Senyum sedetikmu itu,
yang selalu membuatku terbawa ke perasaan lain, yang jauh dari dimensi dimana sisi individu-ku selalu monoton.Kini kau mengubah segalanya.
Ya. Segalanya, termasuk raut wajah dan denyut nadi yang tak lagi sama seperti dahulu saat aku belum mengenalmu.•
•
"Acha!!!" Satya terus mencari Acha.
Sudah setengah jam Satya berteriak hingga ia sudah berada di tengah hutan, ia masih belum menemukan Acha.
Sedangkan di sumur tua itu, Acha sudah capek teriak teriak minta tolong. Tubuh Acha semakin lemas karena menguras tenaganya untuk teriak minta tolong. Ditambah lagi kakinya yang terendam air sumur membuat Acha menggigil.
"Tolongin Acha," ucapnya, lemah.
Teriakannya sudah tak se keras tadi. Sudah 30 menit Acha terjebak di sumur tua itu, dan menghabiskan waktu sebanyak itu untuk berteriak sekeras-kerasnya.
"Acha!! Lo dimana?!!" Teriak Satya.
Acha mendengar teriakan Satya, tapi cuma sayup sayup. Dia menengadahkan kepalanya, menatap keluar sumur dan hanya mendapati langit yang terlihat jelas disela-sela ranting pohon pinus.
"Kayak ada yang manggil Acha," gumamnya. Dari sana, ia bisa melihat langit yang mulai senja.
"Apa ada orang disana?! Tolong!! Acha disinii!!!" Pekiknya berusaha berteriak sekeras kerasnya.
Sedangkan Satya, ia mendengar suara Acha dengan jelas karena telinganya nggak ada kotoran, baru dibersihkan kemarin.
"Acha?!" Sahutnya.
"Tolonggg!!"
"Achaaa lo dimana Cha?!!"
"Acha disini!! Tolong," teriakan Acha semakin pelan.
Acha mulai tak bisa berdiri lagi. Kakinya sudah tak kuasa untuk tetap tegak. Dan dia memutuskan untuk berjongkok, tapi bukan mau BAB.
"Acha kerasa udah kayak mati suri," ujarnya.
"Acha!!" Teriak Satya.
"Tolongin Acha!!!" Acha berusaha untuk teriak lagi.
Satya terdiam sesaat. Ia memasang telinga untuk bersiaga mendengar lagu suara yang mirip Acha itu, dan itu memang Acha.
"Itu suara Acha? Dimana dia? Dia deket deket sini, gue yakin." Ujarnya.
"Acha!!!!" Teriaknya lagi.
"Tolong!! Kakak, adik, kakek, nenek, bapak, ibu!!! Acha di dalem sumur ini tolongin Achaaa!!!" Teriaknya.
"Suaranya dari.." Satya menoleh pada sumur tua, tak jauh dari tempat ia berdiri.
"Sumur tua itu?" Satya beranjak mendekati sumur itu, keheranan.
"Acha?! Lo ada di dalem?!"
Mata Acha terbelalak mendengar suara itu. Suara yang memanggilnya dekat sekali. Ia mendongak keatas lagi, melihat orang yang ada di luar sana.
"Kak Satya!! Acha di sini Kak!! Plis bantu Acha keluar dari sini!" Ujarnya, lega.
Satya sebenarnya tak bisa melihat apapun didalam sumur itu karena gelap, dan membuktikan bahwa sumur itu falamnya bukan main. Dia juga merasa bahwa di dalam sumur itu adalah benar-benar Acha, karena dia mengenal gadis itu dari suaranya. Satya merasa sedikit lega, karena setidaknya dia sudah berhasil menemukan gadis itu.
"Tunggu Cha! Gue bakal keluarin lo dari situ!" Ucapnya seraya mengeluarkan tali tambang di dalam ranselnya.
Satya langsung mengikat erat erat tali itu pada batang pohon yang ada di dekat sumur tua itu. Ia lalu melempar ujung tali lainnya ke dalam sumur.
"Naik," suruhnya.
Setelah mendapati ada seutas tali tambang yang lumayan tebal itu dekat dinding sumur, Acha merasa sebal.
"Jadi Acha harus pake ini untuk keluar? Acha bukan atlet panjat tebing Kak!" Teriaknya, agak lesu.
"Trus lo mau yang gimana?! Jelas jelas ini kondisi daturat! Lo mau, seabad diem disitu?!"
"Enggak!!"
"Yaudah naik!"
Acha memutar bola matanya malas. Ia berdecak sebal, sangaaattt seball. Telapak tangannya yang mengekerut karena terlalu lama berada di air, membuat Acha tergelincir saat mencoba naik. Tapi, dalam sekejap telapak tangannya itu langsung mengeluarkan cairan merah bernama darah karena bergesekan dengan tali tambang yang tebal dan permukaannya juga sangat kasar.
"Ah, kan!!" Ketusnya sembari mengibas ngibaskan telapak tangannya, berupaya agar rasa perihnya mereda.
"Cha, lo kenapa?!" Ucapnya seraya mengarahkan senter ponselnya kearah sumur.
"Tangan Acha luka! Talinya terlalu-"
"Lo nggak kuat naik?!"
Acha menggeleng. Tapi Satya membuang napas beratnya. Dia sudah tidak ada pilihan lain lagi selain rencana cadangannya berikut ini.
"Lo tunggu disitu! GUE TURUN!" Teriaknya.
Acha mendongak,"Lah kok turun?! Ntar kita berdua bakal terjebak Kak!! Siapa lagi yang bakal nolongin Acha?!!"
Satya tak merespon. Ia langsung turun ke dasar sumur tua itu tanpa menghiraukan ocehan Acha.
"Kan Acha udah bilang, ntar siapa lagi yang mau nolong?" Cercahnya, lesu.
Lagi lagi, Satya tidak ngerespon sama sekali. Ia hanya menatap wajah Acha yang semakin pucat pasi. Tanpa basa basi roti berjamur lagi, Satya sedikit menekuk kedua lututnya dan membungkukkan punggungnya. Ia lalu menempel kedua telapak tangannya pada tempurung lututnya, dan membelakangi Acha.
"Naik." Tukasnya, dingin.
"Maksudnya, Kakak mau gendong Acha trus naik?" Cercahnya, tak yakin.
"Naik, Cha."
"Tapi ntar gimana caranya naik, Kak?"
"Gue bilang naik. Percaya sama gue." Ujarnya menatap Acha sekilas.
Acha berdecak pelan. Mau nggak mau, ia mesti menuruti Satya kalau dia nggak mau jadi tarzan. Dan setelah Acha naik ke punggung Satya, cowok itu lalu menolehkan kepalanya kesamping.
"Udah?"
Acha mengangguk. Satya kemudian memberikan Acha sebuah sabuk untuk dilingkarkan ke pinggang mereka. Setelah sabuk itu dikunci, barulah Satya memulai aksinya.
"Pegangan yang kuat, kita naik sekarang." Sergahnya, dingin.
Satya kemudian menggenggam erat tali tambang itu, dan berusaha untuk memanjatnya. Ia mengerahkan semua tenaganya, fokusnya, pada tali itu. Sempat tangannya tergelincir, namun selanjutnya ia melilit tali itu di pergelangan tangannya.
"Astaga, Acha kerasa kayak akting di film film action!" Gumamnya, seru sendiri.
Saat detik detik mereka akan tiba di permukaan sumur, mata Acha sontak kaget. Sesuatu yang bisa dibilang hewan berbisa, menggeliat di dinding sumur itu, tak jauh dari mereka. Bukan ulat, tapi ular.
"Kak, eeengg... i-itu ada ular Kak." Bisik Acha pada telinga Satya, sedikit panik namun tak ingin kepanikannya itu membuat perhatian Satta teralihkan, dan otomatis mereka akan jatuh dan harus mengulang lagi.
"Gue tau. Lo jangan panik. Ntar kita bisa tergelincir." Jawabnya, enteng.
Satya masih melanjutkan aksi panjat sumurnya itu. Dia memusatkan seluruh perhatiannya pada satu tujuan; keluar dari sana secepatnya.
"Tapi ular itu makin deket Kak, gimana kalo ntar Acha yang dipatok?"
"Lo nggak bakal dipatok."
"Tapi ntar gimana kalo Kakak yang dipatok, trus kita jatuh lagi di sumur, dan nggak bisa keluar?"
"Acha, diam." Tekan Satya berusaha fokus.
"Tapi Acha takut! Acha nggak mau hidup Acha berakhir mati di hutan ini karna dipatok ular Kak!" Gidiknya, mulai cerewet lagi.
Acha mengeratkan kedua tangannya yang melingkar pada leher Satya, dan membenamkan wajah manisnya pada punggung Satya. Acha menutup matanya rapat rapat, karna takutnya yang semakin menjadi-jadi.
"Gue janji lo nggak bakal dipatok." bisiknya berusaha membuat Acha tidak panik.
***
"Akhirnya Dewaa!!! Cancel juga Acha jadi manusia lumut mendadak," teriaknya, kegirangan.
"Kalo nggak ada gue, mungkin lo bakal-"
"Makasih, Kakak!" Sergahnya seraya berlari mendekap Satya. Mata cowok itu melebar, sedikit kaget dengan hal itu. Dan lagi, Acha adalah gadis pertama yang berani memeluknya. Tangannya yang tadinya menggulung tali tambang yang digunakannya untuk memanjat sumur, seketika di pause mendadak.
Tapi, kali ini Acha cuma menganggap Satya seperti Aidan yang selalu membantunya untuk menangkap cicak di atas lemarinya. Tapi ini bukan aksi menangkao cicak, melainkan Satya sudah menyelamatkan Acha biar nggak jadi tarzan di sumur itu.
"Mungkin Acha bakalan lumutan di sumur tua itu." Lirihnya seraya melerai pelukannya.
"Hm. Sama sama." Jawabnya, dingin. Dia hanya berusaha mengatur ekspresi biar tidak gugup. Itu saja.
"Acha tadi panik banget tau, Kak. Kan, Acha takut sendirian disana, jadi Acha teriak." Tukasnya sembari meniup niup luka di kedua telapak tangannya.
"Lo bilang tangan lo luka?" Tanya Satya yang langsung diangguki gadis itu.
"Duduk disitu, ntar gue obatin." Sambungnya seraya menunjukkan 2 pohon rindang dekat sumur.
"Tapi ini-"
"Ck, gue bilang duduk." Potongnya. Sorot matanya dingin membeku.
"Iya iya!" Acha berjalan gontai menuju pohon itu.
Sampai disana bukannya langsung duduk, gadis itu malah teridam bingung. Ada dua pohon yang ditunjuk Kakak Seniornya itu, tapi yang namanya Acha satu ini ingin lebih mempertimbangkan segala hal, termasuk pohon mana yang lebih bagus untuknya berteduh.
"Kanan, apa kiri ya?" Acha melayang lanyangkan jari telunjuknya kearah dua pohon itu.
Melihat Acha yang kebingungan itu, Satya melemaskan tubuhnya, serta melengos sebal.
"Duh, Cha! Lo tinggal duduk aja ribet!" Ketusnya kemudian.
Raut wajah Acha mendatar. Ia menatap Satya sekilas dengan sebal nya.
"Kadang nih ya, dia baik, baiiiiikk bangeett. Kadang kalo dingin, dingiiiin bangeett." Gerutunya.
"Ngomong sama siapa lo barusan?"
"Sama pohon pinusnya!" Ketusnya, ikut-ikutan.
Tanpa menunggu jawaban manusia es itu, Acha bergegas beranjak ke pohon itu dan duduk dibawahnya. Sesekali ia mengelus kedua lengannya karena kedinginan. Dan beberapa saat kemudian setelah cowok itu selesai menggulung tali tambangnya dan memasukkannya ke dalam ranselnya, Satya kemudian menghampiri Acha.
"Sini, tangan lo."
Acha menjulurkan kedua telapak tangannya yang terluka itu. Satya langsung mengambil salep luka dan kain kasa dari dalam ranselnya.
"Itu ransel, apa kantongnya Doraemon sih? Tali tambang dia taruh disitu, trus salep, kain kasa, sama kotak obatnya juga ada disana?" Gumam Acha, heran.
"Kak, di ransel Kakak itu, ada toko es krim nya juga nggak?" Ucap Acha, tanpa ragu.
"Nggak ada." Jawab manusia itu.
"Toko boneka unicorn ada nggak Kak?" Tanya gadis itu lagi.
"Ck, nggak ada, Cha." Ucapnya, mulai sebal.
"Gimana ceritanya, lo bisa ada di dasar sumur tua itu? Nyari apa lo disana? Mau berenang?" Sergahnya sembari mengoleskan salep pada telapak tangan Acha.
