4- Sindrom

175 124 47
                                    

Kriinggg...
 
Dering alarmnya itu membuatnya geram. Ia menutup kedua telinganya menggunakan bantal.
 
"AH, BERISIK LO!!" Pekiknya seraya melempar bantal kearah alarmnya, sehingga alarm yang tak berdosa itu terpental ke bawah dan rusak.
 
INI ADALAH ALARM YANG RUSAK KE 99 KALI.
 
Ia bangun dan bersandar pada tumpukan bantalnya. Ia berdecak pelan, berusaha mengusir kantuknya. Dibukanya kedua mata yang masih sayup-sayup itu. Ia lalu melihat jam dinding.
 
Pukul 06:05.
 
"Astaga! Gue kesiangan!!!"
 
Dan begitulah Rama. Sindrom telat bangunnya kumat lagi. Ia dengan rusuh melompat dari kasurnya, dan bergegas mengambil handuk.
 
"Gue cuma punya waktu 25 menit lagi," ujarnya yang tengah menyikat gigi.
 
Sepuluh menit kemudian...
 
Baru saja ia keluar dari kamarnya, ia merasa ada yang kurang pada penampilannya dan ranselnya yang kurang berat hari ini. Keningnya berkerut, mencoba untuk mengingat-ingat.
 
"Astaga, Headphone sama baju silat gue!"
 
Ia bergegas kembali ke kamarnya lagi. Dan setelah ia menemukan apa yang ia cari, ia bergegas turun ke ruang utama.
 
Dilihatnya kembarannya yang masih santai duduk di meja makan, sambil mengunyah roti lapisnya. Begitupun juga dengan Chef Andhra yang juga sibuk dengan penggorengan, panci, teflon, kompor, bumbu dapur, sendok makan, garpu, spatula, piring, mangkok, dan anggota dapur yang lain.
 
"Ini, yang disebut ketua kelas teladan?" Cercah Satya.
 
"Diem lo, Sat."
 
Rama meraih susu cokelat favoritnya, dan meneguknya. Melihat kelakuan kembarannya itu, Satya menghela berat napasnya.
 
"Disini nggak memungut pajak, buat orang yang duduk." Ujarnya kemudian.
 
Rama meletakkan gelas susu cokelatnya yang sudah kandas itu di meja.
 
"Bahasa lo ketinggian, gue nggak paham." Jawabnya, dan melangkah menuju pintu keluar.
 
"Rama, kamu nggak sarapan dulu?" Celetuk Chef Andhra yang meletakkan mangkuk besar berisi nasi goreng saus tiram, dengan telur ceplok wortel itu di meja makan. Aroma makanan itu membuatnya tergoda. Rama menelan ludahnya, tapi ia benci saat makan disebelah Satya.
 
"Astaga, kenapa nasi goreng itu harus ada sekarang?!" Batinnya.
 
Melihat abangnya yang duduk dengan kedua alisnya yang dinaik turunkan, memperlihatkan senyum kemenangannya, dan dengan mulut yang mengunyah nasi goreng saus tiram favorit mereka, Rama menjadi geram.
 
"Nyebelin banget sih lo, Sat!"
 
"Apa?" Jawabnya dengan mulut penuh.
 
"Kali ini Rama nggak sarapan, Chef, nggak nafsu." Ujarnya memandang geram kearah Satya.
 
"Ah, pas banget kalo gitu. Chef Andhra duduk disini, kita sarapan bareng." Ujar Satya dengan senyum kemenangannya itu.
 
Chef Andhra menatap kedua saudara kembar itu secara bergantian.
 
"Awas, lo Sat!" Batin Rama, seraya melangkah pergi.
 
"Saya heran dengan sikap kalian berdua, selalu saja bertengkar,"
 
Satya tertawa kecil. Ia melihat arlojinya.
 
Pukul 06:10.
 
"Gue tau, jam di kamar lo salah." batinnya.
 
Sedangkan disana, Rama yang tengah mengendarai motornya, masih mengiang-ngiang aroma nasi goreng saos tiram buatan Chef Andhra. Bulir tiap nasi yang dibumbui.. saos tiram yang gurih.. ditemani telur ceplok.. Rama sungguh tak bisa menahannya.
 
Rama akhirnya berhenti di pinggir jalan. Ia menggasak ponsel di saku celananya, dan menelepon Chef Andhra.
 
Di rumah, Chef Andhra yang tengah sarapan bersama Satya, melihat ponselnya yang berdering.
 
"Rama?" Chef Andhra heran.
 
"Angkat Chef, full volume," bisik Satya.
 
Chef Andhra akhirnya mengangkat teleponnya.
 
"Halo Rama?"
 
"Halo Chef, enggg.. Rama cuma.."
 
"Kenapa Ram?"
 
Rama mengatur pernapasannya agar tidak grogi, udah kayak mau ketemu presiden aja!
 
"Chef, inget pesen Rama ya, nasi goreng saos tiramnya, sisain sedikit buat Rama. Dan jangan sampe Satya tau soal ini, nanti dia malah... ya gitu deh, Chef, Chef Andhra kan tau sendiri gimana nyebelinnya makhluk es macam Satya itu. Nah ntar kalau Satya udah berangkat sekolah, Rama bakal pulang sebentar."
 
Mendengar permintaan konyol saudara kembarnya itu, Satya mengembungkan kedua pipinya, berusaha agar tidak tertawa.
 
"Ooh, masalah itu.."
 
"Nggak nafsu." Potongnya, yang meniru gaya bicara Rama tadi, dan akhirnya tertawa.
 
Mendengar suara abangnya itu, Rama menjadi salah tingkah. Ia mengakhiri teleponnya.
 
"Ah, Satya!" Pekiknya, geram.

***

ANINDHA (TAHAP REVISI)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang