22- Awal Kedekatan

30 2 1
                                    

Langkah kaki itu berhenti saat ekor matanya melihat hal yang memacu keinginannya untuk kesana. Rama, pemuda itu diam-diam memasuki kamar kembarannya karena pintunya tidak dikunci.
 
"Tumben amat tuh beruang kutub nggak konciin pintu kamarnya. Biasanya sampe digembok, dikrangkeng, ah, segala macem." Umpatnya yang tiada dosa nyelonong masuk saja.
 
Ruangan yang tertata rapi itu tersapu oleh pandangannya. Sudah rapi, bersih, tapi dengan segala kecerobohannya, manusia itu malah tidak sengaja menyenggol tumpukan buku yang ada diatas meja. Untung saja Tuhan masih baik kepada Rama yang ceroboh ini. Kalau tidak, gitar kesayangan Satya akan ikut terbanting ke lantai bila Rama tidak cepat menariknya dari hukum gravitasi. Dan jika sampai gitar itu bekerjasama dengan gaya gravitasi bumi, maka turkutuklah Rama; Satya akan mengumumkan perang saudara.
 
Terlepas dari itu, satu buku bersampul cokelat jatuh ke lantai, memuntahkan beberapa helai foto. Mata Rama memicing, menunduk untuk melihat lebih jelas siapa orang yang ada di foto-foto itu.
 
Alisnya bertaut, saat mendapati wajah yang ia kagumi tepat berada di samping wajah beku yang terlukis sedikit senyum milik kembarannya itu.
 
Hoodie pink, rambut indah tergerai dengan sedikit kunciran diatasnya, dan tangan kanan yang memeluk seekor anak kucing berbulu putih. Jari telunjuk dan jari tengahnya yang membentuk huruf "V", dengan senyum familiarnya disertai mata yang menyipit. Disampingnya, pemuda jangkung yang terlihat sedikit tersenyum diraut wajahnya yang dingin. Hidung mancung pemuda itu memerah, berusaha terlihat baik-baik saja saat berada didekat si kucing.
 
Foto, yang berlatarbelakang puluhan tenda hijau dan spanduk bertuliskan "Selamatkan Bumi, Sahabat Alam Go Green" itu sanggup direspon oleh gemeretak gerahamnya. Rahang kokohnya menguat, seakan menambatkan rasa bencinya pada foto itu.
 
"Ram, lo ngapain masuk kamar gue?"
 
Suara berat itu sanggup membuat kepalanya menoleh. Ia mendapati Satya yang berwajah suntuk, memegang laptop yang masih menyala ditangan kanannya.
 
Mereka beradu pandang, menilik satu sama lain. Satya yang curiga melihat apa yang digenggam kembarannya itu segera merebutnya.
 
"Buat apa lo lihat ini?" Tanyanya, sembari melihat foto itu, lalu kembali menatap Rama.
 
"Sejak kapan lo akrab sampe foto bareng Acha?" Tanya Rama, to the point.
 
Satya tak langsung menjawab. Ia meletakkan dulu laptopnya diatas meja belajarnya, mengumpulkan foto-foto kebersamaannya dengan Acha yang berserakan di lantai, baru menatap wajah tak santai milik kembarannya itu.
 
"Sejak kapan lo ngurus hati dan urusan gue?" Jawabnya kemudian.
 
"Hati? Maksudnya hati, apaan?" Tanya Rama lagi.
 
Satya tersenyum sinis.
 
"Hati, yang terbuka setelah sekian lama tertutup." Responnya.
 
***
 
Langkah kakinya dipercepat, Laura menelusuri koridor sekolah untuk menemui Rama. Tangannya memegang buku matematika; walau seumur hidupnya setelah ia lahir dari rahim Mamanya, ia sama sekali tak doyan dengan mapel itu.
 
"Ram..," panggilnya pelan, tak mau menganggu Rama yang tengah sibuk dengan ponselnya.
 
"Hm?" Dehamnya, tanpa menatap orang yang memanggilnya.
 
Laura mendekat, berusaha menenangkan degup jantungnya yang sejak tadi jedag jedug ditubuhnya.
 
"Gue boleh minta diajarin materi limit trigononetri nggak? Soalnya besok ada ulangan harian, gue takut nilai gue nggak lulus." Ucapnya.
 
Rama akhirnya mematikan ponselnya, menatap Laura yang sudah berdiri didepannya itu. Gadis itu memasang wajah cerianya, seperti biasa. Rama kemudian mengangguk, menyuruh Laura duduk disampingnya.
 
"Makasih, Ram." Ucapnya, tanpa mendapat respon dari manusia disebelahnya itu.
 
"Mana yang harus gue ajarin?" Tanya nya, membolak balikkan buku catatan milik Laura. Tulisannya memang rapi, namun ada beberapa materi yang kurang lengkap walau telah dipaparkan guru dipapan tulis.
 