"Acha nggak salah Kak. Masalahnya, Acha cuma jadi korban disini."
Satya menautkan alisnya, bingung,"Maksud lo?"
"Acha di dorong Kak, Acha di dorong! Padahal Acha nggak pernah berbuat salah sama mereka."
"Di.. di dorong? Mereka siapa? Siapa yang dorong lo?"
Acha mengangguk,"Tapi, Acha nggak kenal sama mereka. Tapi yang jelas, mereka cewek cewek satu tenda sama Acha." Jawabnya.
Satya mengernitkan keningnya. Dia berpikir bahwa pasti gadis gadis gila yang satu bus dengannya itu yang melakukannya setelah cemburu dan marah kepada Acha karena Satya secara tidak sengaja mengecup keningnya.
"Lo inget wajah mereka?"
"Iya, Acha inget. Inget banget malah! Dan mereka juga bilang kalo mereka tuh para fans gilanya Kakak!" Jeritnya, memelotot kearah Satya.
Satya yang memperban telapak tangan Acha menggunakan kain kasa, seketika ia mengikat erat ujung kain kasa itu karena sebuah spontanitas.
"Aduh!! Sakit Kak! Gimana sih?" Acha menarik tangan kirinya itu.
"Maaf maaf, gue nggak sengaja. Tadi lo bilang apa? Fans gue?" Satya meyakinkan.
Acha mengangguk,"Iya! Mereka tuh udah kayak psikopat! Di tenda aja mereka liat liat Acha pake tatapan serem gitu Kak!" Jelasnya.
Satya tak merespon. Ia lalu melanjutkan memperban tangan kanan Acha. Wajahnya memang biasa saja. Tapi dihatinya, dia memendam geram pada cewek cewek yang Acha bicarakan.
"Udah." Cercahnya seraya memasukkan kembali salep dan kain kasa ke dalam ranselnya.
"Makasih, Kak." Jawab Acha sembari menunjukkan gigi gingsul manisnya itu.
Satya berdeham,"R-rambut, rambut lo mau terus sungar kayak gitu? Maksud gue, gak diiket aja? Sumpah gue boring liat rambut acak-acakan." Ucapnya, terlalu jujur.
Acha menurunkan kedua sudut bibir cantiknya. Bibirnya mencabik lucu, sangat menggemaskan.
"Apa sih kak?! Sungar sungar?! Rambut Acha bagus gini kemarin habis dicatokin sama Mama! Acha gini gini tetep cantik!"
"Kata siapa?"
"Kata Aidan!"
"Semua abang di dunia ini selalu bilang adeknya cantik biar gak dicakar!" Jawab Satya.
"Ya emang Acha cantik dari kecil kok!"
"Terserah lo, sekarang iket tuh rambut kalo gamau gue tinggal."
Acha berdecak sebal. Ia lalu berusaha mengikat rambutnya, namun ia terlihat kesusahan dan rusuh sendiri karena tangannya yang diperban. Dan, Satya yang menyaksikan hal itu tentu tak bisa membiarkannya saja.
"Ck, sini biar gue iketin! Ribet amat lo!" Ketusnya seraya merebut ikat rambut yang Acha genggam tadinya.
"Tangan Acha sakit, Kak! Ya mana bisa ngiket rambut!" Jawab Acha, dengan nada tinggi.
Satya tak merespon. Ia sangat sibuk bermain dengan benda bulat yang bolong ditengahnya seperti donat dan bernama ikat rambut itu, yang sebelumnya tak pernah ia kenal sama sekali dalam hidupnya.
Acha yang merasakan kesebalannya memuncak karena sejak dari tadi Satya belum selesai selesai mengikat rambutnya.
"Gimana sih Kak? Bisa?"
"Ck, sabar!"
"Halah, palingan Kakak gak bisa ngiket rambut Acha, ngaku!"
"Ck, bawel amat lo."
Acha mendengus sebal, bola matanya berputar malas. "Liat tangan Acha! Gini caranya."
Acha mulai menunjukkan gerakan mengikat rambut, yang tentunya langsung diikuti Satya.
"Udah?" Tanya Acha yang mem-pause sebentar tiap adegan mengikat rambutnya.
"Hm. Trus gimana?"
"Dan terakhir.." Acha menunjukkan tutorial terakhir.
"Gini." Sambungnya.
