah bawel. Kita jalan aja dulu, siapa tau dapat petunjuk." Ucapnya seraya mulai melangkah.
"Dapet petunjuk darimana, orang kita aja terjebak kayak gini." Gerutu Acha yang mengikut saja kemana Satya pergi.
Selang beberapa menit mereka berjalan, Acha yang melangkah gontai disamping Satya seketika menegapkan tubuhnya, ketika sebuah objek mengejutkan di ekor matanya.
"Eh Kak!" Sentak Acha dengan mata yang membulat sempurna.
"Ck, apa?" Decak Satya, capek dengan kehebohan gadis ini.
"Itu! Itu pasti rumah penduduk sini, Kak! Nah, kita tanyain aja jalan keluar dari sini lewat mana!" Jawabnya seraya menunjukkan ke sebuah rumah yang agak reyot.
"Masa iya ada penduduk di hutan?"
"Ya kan bisa aja, Kak!" Gerutu Acha seraya beranjak hendak mendekati gubuk itu.
Secepat kilat Satya menggenggam pergelangan tangan Acha, yang membuat Acha terhuyung ke samping.
"Apa sih Kak?!"
Tapi seperti biasanya, Satya tak merespon. Ia langsung berjalan sambil menggenggam tangan Acha, dan tanpa menjawab Acha. Selangkah demi selangkah mereka lalui bersama dengan timbunan awan hitam yang mulai menguasai cakrawala. Acha mendongak keatas dan mendapati bintik air di hidungnya.
"Kak, hujan!"
"Trus? Emang kalo hujan, kaki lo bakal berubah jadi ekor duyung?"
"Ck! Enggak Kak! Kita berteduh aja di rumah yang Acha bilang itu!"
"Enggak."
"Sok ngartis banget sih Kakak ya! Mentang rumahnya jelek-"
"Gue bilang enggak."
"TAPI ACHA PENGEN KESANA SEKARANG JUGA!"
"EMANG KAKAK MAU BASAH-BASAHAN DISINI?!"
"FINE! KALO KAKAK MAU BASAH KUYUP KEHUJANAN GAK APA, TAPI JANGAN AJAK ACHA!" Ketusnya sembari melepaskan genggaman Satya dari pergelangan tangannya, dan berlari menuju rumah reyot itu.
"EH, ACHA!" Teriaknya sembari mengejar gadis itu.***
KAMU SEDANG MEMBACA
ANINDHA (TAHAP REVISI)
Teen Fiction[SELURUH HAK CIPTA DILINDUNGI UNDANG-UNDANG!] "Menyayangimu adalah sebuah pilihan. Tetap bertekad, atau mengalah?" Sebuah kisah berlatar belakang delta (Δ) atau selisih. Berselisih paham antara saudara sendiri, dan sebuah kisah rumit. Bisa dibilang...