"Emm.. ini Ram. Bagian ini, gue nggak ngerti darimana dapet akar ini." Ucapnya, menunjukkan yang ia maksud.
 
"Oh, ini." Pemuda itu kemudian memulai ceramahnya.
 
"Dari soal lo udah dapet diketahuinya yaitu limit x mendekati tak hingga √2x-5 - √3x+1  lo rubah dulu minusnya ke plus. Trus lo jadikan sekawan."
 
DAN BLA BLA.
 
Laura manggut-manggut, mereka berdiskusi dengan serius, dan tak memedulikan teman-teman sekelasnya yang mulai datang sedikit demi sedikit dan membicarakan kedekatan mereka. Ya, Laura sengaja datang pukul enam pagi hanya untuk menanyai Rama. Ia menatap wajah rupawan pemuda itu, sangat serius mengajarinya. Laura ingin tertawa atas wajah Rama yang serius itu, namun ia urungkan. Tak menyangka ia diperbolehkan duduk disamping manusia idaman itu. 
 
"Gimana, paham?" Tanya Rama, menyudahi paparannya.
 
"Jadi, kalau a<c hasilnya minus tak hingga kan Ram?" Tanyanya, memastikan lagi.
 
Rama mengangguk. Ia kemudian mendengar ungkapan bahwa Laura telah memahami paparannya itu. Ia kemudian menarik ranselnya, membuka resleting ranselnya dan mengeluarkan sebuah buku paket matematika miliknya yang diincar banyak siswa. Mata Laura membelalak, tak percaya.
 
"Buku ini.. kan terbatas banget! Lo yang punya?" Tanya Laura, bibirnya terbuka lebar seperti goa.
 
Rama mengangguk sekali.
 
"Pelajari itu, gue yakin lo pasti paham karena buku itu mudah dipahami." Ucapnya, dengan sorot mata dinginnya.
 
"Lo.. ngasih pinjem ini ke gue?"
 
Rama mengangguk.
 
"Makasih banget, Ram. Gue.. bakal belajar biar pintar kayak lo." Ucapnya, sembari menaikkan sudut bibirnya.
 
"Sama-sama. Kalau ada yang belum lo ngerti lagi, lo boleh tanya lagi ke gue." Jawab manusia itu, lalu mengambil ponselnya.
 
"Iya Ram."
 
"Ingin rasanya aku terus duduk di dekatmu. Aku memang bukan gadis yang kamu sukai, tapi aku akan bersabar sampai Tuhan menghendaki kebersamaan kita."
 
***
 
"Sampai kapan Profesor sampai Kak?"
 
Satya mengedikkan bahunya, ia terus menatap layar ponselnya tanpa memedulikan Acha. Gadis itu menghembuskan napasnya kasar, sangat berat sekali tumpukan buku buku yang ia bawa sampai menutupi pengelihatannya. Ya ya, buku buku itu adalah buku milik Profesor Einstein yang baru mereka keluarkan digudang. Katanya sih, mau dibaca kembali oleh beliau walau sudah pernah dibaca berulang kali. Tapi sekarang, entah kemana Profesor pergi, membuarkan ruangannya terkunci sehingga membuat dua manusia itu berdiri didepan ruangan beliau.
 
"Kak! Kakak kok santai banget sih?! Bantuin Acha! Berat banget bukunya Kak!" Seru gadis itu mencak mencak.
 
"Gue tau."
 
"Ya kalo tau kenapa diem?! Taruh hape kakak cepetann!! Sebelum bukunya jatuh berserakan karna Acha udah gak kuat lagi!!" Racaunya, berusaha mengendalikan beberapa buku yang terletak paling atas untuk tidak bergoyang.
 
"Taruh aja dibawah, ribet amat lo." Jawab pemuda itu, santai. Satya masih memainkan ponselnya tanpa menoleh sedikitpun kearah Acha.
 
"Nggak ada perhatiannya banget sih Kakak sama cewek! Masa Acha yang disuruh bawa buku sebanyak ini, kan berat Kak!"
 
"Ya kan lo yang mau. Toh, gue juga bukan pacar lo, jadi untuk apa gue perhatian sama lo?" Jawabnya, agak menyinggung perasaan Acha.
 
Gadis itu naik pitam, sangat ingin melempar mulut manusia yang ada disampingnya ini dengan buku yang ia bawa.
 
"Acha kan.."
 
Acha menarik kata yang hendak ia keluarkan sebelum ia menyesal nantinya. Ia mengingat perkataan Satya bahwa ada benarnya juga.
 
Flashback aktif.
 
"Uhuk uhuk! Kok, tempat ini banyak debunya sih?! Nggak becus banget-"
 
"Namanya juga gudang, mana ada gudang yang kinclong kayak hidung gue," jawab Satya, memotong kalimat yang akan menjadi ocehan panjang gadis itu.
 