"Gini?"
Satya menarik rambut Acha disaat terakhir, sehingga membuat kepala Acha terpelanting kebelakang, tepatnya mendarat di tulang selangka Satya.
"Aduh! Gimana sih kak?! Kok rambut Acha malah ditarik?! Sakit tau!" Ketusnya seraya berbalik dan menatap Satya tajam.
"Lah tadi gerakan tangan lo gitu ya gue ikutin!"
"Ya tapi nggak usah tarik rambut Acha kak!"
"Yaudah maaf."
"GAK TULUS!"
"Maaf, Acha." Ucapnya, lelah.
Tapi, Acha malah memandangnya datar. "Coba deh, Kakak bilang dulu Acha cantik. Masih belum tulus kedengerannya," lirihnya, alay.
"Harus?" Tanya cowok itu, malas.
"IYA, HARUS!"
Satya melengos, menuruti saja keinginan gadis ini supaya cepat selesai. "Maaf, Acha cantik." Ujarnya, datar tanpa ekspresi. Dan akhirnya gadis didepannya itu bersorak senang.
"Acha emang cantik, murah senyum lagi." Jawabnya sembari mempertontonkan senyum dan gigi gingsul manisnya itu.
Dan lada akhirnya, Satya terjebak dalam dunia per-Acha-an yang memiliki wajah manis pengundang diabetes massal itu.
"Ee.. i-iya iya." Jawabnya, gugup.
Deg..
Detak jantung Satya akhirnya tanpa permisi dan tanpa ijin, berpacu dengan cepat ketika Acha menatapnya.
Deg..
"Betewe itu suara apa?" Gumam Acha, mengerutkan keningnya.
Dan Satya benar-benar tidak bisa mengontrol detak jantungnya itu, ketika Acha semakin mendekatinya karena heran.
Deg..
"Suaranya berasal dari.."
Acha menempelkan daun telinganya di dada Satya, mendengar organ merah bernama jantung itu semakin berdegup kencang tak keruan didalam sana.
"Lo..lo mau ngapain?"
"Kakak.. kok deg degan? Kenapa?" Tanyanya seraya kembali duduk.
"Enggg... enggak kok, gue biasa aja." Jawabnya seraya beranjak berdiri.
"Senyum sedetik Acha buat gue jadi nggak waras gini!" Gerutunya, sembari mengacak acak rambutnya sendiri.
Acha memiringkan kepalanya, berusaha menerka nerka.
"Kakak punya penyakit jantung?" Tanya gadis itu.
"Nggak."
"Terus? Kakak lagi serangan jantung?"
"Nggak, Cha."
"Oh! Atau Kakak lagi senam jantung?"
"Nggak!"
"Atau, jantung Kakak udah nggak betah disana terus mau lompat keluar?"
"ENGGAK, ACHA!"
***
"Maaf Prof, tapi tadi Satya bilang mau cari Acha. Katanya mungkin Acha masih ada disekitar sana, dan sampai sekarang mereka belum tiba disini." Papar Dev.
"Gimana ceritanya Acha bisa pisah dari rombongan kelompoknya?" Tanya Profesor yang mulai panik.
"Saya juga kurang tau soal itu, Prof." Jawab Dev.
"Gawat ini, bagaimana kalau sampai besok mereka nggak kembali?" Gerutu Profesor sembari mengambil ponselnya, berusaha menghubungi mereka satu persatu.
Namun, raut wajah Profesor makin kacau setelah kedua nomor yang ia hubungi tak kunjung diangkat.
"Hp mereka nggak aktif," ketusnya.
"Kita minta bantuan polisi aja Prof, gimana?" Sergah salah satu panitia.
"Iya bener, mungkin aja mereka tersesat dan nggak tau jalan untuk kembali," sergah yang lain.
Profesor hanya mengangguk cemas. Melihat itu, geng para fans Satya menjadi heran, panik, dan geram tentunya.
"Gimana bisa Satya bisa ikut ikutan terjebak?!" Gerutu si Hatters Penyihir.
"Nanti mereka bisa bersama lagi dong! Ah, rèsè banget!"
"Bukannya buat mereka saling pisah, malah kebalik faktanya!"
"Mereka malah bersama!" Rengek mereka, bersamaan.
FIX! Rencana geng itu GAGAL TOTAL!
GAME OVER.
***
Pukul 17:25.
Acha dengan kebosanan stadium akhirnya mengorek orek tanah dengan ranting pohon kecil, layaknya anak anak TK. Ia menggambar aksi penyelamatan Satya kepadanya. Gambar itu.. bagus, sih. Tapi lebih mirip gambar anak TK. Kedua kakinya ditekuk dan masih duduk dibawah pohon pinus dekat sumur.
Satya yang menonton tingkah kekanak-kanakan Acha, menjedanya untuk membuka hoddie putihnya karena udara semakin dingin, seiring sore yang akan berganti menjadi malam.
"Lo ngapain corat coretin tanah kayak gitu?" Ucapnya.
"Acha bosen Kak! Sampe kapan Acha harus duduk di sini?! Acha mau balik ke lokasi perkemahan!" Gerutunya.
Satya membuang napas kasar.
"Baliknya besok aja, udah sore." jawabnya, enteng.
"Maksud Kakak kita harus diem di hutan malam ini gitu?!"
Satya mengedikkan kedua bahunya,"Mau gimana. Kita terjebak."
Acha terbangun dari duduknya dan berdiri. Dia merasa tak terima dengan ini, tapi kan semua ini berawal darinya. Kalau saja Acha tak terpengaruh dengan pancingan kucing anggora berbulu putih itu, mungkin mereka tak disini.
"GAK BISA!"
"ACHA GAK MAU!"
"NGGAK MAU!" Ketusnya.
"Yaudah, silahkan lo panggil helikopter buat turun disini sekarang."
"KAK!! ACHA SERIUSS!" Pekiknya seraya memukul-mukul pundak manusia es itu.
"Ya, gue juga serius."
"KALO SERIUS KOK JAWABNYA ENTENG?!"
"Kita udah terjebak, Acha. Mau gimana, teriak sekeras apapun, disini gak ada orang, ini ditengah hutan. Dan ini semua gegara lo."
"Kok jadi Acha?!"
"Pikir sendiri." Ujarnya seraya melanjutkan membaca bukunya.
"KAAAAKK!!" Rengeknya sembari menggoyang-goyangkan pundak Satya ke kiri dan kekanan.
"Apa Cha?" Jawabnya yang masih sibuk dengan bukunya, ditambah dengan kaca matanya yang masih bertengger di depan matanya.
"Acha mau pulang Kak! Acha gak bisa disini! Nanti digigit nyamuk!" Rengeknya.
"Gue bawa obat nyamuk bakar."
"Tapi nanti malem pasti gelap, Kak, dingin lagi! Acha takut gelap!" Ucapnya mencari alasan.
"Nanti gue buat api unggun."
"Nih manusia selalu punya jawaban! Acha harus buat alasan biar Acha nggak tidur disini!" Gumamnya.
"ACHA GAK BISA TIDUR TANPA BONEKA ICE BEAR ACHA!" Rengeknya.
Satya berdecak. Ia menutup bukunya dan melepas kacamatanya.
"Peluk gue." Jawabnya.
"APA? KOK KAKAK BILANG GITU? ACHA GAMAU! ACHA ITU MAHAL KAK, MAHAL!"
"Emang berapa mahalnya?"
"CK! TRILIUN TRILIUN TRILIUN MILYAR JUTA DOLAR!" Gerutu Acha, sebal.
"Gue bercanda, Cha. Disini, lo harus belajar mandiri. Gue tau lo nggak nyaman disini, tapi kita udah bener bener tersesat dan gue nggak tau harus balik ke lokasi perkemahan lewat jalan mana." Ujarnya. Tapi setelah itu, Satya menatap Acha serius.
"Tapi gue janji. Gue bakal jagain lo, Cha." Sambungnya.
Acha terdiam. Ia tak mampu berkutik. Dengan pasrah ia harus ikut arahan kakak seniornya itu agar tidak tambah tersesat lagi.***
KAMU SEDANG MEMBACA
ANINDHA (TAHAP REVISI)
Teen Fiction[SELURUH HAK CIPTA DILINDUNGI UNDANG-UNDANG!] "Menyayangimu adalah sebuah pilihan. Tetap bertekad, atau mengalah?" Sebuah kisah berlatar belakang delta (Δ) atau selisih. Berselisih paham antara saudara sendiri, dan sebuah kisah rumit. Bisa dibilang...