"Ish! Kok kakak sok ngartis banget sih?! Kalo-"
 
"Kalo mau kerja mending tutup mulut lo sebelum rakyat laba-laba yang menghuni nih gudang migrasi ke mulut lo yang mirip goa itu." Tuturnya yang langsung melangkah menuju sebuah lemari kaca untuk mengambil beberapa buku disana.
 
"Apa?! Kakak kok malah nyebelin?!"
 
"Diem, Cha." Ucapnya, mencoba membuka gembok lemari kaca itu.
 
"Kok nggak bisa ya?" Ucapnya, mencoba satu kunci lagi.
 
"Tuh kan! Kuncinya aja nggak mau sama Kakak!"
 
"Emang lo mau sama gue?" Tanya Satya, pandangannya langsung beralih menatap Acha.
 
"Mau apa Kak?" Tanya gadis itu, polos.
 
"Pacaran."
 
Mulut gadis itu melebar, keningnya mengkerut. Bukannya seperti para gadis fans manusia itu, Acha malah sangat kesal mendengarnya.
 
"Kakak mau Acha jambak rambutnya?!" Ketusnya, merasa dipermainkan.
 
"Rambut yang mana Cha? Gue ada banyak rambut diseluruh tubuh gue. Di ketiak ada, di-"
 
"Nggak usah jorok!"
 
"Siapa yang jorok? Lo kan yang mau nawarin?"
 
"KAKAK!!!!!" Acha menggebug punggung lebar manusia itu dengan kesal, sedangkan yang digebug malah tertawa puas.
 
Satya terus dipukul gadis itu, namun sama sekali tak terasa sakit olehnya. Itu punggung apa panggung?
 
"Kok selesai gebugnya?"
 
"Acha capek! Sini biar Acha aja yang buka lemarinya!" Ucapnya yang langsung merebut kunci dari tangan Satya.
 
"Sama Kakak emang ribet!!" Gerutunya, mengutak atik kunci kunci ditangannya.
 
Satya hanya diam, pemuda itu terkekeh pelan. Ia gemas menatap Acha yang sejak tadi tidak kelar-kelar membuka lemari, padahal kuncinya sudah benar.
 
"Gimana sih kok nggak kebuka-buka?!" Ucapnya, kesal.
 
"Cha, lo emang galak gitu orangnya?" Tanya Satya, pemuda itu sepertinya melupakan image nya sebagai manusia kutub setelah kedatangan gadis cerewet ini.
 
"Diem kak! Acha lagi fokus, jangan diganggu!"
 
Satya kemudian memilih diam, dan merebut kunci dari tangan Acha sebelum gadis itu membakarnya dengan api kemarahan.
 
"Sini, biar gue aja." Ucapnya yang langsung membuka gembok itu.
 
Acha kemudian mengambil buku buku berdebu itu tanpa aba-aba Satya yangblangsung membuat dirinya..
 
Haciss...
 
Buku buku jatuh, ingusnya meler. Hidung gadis itu memerah, debu buku-buku itu menyebar kemana mana. Acha menarik ingusnya, hidungnya terus memerah membuatnya terlihat menggemaskan dimata Satya.
 
"Eh! Kakak mau ngapain?!" Cegahnya, melihat Satya yang hendak melakukan sesuatu terhadapnya.
 
"Bersihin hidung lo."
 
"Pake apa Kak?" Tanya gadis itu yang langsung curiga akan tingkah Satya berikutnya.
 
"Pake sepatu gue."
 
"Kak!!" Lagi, Acha kesal dibuatnya.
 
"Bercanda, Cha. Ini gue ada saputangan." Ucapnya, langsung menyodorkannya kepada Acha.
 
"Nggak perlu, ingus Acha udah ke telen lewat hidung." Jawabnya lugu.
 
WHAT DE PAK.
 
"Untung cantik." Ucap Satya dalam hati. Ia kemudian memasukkan saputangannya lagi ke saku celananya. Ia kemudian menatap gadis itu yang mendadak terlihat pucat.
 
"Lo nggak apa-apa, Cha?" Tanya Satya, tanpa ekspresi.
 
"Nggak. Acha cuma bersin dikit."
 
"Muka lo pucet, lo kelihatan lemah gitu gue nggak yakin."
 
"Apa sih Kak? Acha masih kuat! Jangan ngeremehin kemampuan Acha ya!"
 
"Biar gue bantu, Cha." Ucapnya, menawarkan bantuan.
 
"Nggak perlu, Acha bisa sendiri!" Ketusnya, menumpuk-numpuk buku yang berserakan untuk sekalian ia bawa keluar.
 
"Cha," panggil Satya, menatap Acha yang bersiap untuk keluar gudang.
 
"Apa Kak? Acha mau keluar, kalo kakak mau jadi patung debu disini silahkan aja, Acha mau cepet-cepet!" Ucapnya, meninggalkan Satya sendiri.
 
Flashback nonaktif.
 
"Ya kan Acha masih kuat tadi Kak!" Ucapnya setelah mengingat kejadian tadi.
 
Satya tak merespon, membiarkan saja gadis ini mengoceh tak jelas. Semakin banyak Acha mengomel, semakin berat juga buku-buku yang ia bawa. Kemudian, tak lama seorang pria yang mereka tunggu akhirnya datang dengan senyum merekahnya. Ya siapa lagi yang tak tahu Profesor Einstein? Beliau memang terkenal konsisten, berdedikasi tinggi, dan banyak hal yang membuatnya mendekati sempurna. Namun, satu hal yang harus kalian tahu tentang beliau ini; berusaha sepanjang hayat untuk membantu para siswanya yang jomblo untuk mendapat pasangan, contohnya bisa dilihat dari nasib Satya sebagai kelinci percobaan pertamanya dengan ptofesi baru yang ia sandang; Pak Comblang.
 
"Maaf ya, saya ada urusan sebentar dengan Master Adnan tadi." Ucapnya, nyengir tak berdosa. Beliau kemudian membukakan pintu untuk dua orang itu.
 
"Iya, no problem, Prof." Ucap Satya.
 
"Kamu ini kenapa sih, Satya? Masa kamu tega lihat Acha sendirian bawa buku sebanyak itu?" Goda Profesor.
 
"Saya tadi sudah menawarkan bantuan, Prof. Tapi anak ini yang nggak mau saya bantu."
 
"Kan, tadi Acha udah kasih kode biar Acha dibantu, kakak aja yang nggak peka!" Pekik Acha, kesal.
 
Tapi Satya tak merespon, pemuda itu malah melaluinya untuk masuk ke ruangan Profesor Einstein.
 
"KAKAK!!!"
 
***
 
"Mau dijambak beneran tuh rambut!" Gerutu gadis itu, menghentak-hentakkan kakinya.
 
"Prof, mau ditaruh dimana bukunya?" Tanya Satya, pemuda itu masih tak memedulikan Acha yang sejak tadi sudah merasa kelelahan.
 
"Di meja dekat rak buku saja, nanti saya rapihkan." Jawab Profesor, pria itu disibukkan dengan laptopnya.
 
"Lo denger kan? Taruh." Ucap Satya, pemuda itu kemudian menyandarkan punggungnya ke tembok, seraya memainkan ponselnya, membuat kekesalan Acha memuncak!
 
"Ish! Bisa bisanya cuma kasih perintah! Bantuin Acha kek! Ka-"
 
Brukk..
 
Buku-buku berserakan, menimbun kakinya. Dan siapa yang salah? Tentu saja Satya! Tanpa sadar, Acha tak dapat melihat kaki Satya yang sebenarnya tak terlalu menyelengkat jalannya karena tumpukan buku yang menjadi penghalang matanya. Gadis itu meringis, menepis salah satu buku yang melukai tulang keringnya. Satya yang melihat hal itu langsung menaruh ponselnya, berjongkok menatap gadis itu yang memegangi kakinya.
 
"Cha, lo nggak apa apa?" Tanya nya, nadanya memang terdengar seperti orang khawatir, namun ekspresinya tidak.
 
"Jangan dekat Acha!" Kesal gadis itu.
 
"Setelah Acha terluka kayak gini apa baru ada orang yang membantu?" Ucapnya, lirih.
 
"Gue.. minta maaf." Jawab Satya, yang tanpa ijin Acha langsung menggendong tubuh mungil gadis itu.
 
"Gue anter ke UKS."
 
"Kak! Turunin! Acha bisa sendiri!" Pekiknya, menggerak-gerakkan tubuhnya berusaha untuk terlepas dari kedua tangan Satya. Namun, pemuda itu malah menguatkan otot lengannya, tak membiarkan tubuh Acha terjatuh nantinya.
 
"Ada apa ini? Kenapa bukunya berserakan?" Tanya Profesor yang dibuat melongo dengan perlakuan Satya yang tengah menggendong Acha setelah ia menatap buku yang berserakan dilantai.
 
"Nanti saya bersihkan, Prof. Maaf sudah memgacaukan-"
 
"Iya, no problem, Satya." Potong pria itu, seraya menaik turunkan alisnya dengan senyum merekah.
 
Dengan demikian, tahulah Profesor Einstein kalau profesi barunya rupanya berhasil membuat dua orang itu dekat walau ia sendiri tak tahu apakah dua orang itu memiliki perasaan terhadap satu sama lain atau tidak. Yang jelas, menjadi Pak Comblang tak membutuhkan gelar S3.

***

ANINDHA (TAHAP REVISI)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang